Satu Kamar

1433 Kata
Vanesha memarkirkan mobil ke sebuah taman kecil yang berada di dekat pantai. “Bapak mau turun?” Tanyanya sambil membuka sabuk pengamannya. Lian tak bergeming mendengar pertanyaan Vanesha. Pria itu terpaku di kursinya, menatap lurus dengan pandangan kosong. “Saya turun dulu ya pak! Saya butuh udara segar.” Vanesha pun keluar mobil dan duduk di sebuah kursi kayu yang menghadap pantai. Meski tak bisa melihat garis pantai, tapi Vanesha bisa merasakan aroma laut dan udara dingin yang berembus mengelilinginya. Ia merasa sedikit tenang. Lian menghampirinya, penampilannya yang biasanya tanpa cela kini terlihat sedikit berantakan. Ia tak lagi mengenakan dasi seperti yang selalu menjadi kebanggaannya. Begitu juga dengan dua kancing teratas kemejanya yang terbuka. Vanesha tersenyum kecil, melihat bosnya datang menyusulnya. “Mau duduk, pak?” Vanesha menepuk tempat kosong di sebelahnya. Lian pun duduk sambil menghela napas panjang. “Sepertinya aku tidak butuh sekretaris malam ini.” Gumam Lian dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. Vanesha menarik kepala bosnya—menempatkannya di bahunya. Ia kemudian mengambil jaket yang tersampir di lengannya dan menutupi kepala Lian. “Pakailah, aku akan menjadi tempatmu bersandar malam ini.” Sahut Vanesha dengan nada santai. Ia berbicara seperti kepada teman bukan kepada bos-nya. Vanesha terdiam, saat Lian tak menampik jaket yang diberikannya. Dalam keheningan malam, gadis itu mendengar tangisan Lian dalam diam. Beberapa menit berlalu dalam kesunyian, hingga akhirnya Lian membuka wajahnya. Pria itu kembali seperti semula, berwajah datar tanpa ekspresi, seperti tidak terjadi apa-apa padanya. “Berapa aku harus membayarmu untuk tutup mulut?” Tanya Lian kembali dingin seperti semula. Si gunung es telah membeku kembali, padahal sebelumnya Vanesha pikir es dalam diri bosnya ini akan mencair, nyatanya tidak sama sekali. “Yah, kalau itu yang bapak tawarkan pasti bapak takkan sanggup membayarnya.” Lian tertegun mendengar jawaban santai sekretarisnya. “Yah... anggap saja itu bonus dariku. Bapak nggak usah membayarnya. Gratis, kok!” Lian terdiam sesaat sebelum ia kembali berkata, “apa hubunganmu dengan kakakku?” Vanesha berpikir sejenak, ia sendiri tak yakin dengan hubungannya sendiri. Leon menganggapnya sebagai kekasihnya sementara, hanya sampai kehamilannya terkonfirmasi. Tapi di sisi lain, pria itu juga benar-benar berperan sebagai seorang kekasih. Jadi Vanesha bingung bagaimana menjawab pertanyaan bosnya. “Menurut bapak, gimana?” Alih-alih menjawab, Vanesha justru balik bertanya. “Kenapa kau malah bertanya padaku?” Sahut Lian, jengkel. “Habisnya saya juga bingung gimana menjawabnya. Pertanyaan bapak sulit dijawab sih kayak rumus phytagoras.” Gerutu Vanesha yang memang sejak dulu benci pelajaran matematika. “Kau benci Matematika?” Vanesha mengangguk, “amat sangat pake banget, pak.” Dalam hati Lian tersenyum, ternyata ada juga yang sangat membenci Matematika sama seperti dirinya. Matematika memang pelajaran yang sangat sulit dimengerti. Sejak kecil, mau sekeras apapun usahanya belajar Matematika agar bisa mengalahkan nilai kakaknya, tetap saja Leon menjadi juara. Leon memang berbakat di segala bidang. Tanpa kerja keras, kakaknya pasti berhasil di semua akademis dengan mudah. Sedangkan dirinya...? Perlu upaya lebih untuk mendapat nilai mendekati nilai kakaknya. Karena itu sejak dulu ia selalu berjuang melebihi Leon. “Apa bapak benci Matematika juga?” “Tidak!” Sergah Lian cepat. Ia takkan mengakui kelemahannya itu. Karena cukup satu aib terbongkar, tapi tidak dengan aib lainnya. “Ah, yang benar? Terkadang aku lihat bapak suka pusing ngatur pengeluaran perusahaan.” Goda Vanesha yang diam-diam suka melihat kepusingan bosnya jika berhadapan dengan laporan keuangan perusahaan. “Apa kau memata-mataiku?” “Tidak!” Vanesha bersikeras menyangkal, “buat apa aku memata-matai bapak, orang saya selalu lihat ekspresi wajah bapak setiap rapat dengan dewan direksi keuangan. Wajah bapak tuh, kayak petruk mau buang air.” “Apa?” Wajah Lian memerah menahan malu mendengar julukan aneh yang disematkan sekretarisnya. “Eh, maaf deh.” Vanesha buru-buru menyadari kesalahannya. Gadis itu bersiap melarikan diri, sebelum si gunung es meledakkan lelehan salju. “VANESHA....!!!” Vanesha bergegas menuju mobil dan duduk di kursi penumpang. Lian mengikutinya dari belakang, “kata siapa kau bisa duduk disitu. Sana pergi! Kau yang bawa mobil kali ini!” Bentak pria itu, suaranya nyaring. Cukup membuat Vanesha ketakutan. “Saya ini kan sekretaris bapak, bukan supir pribadi bapak.” Elak Vanesha, keberatan dengan perintah bosnya. “Saya juga bos kamu, bukan supir pribadimu!” Balas