Calandra dan Bella sedang menikmati makan siang di kantin, tiba-tiba kepala pabrik menyuruh mereka semua berkumpul di aula terbuka. Sangat mendadak. "Mau apa sih kepala botak ini?" geram Calandra yang langsung dapat sentilan dari Bella. Banyak pekerja lain di sana, takut ada yang mengadukan. Tidak masalah jika kepala pabrik hanya mengomel, tapi bagaimana kalau langsung memberhentikan Calandra kerja di sini? Bisa makan nasi dan garam aja!
"Makanan gue masih banyak, nasi padang ini belinya mahal. Dua puluh ribu belum sama minumannya. Baru mau makan enak, masa udah dibuang aja? Liat yang lain, bahkan banyak yang baru memulai makan. Apa nggak mikir kepala botak itu? Uang susah nyarinya, anjir. Gue kesel banget dah!"
Bella menutup mulut Calandra paksa, menyuruhnya diam. "Kita nggak tahu siapa penjilat di sini. Nanti omongan lo sampai ke telinga kepala pabrik. Mau emangnya lo dipecat, huh?" decaknya gemas. Ingin memukul kepala Calandra agar akal sehatnya sedikit lebih baik. "Titip makanan kita dulu sama ibu kantin, nanti diambil lagi. Ayam gue juga masih banyak, sayang kalau dibuang. Kita nggak bisa makan enak setiap hari, jadi jangan dibuang-buang. Mubazir juga!"
"Nggak enak lagi kalau udah ditinggal. Rasanya bakal beda. Ogah gue turutin kepala botak itu, lo aja sana wakilin gue. Males!" Bukannya cepat beranjak seperti yang lain, Calandra malah tetap asik menikmati nasi padangnya. Bukan Calandra namanya jika tidak membuat ulah kan?
"Cala, ayo! Siapa tahu ada pemberitahuan penting. Yang lain aja udah ke aula. Lo nih berani banget sama kepala pabrik, nanti dipecat baru nangis-nangis sama gue!"
"Lo aja yang wakilin, Bella. Ada atau enggak adanya gue di aula, nggak bakal ngaruh juga. Suka sebel liat muka lo yang kek ngemis-ngemis gini!" Calandra berdecak, tatapan Bella benar-benar memohon padanya. Apa cuman dia yang kebal dengan amarahnya kepala botak? Sungguh, Calandra jengah sekali dengan sikap pria tua bangka satu itu.
"Ayo, Cala!" Bella menarik tangan Calandra, membawa cewek itu menuju wastafel. "Cuci tangan, kita ke aula bareng. Gue nggak mau lo dipecat. Kasihan gue kalau kerja sendirian, nanti nggak ada teman julit lagi. Lo kan teman terbaik gue buat ngelakuin segala hal."
"Cih, nggak mempan lo puji-puji gue kayak gitu. Ilang seketika napsu makan gue. Terbuang sia-sia juga duit dua puluh ribu. Nyesel gue beli nasi padang. Kalau tau gini, kenapa nggak besok-besok aja belinya!" Tadi emang Bella yang mengusulkan makan nasi padang lebih awal, padahal jadwal yang sudah mereka ditetapkan jatuh pada minggu depan. Calandra dan Bella memang memiliki jadwal tetap makan nasi padang, yaitu sebulan sekali di awal bulan. Padahal maunya setiap minggu, hanya saja sayang uang. Lebih baik disimpan untuk belanja sayur. Bisa makan orang satu rumah.
"Lupain dulu tentang nasi padang, yang penting kita nggak dipecat." Mereka beriringan melangkah menuju Aula, Calandra masih saja mengomel mengelurkan kekesalan. Bella hanya mendengarkan, sebenarnya dia juga jengkel. Hanya saja takut sekali kehilangan pekerjaan ini.
"Awas aja kalau pemberitahuan atau pengarahannya nggak penting, gue tonjok tuh kepala botak sampai tutup usia!"
"Hutssss! Cala, omongan lo nggak baik sama sekali. Sabar, kali aja kita mau dapat bonus. Kemarin kan pada kerja lembur."
Calandra memutar bola mata malas, segera gabung dengan yang lain di aula terbuka. Dia duduk bersandar pada dinding, wajahnya memberengut. "Gue mau ke toilet dulu." Kemudian tiba-tiba beranjak, meninggalkan Bella tanpa meminta ditemani.
"Astaga, beneran ada dendam kesumat dia sama kepala pabrik." Bella geleng-geleng, lalu mengobrol dengan teman di sampingnya mengenai perkumpulan mereka ini dalam rangka apa. Hanya saja, teman lain juga tidak tahu. Mereka sama-sama sedang menunggu saja.
"Calandra, mau ke mana lagi kamu? Kembali ke aula. Jangan buat saya marah. Kamu ini sangat susah dibilangi!" Calandra berpapasan dengan kepala pabrik. "Siang ini kedatangan Tuan muda, satu-satunya penerus Kender Group. Dia anak pemilik pabrik tekstil terbesar di ibu kota. Baru pertama kali berkunjung setelah menjadi pemimpin--menggantikan mendiang ayahnya, ingin melakukan perkenalan sekaligus melihat sekitar pabrik. Jangan buat saya malu dengan tingkah kamu."
"Mau ke toilet. Memangnya Bapak mau saya buang air di aula?"
Kepala pabrik langsung mencibir. "Ya sudah, sana. Jangan lama, nanti kamu saya pecat kalau terus-terusan keras kepala dan berulah. Senang sekali bikin saya pusing!"
Calandra memutar bola mata malas, segera melewati kepala pabrik tanpa permisi. Mau tidak mau, dia tetap mengikuti perintah pria itu. Setidaknya, hari ini Calandra tahu siapa anak pemilik pabrik. Selama bekerja, Calandra tidak pernah penasaran dan mencari tahu. Tapi sekarang, dia malah tidak sabar ingin melihat bagaimana rupa si penerus keluarga terkaya nomor satu di Jakarta.
Sibuk melangkah sambil melamun, Calandra tidak sengaja menabrak sebuah pot bunga yang entah sejak kapan berada di sana hingga terjerembab mengenaskan. Pot dari bahas plastik itu pecah, tanahnya berhamburan di mana-mana. "Astaga, jadi kotor sepatuku!" komentarnya malah fokus pada sepatu.
"Selain matre, apa kamu juga hobi jatuh?" Bariton seseorang dari arah sampingnya memecahkan keheningan. Calandra tidak asing dengan suara itu, segera menoleh dan akhirnya menganga kaget. "Kenapa? Saya bukan hantu!"
"A-apa ... ngapain kamu di sini? Pergi sana, kamu kok hobi banget muncul di hadapanku. Pasti cuman mimpi nih. Ayo fokus, Cala, ngapain kamu malah terbayang pria mesumm kayak Papanya Aluna!" gumamnya sambil memukul kepala, berusaha menyadarkan diri.
Wajah datar Kenny seketika berubah mendengar kalimat lucu dari Calandra. Ada-ada saja!
"Ayo, saya bantu!" Dengan baik hati mengulurkan tangan, entah sedang kerasukan apa. Kenny tiba-tiba baik dan kembali memberikan tangannya seperti malam itu untuk menolong Calandra.
Calandra menepis kasar, berdiri sendiri sambil memperbaiki pakaiannya. "Dasar mesumm!" Kemudian berlari menuju toilet. Dia sudah tidak tahan. Persetann yang Calandra lihat tadi beneran Kenny atau bukan, yang pasti dia sangat tertekan dan malu. Memangnya ngapain Kenny mengikuti dia sampai ke pabrik? Atau sengaja mau mengantarkan Aluna yang tiba-tiba merengek mau bertemu dengannya?
Saat bersama Aluna, Calandra merasa seperti seorang ibu tanpa suami. Dia belajar banyak untuk menyenangkan anak seusia Aluna, berusaha memberikan yang terbaik agar anak itu senang dan nyaman ada di sisinya. Menyenangkan, tapi Calandra selalu emosi jika ingat kelakuan Kenny.
Usai dari toilet, Calandra langsung menuju aula--tidak berniat membereskan bekas tanah yang berceceran tadi. Nanti juga ada petugas kebersihannya.
"Lama sekali. Acara perkenalan udah mulai sejak tadi!" Kepala pabrik menggerutu marah di depan pintu, dia kemudian membentak Calandra menyuruhnya masuk ke dalam.
"Cih, dasar pria tua ngeselin!" Ternyata sesampainya di toilet tadi, Calandra tiba-tiba sakit perut. Jadi lumayan memakan banyak waktu untuk buang air besar dulu. "Gue nggak ikhlas banget, nasi padang tad udah keluar jadi eek." Dia berbisik pada Bella, bibirnya cemberut masam.
"Jangan mengada-ngada lo. Itu yang lo keluarin bekas makanan kemarin atau tadi pagi. Nasi padang lo masih dalam proses." Calandra mengerucutkan bibir, menyandarkan kepalanya pada bahu Bella. "Jangan banyak omong, Cala, dengerin yang Pak Kenny sampaikan. Dia itu penerus Kender Group, pabrik tekstil ini milik keluarganya. Usaha mereka ternyata turun temurun. Emang udah kaya raya dari jaman batu. Enak ya, banyak duit. Nggak pusing lagi mikirin hutang."
"Duit kan emang bikin bahagia."
"Tapi nggak semua bisa dibeli pakai duit."
Calandra menaikkan bahu. "Yang gue tahu, kalau nggak ada duit hidup kita bakal sengsara mampus. Mau beli apa aja susah. Masak pasir nggak bisa jadi nasi. Batu juga nggak bisa jadi ayam."
"Ya, iyalah. Lo kok jadi pinter." Bella terkikik geli.
Karena sibuk bercerita, Calandra dan Bella sama-sama lupa memerhatikan yang Kenny sampaikan.
"Permisi, untuk cewek paling ujung sebelah sana. Iya, kamu yang lagi mengerutkan kening. Apa boleh maju sebentar? Saya ingin kamu mewakili teman-teman untuk berkenalan singkat dan menceritakan sedikit pengalaman kerja selama di pabrik ini."
Bella langsung menepis tangan Calandra, mendorong cewek itu untuk mengiyakan ucapan Kenny. "Elo yang dimaksud, Cala! Pergi sana, lumayan bisa deket orang ganteng. Gunain pelet lo, jadikan dia suami. Biar gampang gue numpang ngutang."
Calandra menggeleng tegas. "Ogah! Hih, kenapa dia ada di mana-mana weh. Kesal banget gue!"
"Dia siapa?" Tatapan Bella lurus ke depan, tapi mulutnya tetap bergumam penasaran.
"Iya, kamu yang sekarang lagi cemberut kesal. Mari ke depan sini. Saya tidak menggigit apalagi menelan kamu."
Teman-teman yang lain memusatkan tatapan pada Calandra, begitu pun dengan kepala pabrik yang menyuruhnya mengiyakan dengan wajah kesal. Seperti berkata, "Awas saja jika kamu menolak. Saya pecat!"
"Dasar pria mesumm!" maki Calandra sebelum beranjak ke depan mendatangi Kenny. Wajahnya penuh permusuhan, Kenny tertawa bahagia sudah berhasil mengerjai Calandra. "Kamu mau cari masalah sama aku kan?" katanya pelan sekali saat di depan Kenny. Pria itu hanya menaikkan alis, bersikap bodo amat.
"Aduh, pelan-pelan dong." Kenny tetap tersenyum ramah meski Calandra sengaja menabrakkan ujung mikrofon pada pinggang dan lengan Kenny. Kedengaran perpaduan bunyi antara kerasnya mikrofon dan tulang.
"Maaf, nggak sengaja."
Kenny sempat menatap sinis padanya, lalu kembali bersikap ramah. "Halo, perkenalkan dulu siapa nama kamu. Lalu apa tugas kamu di pabrik ini."
Calandra menarik napas, berusaha biasa saja agar teman-temannya tidak curiga. "Nama saya Calandra Grizelle Bitari. Sudah bekerja hampir lima tahun di pabrik ini. Saya dan beberapa teman yang lain bertugas sebagai operator lotting untuk memastikan kain tersebut memenuhi quantity yang diminta sesuai order per coraknya. Pabrik ini memberi saya pengalaman kerja yang sangat berharga, memiliki banyak teman yang bisa bekerja sama dengan baik, dan mampu memahami dunia kerja lebih luas."
"Salam kenal, Calandra. Mungkin kamu ada harapan untuk pabrik ini ke depannya?"
Diam beberapa saat, Calandra kemudian tersenyum miring. "Naikkan gaji dan beri kami bonus yang banyak ketika lembur." Menaikkan bahu. Tidak salahnya kan meminta seperti ini?
Jangan pernah lupa, Calandra selalu berdampingan dengan uang.
Kepala pabrik kaget mendengar kalimat frontal Calandra, sementara teman-teman yang lain malah bersorak gembira sambil bertepuk tangan. Semua mendukung kalau perihal kenaikan gaji.
Kenny mengangguk, rupanya Calandra sedang menantangnya. Berani juga!
"Baiklah, terima kasih untuk masukannya. Ini akan saya pertimbangkan sekali agar kalian semua makin semangat kerja. Secepatnya saya bicarakan pada kepala pabrik untuk gaji kalian yang rajin bekerja. Bagi pekerja lembur, nanti juga saya atur bonusnya per jam." Calandra menatap malas, tidak terlalu tertarik kalau belum dikabulkan permintaannya. "Silakan kembali. Senang berkenalan dengan kamu."
"Cih, dasar!" celetuk Calandra sebelum beranjak dari sana, memastikan Kenny mendengar omelannya. "Pria prikkk!"
***
"Cilla, kok tumben pulang telat? Ada acara di sekolah ya?" Calandra sedang sibuk di dapur, menyiapkan makan malam untuk mereka. Ini jam tujuh, Cilla baru sampai ke kontrakan. "Minum dulu. Pasti capek banget ya." Mengusap puncak kepala adiknya, memberi pelukan untuk menyemangati.
Cilla tersenyum, mengusap punggung Calandra. "Iya, Kak. Aku tadi belajar bareng sama teman-teman di perpustakaan. Nyari beberapa contoh soal dan materi buat persiapan ujian. Perpustakaan sengaja nggak di tutup sampai jam delapan, mungkin kepala sekolah paham kalau kami lagi perlu bahan biar nilai kami di atas rata-rata semua."
"Semoga nilai kamu bagus, juara satu di kelas, dan juara umum satu angkatan lagi. Besok lunasin uang sekolah kamu ya, Kakak udah ada uangnya. Jangan mikirin apa pun, fokus aja sama ujian kamu. Ini penentu biar dapat beasiswa ke perguruan tinggi kan?" Mencubit ujung hidung Cilla. Anak itu mengangguk, memeluk Calandra sekali lagi. "Jangan sedih, Kakak nggak pa-pa."
"Terima kasih banyak, Kak, maaf sudah merepotkan terus. Aku janji bakal memberikan yang terbaik. Sesuai impian kita, aku bakal usahain biar jadi dokter yang hebat."
Kalau Cilla dapat beasiswa, beban Calandra sedikit berkurang. Dia tidak terlalu banyak lagi mengeluarkan uang untuk membiayai pendidikan adiknya. Paling sisanya cuman memikirkan uang kost, uang makan, dan kebutuhan lainnya.
Cilla harus ngekost, karna jarak dari kontrakan ke universitas negeri impian Cilla lumayan jauh dan cukup memakan biaya transportasi. Apalagi dengan keadaan mereka tidak memiliki motor, jadi Calandra memutuskan Cilla mencari tempat tinggal baru di dekat kampus. Lebih mudah bolak-balik ke sana untuk melakukan kegiatan yang pastinya akan padat sekali.
"Semoga Tuhan mempermudah segala impian kamu. Tetaplah menjadi anak yang baik dan nurut sama Kakak ya." Cilla mengangguk. "Ya sudah, mandi dulu sana. Setelah itu kita makan malam bersama. Kamu pasti lapar banget."
"Iya, laper banget. Dari tadi bunyi terus perutnya. Pengen jajan makan di luar bareng teman, tapi uangnya udah aku gunain buat memprint tugas."
Calandra menghela napas, kasihan pada adiknya. "Besok Kakak kasih uang jajan lebih banyak. Biar bisa belanja bareng teman-teman kamu ya. Maaf udah bikin kamu nahan lapar dari sore sampai malam. Lain kali kalau bakal pulang malam, bilang aja. Nanti Kakak tambahin uang jajannya."
"Ih, nggak usah, Kak. Aku nggak pa-pa. Besok nggak ada tugas yang diprint, jadi uangnya bisa kok buat beli makanan. Tapi kayaknya aku bakal mampir ke perpustakaan kota aja, pinjam buku di sana. Lebih enak belajar di rumah, aku lebih fokus."
"Ya sudah, senyamannya kamu aja. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat ngomong sama Kakak. Kamu itu tanggung jawab Kakak, sudah seharusnya Kakak membiayai keperluan kamu."
"Iya, Kak. Aku ke kamar dulu, mau bersih-bersih. Lengket banget rasanya badan aku."
Calandra mengangguk, lanjut merapikan menu sederhana mereka ke sebuah meja makan. Malam ini Calandra memasak sup tahu, bakwan jagung, dua telur ceplok, tempe balado, dan sedikit sambal bawang. Ada sisa tempe kemarin, jadi Calandra olah bumbunya biar tidak terbuang karena busuk. Biasanya Cilla suka tempe dimasak pedas, selalu nambah makannya.
"Nona Cala, aku datang!" Pintu luar diketuk beberapa kali, suara Aluna terdengar jelas sampai ke dapur. "Buka dong pintunya, aku mau menginap."
"Astaga, bocil itu lagi!" Calandra mencuci tangan, lalu melepaskan celemeknya sebelum membukakan pintu.
"Halo, Nona Cala. Aku mau menginap!" Aluna masuk tanpa Calandra persilakan terlebih dahulu, menyuruh Pak Didi membawakan tasnya. "Mau numpang makan juga ya, Nona Cala. Aku laper, belum makan. Di mana Cilla?" cecarnya tidak henti-henti, mengerjap tanpa dosa. Dia menjelajah kontrakan kecil Calandra hingga ke dapur, lalu tersenyum senang. "Asik, Nona Cala udah masak."
"Kok bisa ke sini? Nanti kamu dimarahi Papa."
"Enggak, aku udah kasih tau Papa mau nginap di sini."
"Tadi pagi Papa kamu bilang kalau kita nggak boleh ketemu lagi. Kamu pulang aja, nanti Papa kamu mengamuk, aku malas banget berurusan sama dia."
Aluna menatap Calandra bingung. "Aku mau menginap." Menaikkan bahu, lalu memanggil-manggil Cilla tanpa merasa bersalah. "Ayo Nona Cala, suapi aku makan. Pak Didi pulang aja, aku nggak mau pulang."
Calandra menatap supir pribadi keluarga Ryder penuh tanda tanya. "Apa dia beneran boleh menginap di sini?"
Pak Didi mengangguk. "Benar, Nona Cala. Malam ini Tuan Kenny menginap di tempat Mbak Faradilla, jadi Nona Aluna diperbolehkan ke sini." Tanpa mereka sadari, panggilan Nona Cala sudah begitu melekat di kediaman Ryder.
"Dih, bisa-bisanya dia ninggalin anak di tempat orang lain buat bermesraan sama kekasihnya. Orang tua macam apa dia?" Pak Didi hanya diam, sebenarnya ikut sedih juga melihat Aluna yang selalu ditinggalkan. Untung sekarang dia bertemu Calandra, jadi Aluna punya teman selain Mbok Neni. "Ya sudah, aku ambil aja anaknya. Biar aku yang rawat. Jadi Papa kok bikin orang hipertensi mulu!"
"Besok nggak usah dijemput Alunanya, biarin Kenny yang nyari anaknya sendiri. Nanti aku bawa kabur beneran Aluna baru tahu rasa!"
Pak Didi tersenyum, mengangguk paham. "Baik, Nona. Besok pagi saya akan datang untuk mengantarkan Nona Aluna ke sekolah saja. Nanti pulangnya saya antarkan ke sini lagi."
"Eh, besok aku kerja sampai sore. Nggak ada orang di rumah. Aduh, susah juga."
"Aku ke tempat kerja Nona Cala aja. Main ke sana."
"Huts, anak kecil. Nggak boleh main-main ke sana." Calandra mendesah kesal. Meski pabrik itu milik Kenny, Aluna masih terlalu kecil untuk bermain-main di pabrik sendirian. Nanti Aluna lari-larian tanpa sepengetahuannya. Bagaimana jika jatuh dan berdarah? Bisa mati Calandra dimaki-maki oleh Kenny.
"Kalau gitu Nona Cala libur kerja aja. Tunggu aku sampai pulang sekolah. Nanti kita main ke mall, yuk? Aku mau naik kuda, lempar bola juga biar dapat boneka. Mau ya, Nona Cala kita jalan-jalan?"
"Aku harus kerja, Aluna. Nanti kalau izin terus bisa dipecat."
Aluna cemberut. "Ya sudah, setelah pulang kerja aja kita jalan-jalan. Nanti pulang sekolah aku diantar ke rumah."
"Nggak janji, kalau aku capek, malas jalan-jalan."
"Yah, Nona Cala nggak asik. Kenapa Nona Cala nggak tinggal di rumah aku aja sih? Biarin Cilla di sini, Nona Cala ikut aku. Kita ngurus Keli sama-sama. Aku sama Keli sayang sama Nona Cala."
Mendengar ungkapan terakhir Aluna, Calandra seketika diam. Mengerjap beberapa saat sebelum berjongkok di hadapn anak itu. "Aluna dengar ya, aku nggak bisa terus-terusan ada di rumah kamu. Nanti ada yang marah dan salah paham. Susah jelasinnya, kamu masih terlalu kecil memahami ini."
"Tapi kan Nona Cala guru les piano aku. Dibayar kok sama Papa. Apa kurang? Nanti aku minta Papa kasih banyak-banyak."
"Kali ini bukan soal uang aja, Aluna." Mengusap bahu anak itu, dia mengerjap seolah meminta penjelasan lagi. "Ya sudahlah, susah jelasinnya. Nanti kamu kalau gedhe juga ngerti. Pak Didi boleh kalau mau pulang, biar aku yang jaga Aluna di sini."
"Baik, Nona Cala. Saya titip Nona Aluna, semoga dia tidak merepotkan."
Calandra mengangguk.
"Dadah, Pak Didi. Bilang sama Papa, aku mau tinggal bareng Nona Cala aja." Melambaikan tangannya senang, lalu kembali melangkah menuju dapur. "Cilla, kamu habis mandi? Wanginya!"
"Iya. Kamu kapan datang? Ceriwis banget, suara kamu kedengaran sampai ke kamar mandi." Aluna terkikik geli, memeluk Cilla.
Setelah Pak Didi pulang, Calandra mengunci pintu depan. "Ayo, Cilla, makan dulu. Kamu udah lapar dan capek seharian di sekolah. Habis ini langsung istirahat."
Cilla mengangguk, dia mengusap puncak kepala Aluna, mengajak anak itu duduk bersama menikmati menu sederhana mereka. "Kamu ngapain ke sini lagi? Bukannya rumah kami kecil dan ada tikusnya? Kamu kan takut tikus."
"Aku suka kok di sini. Nanti kita tangkap tikus, terus buang yang jauh. Di rumah nggak ada Papa, aku nggak suka Tante Fara."
"Huts, nggak boleh ngomong gitu. Nanti dimarahi Papa kamu."
Cilla menatap Calandra. "Siapa, Kak?"
"Calon mamanya Aluna." Cilla hanya ber-oh-ria, tidak berniat menanggapi terlalu banyak.
"Bukan, aku nggak suka Tante Fara, maunya Nona Cala aja." Membuka mulut, Calandra menyuapinya perlahan. "Enak, Nona Cala. Aku suka ini." Menunjuk bakwan jagung, lalu tersenyum lebar.
"Nanti di depan Papa nggak boleh ngomong gitu. Belajar menyukai Tante Fara ya, dia seseorang yang Papa kamu sayangi. Tante Fara juga akan menyayangi kamu."
"Kalau Nona Cala, sayang Papa juga nggak?" Calandra langsung tersedak, begitu pun dengan Cilla. Keduanya bersamaan mengambil minum, melegakan tenggorokan terlebih dahulu. "Kenapa, Nona Cala, Cilla? Kok batuk-batuk bareng."
"Kaget aja." Cilla tersenyum singkat, menaikkan bahu.
"Nona Cala sayang siapa?"
"Sayang Cilla."
Aluna menatap Cilla beberapa saat. "Sayang aku juga nggak?" tanyanya dengan raut sedih.
Calandra mengangguk. "Sayang juga." Senyum Aluna mereka seketika, mengangguk sambil mengacungkan jempol. Anak ini polos sekali.
"Kalau gitu sayang semuanya, Papa juga." Akhirnya Calandra mengiyakan saja, tidak berniat membuat Aluna merajuk dan berbicara lebih banyak saat makan. "Nanti aku bilang ke Papa ya."