“Jadi ini putri kecil yang selalu kau bangga-banggakan itu?” Vanesha kedatangan seorang wanita paruh baya berwajah penuh make-up, tatapannya yang sinis tertuju pada Vanesha yang kala itu masih berusia sembilan tahun.
“Iya, dia putriku satu-satunya dan dia kesayanganku.” Ucap ayahnya sambil menggendongnya dengan rasa bangga.
Tapi entah bagaimana Vanesha kala itu bisa melihat api kecemburuan terbakar dari sorot matanya yang dingin.
“Terus, aku juga harus jadi ibunya?”
“Tentu saja, jika kita menikah nanti. Putriku akan jadi putrimu dan putrimu akan kuanggap sebagai putriku. Nah sekarang Nessa cantik, apa kau senang punya ibu lagi dan seorang kakak yang akan menyayangimu sepenuh hati?”
Vanesha yang saat itu masih sangat polos, tersenyum gembira membayangkan kehidupannya setelah ini. Ia y