Lian, sengit. Entah darimana ia mendapatkan stok kesabaran menghadapi sekretaris anehnya ini. Baru kali ini ada orang bersikap berani terhadapnya. Vanesha terpaksa menuruti perintah bosnya, walau sebenarnya ia letih kalau harus menyetir mobil entah berapa lama lagi, sampai tiba di penginapan yang belum mereka booking. “Mau kemana kita, pak?” “Penginapan. Aku mau tidur!” Jawab Lian, ketus. “Iya, saya juga tahu pak kita mau ke penginapan. Tapi dimana penginapannya, pak?” “Sebenarnya yang sekretaris disini itu saya atau kamu?” Ujar Lian, berusaha keras menahan emosinya yang naik turun seperti roller coaster disebabkan oleh perempuan satu ini. Kenapa bisa, Leon bertahan menghadapi sikapnya yang menyebalkan. “Baiklah.” Enggan berdebat dengan bosnya yang semakin menyebalkan. Vanesha mengendarai mobilnya menuju hotel terdekat dari posisinya saat ini. *** “Apaaa...? Hanya ada satu kamar? Kok bisa? Tolong cek sekali lagi, pak? Saya sudah memastikan kalau bos saya memesan kamar di hotel ini.” Pinta Vanesha pada resepsionis hotel yang berjaga malam itu. “Iya, benar bos Anda memesan kamar VVIP di hotel ini. Tapi beliau hanya memesan satu kamar saja.” Gumam laki-laki resepsionis sambil melihat layar monitor di hadapannya. Vanesha menoleh sambil melotot tajam ke arah Lian. “Kalau begitu, saya pesan kamar lain bisa pak? Saya butuh istirahat malam ini juga.” “Baik, mohon tunggu sebentar.” Resepsionis mengecek ketersediaan kamar lainnya. “Mohon maaf sekali, nona. Semua kamar di hotel ini sudah terbooking.” “Ya... salaam...” Vanesha menghela napas panjang. “Apakah masih lama, Nes?” Tanya Lian yang tak sabar menunggu Vanesha selesai check-in hotel. “Sebentar lagi, pak.” Sahut Vanesha dari kejauhan. “Pak, pleaseee banget. Saya mohon, tolong pake banget. Mohon dengan sangat, cek sekali lagi kamar yang kosong. Saya tidak mungkin memesan hotel yang berbeda dengan bos saya yang super duper dingin kayak es batu itu pak.” Vanesha sambil memohon dengan kedua tangannya, namun gelengan kepala resepsionis itu menghancurkan harapannya berkeping-keping. “Nes...” “Iya, pak. Iya...” Vanesha buru-buru menghampiri bosnya dan membantunya mengangkat koper-kopernya yang cukup berat. Itu juga termasuk koper kecil miliknya. Kalau saja prinsipnya tidak idealis, mungkin ia lebih memilih hidup santai dengan menjadi kekasih Leon dan mendapatkan uang satu juta dollar itu dengan mudah. Tapi, ia dididik bukan menjadi wanita seperti itu. Ibunya berjuanh keras menjadikan karakternya sebagai gadis yang kuat. Rintangan atau beban apapun akan mampu ia lewati. Sama seperti ibunya yang berjuang hingga akhir hayatnya. Meski harus menderita, karena perlakuan wanita iblis itu. Vanesha bahkan benci menyebut nama wanita yang telah menghancurkan kehidupannya dan ibunya. “Kenapa tidak panggil bell boy, saja?” Tanya Lian heran melihat Vanesha sibuk membawa koper-koper itu juga tas kecil di tangannya. “Eh, tidak usah pak. Saya bisa kok bawa semua ini.” Ujar Vanesha sambil tersenyum kaku. Sebenarnya ia memang sengaja tidak memanggil bell boy, karena ia tak ingin ada yang orang yang tahu kalau mereka menginap di kamar yang sama. Vanesha tak memiliki pilihan lain, selain tidur di kamar bosnya. Daripada besok, ia kewalahan menghadapi bosnya yang suka mendadak rapat tanpa pemberitahuan. Ini adalah pekerjaan barunya sebagai sekretaris, dan ia akan berusaha keras bahwa ia mampu bekerja dengan kemampuannya sendiri. Lian masuk ke kamar yang ia pesan. Kamar ini cukup besar dan mewah. Di dalamnya ada satu tempat tidur ukuran king size yang sangat besar untuk ia tempati. Juga lemari kayu jati yang terdapat ornamen ukiran yang khas Indonesia. Vanesha menempatkan koper-koper bosnya ke dalam lemari besar itu. Lalu menaruh koper kecil dan tas tangannya di atas sofa beludru mewah. “Kau... apa yang kau lakukan disini?” Tanya Lian ketika Vanesha tak kunjung keluar dari kamar tersebut. Vanesha tersenyum kecut sambil memandang bosnya penuh harap, merasa gamang apakah bosnya akan mengizinkannya tidur disini hanya malam ini. “Pak, bolehkah saya tidur di sini?” “Tidak!” Tanpa perlu pikir panjang, Lian menolaknya tegas. “Hanya malam ini saya janji!” Pinta Vanesha, menghiba. “Memang kenapa kau harus tidur di kamarku?” Vanesha memejamkan matanya, takut melihat kemarahan pria bongkahan es batu itu. “Kamar di hotel ini cuma ada satu, pak!” “Kok, bisa..?” “Saya memang cuma pesan satu kamar. Karena kupikir bapak akan datang sendirian tanpa saya. Tapi...,” “VA... NE... SHA...!” Kesabaran Lian akhirnya habis. “Iya, pak. Iya. Saya keluar sekarang!” Vanesha buru-buru kabur sebelum bosnya meledak, dan ia dihujani serpihan es batu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN