4. Perlindungan dari Anak-anak

1172 Kata
Beberapa makanan yang ada di atas meja tampak jatuh dan pecah di lantai dan berhamburan. Membuat beberapa pengunjung restoran itu langsung mengalihkan pandangannya pada meja tempat Ando dan sosok wanita itu tengah duduk bersama saling berhadapan. Setelah mengatakan isi pikirannya, Mika dengan segera berlari dari depan Ando dengan kedua matanya yang telah memerah dan menangis dengan sesenggukan. Sedangkan Ando sendiri masih tampak terdiam membeku seolah tengah mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia terus menatap pada punggung mungil putri satu-satunya yang berjalan keluar. Hingga ketika pandangannya jatuh pada seseorang yang tengah menatapnya dengan ekspresi rumit dan juga kedua mata berair, saat itu juga Ando merasakan sakit di dadanya. Dengan spontan dia berdiri hendak mengejar anak dan istrinya yang mungkin telah salah paham atas apa yang terjadi saat ini. "Meisya!" "Maaf, sepertinya saya harus pergi sekarang." Ando segera bergegas pergi dari hadapan sosok wanita cantik di depannya yang juga terlihat membeku selama beberapa saat. Menatap Ando dan juga anak kecil yang kini telah berada dalam pelukan sosok wanita cantik di luar restoran. "Mika Sayang, udah jangan nangis ya." "Mika mau pulang Ma," suaranya terdengar bergetar, Mika masih saja sesenggukan dan tidak bisa menerima bagaimana ayahnya tega meninggalkan mereka demi bersama dengan wanita asing yang tidak dia kenal. "Iya ayo kita pulang, ayo Sakha pegang tangan Mama." Setelah itu Meisya dengan segera berjalan mendekat ke tepi jalan dan menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depannya. Lalu ia dan kedua anaknya langsung masuk ke dalam dan Meisya dengan segera berjalan pergi meninggalkan restoran tempat yang membuatnya merasa kurang nyaman. Dadanya terasa sakit dan sesak. Perasaan familiar yang pernah dia lalui dulu, dia bahkan tidak pernah mengira akan kembali mengalami rasa-rasa tidak menyenangkan seperti ini. Meisya tidak ingin menangis, namun ia rupanya salah prasangka bahwa dia telah menjadi sosok wanita yang lebih kuat dari beberapa tahun yang lalu. Nyatanya air matanya tetap tidak bisa diajak berkompromi ketika tetes demi tetes air mata terus saja berjatuhan dari kedua matanya. "Mama ..., " Sakha kini kedua matanya juga tampak berkaca-kaca dan memerah, namun dia dengan cepat mengusapnya kasar agar tidak ikut menangis seperti apa yang dilakukan oleh mama dan kakaknya. Mungkin Sakha memang masih kecil, dia baru berusia 4 tahun lebih. Tapi dia sebagai anak laki-laki tidak ingin menangis dan membuat ibunya semakin sedih, alhasil dia menahannya. Sakha juga merasa kalau dia tidak suka melihat ayahnya dekat dan pergi dengan wanita lain yang bukan mamanya. Padahal ayahnya sudah berjanji untuk menemani mereka berjalan-jalan. "Mulai sekarang Sakha tidak mau Ayah lagi, Sakha cuman mau sama Mama dan Kakak. Sakha nggak butuh Ayah lagi!" Meisya yang masih mendongakkan kepalanya beberapa kali untuk menghalau air matanya agar tidak mengalir lebih deras kontan saja segera berbalik melihat Sakha yang saat ini juga terlihat sedih dan kedua matanya memerah. "Apa yang kamu katakan? Kamu masih kecil, tidak perlu melakukan hal itu. Mama dan Ayah baik-baik saja, mungkin tadi itu adalah klien-nya Ayah. Sakha gak boleh ngomong gitu lagi, oke?" Meisya memaksakan senyum lembut di wajahnya. Dia lalu mengulurkan kedua tangannya untuk merangkul Mika dan juga Sakha yang langsung berhambur memeluknya dengan erat. Keduanya tenggelam dalam pelukan hangat Meisya, terutama Mika yang saat ini masih saja menangis terisak dalam diam. Sebagai seorang anak perempuan dia tentu lebih peka dan sakit hati melihat ayahnya telah mengingkari janji dan malah berkencan dengan wanita lain. Mika merasa bahwa ayahnya tidak lagi menyayangi mereka bertiga dan lebih memilih orang luar. "Mama jangan tinggalin Mika ...," Mika masih saja menangis, dia sesekali berbicara dengan terbata-bata. Wajahnya memerah dan tampak berantakan karena air mata yang tidak berhenti keluar dari matanya. "Kenapa Mama harus ninggalin Mika? Mama sayang sama Mika, nggak mungkin Mama tega ninggalin anak Mama yang cantik ini hmm." Meisya mengecup dahi Mika yang tampak hangat karena terlalu lama menangis. Lalu tak beberapa lama akhirnya mereka tiba di depan rumah, Meisya segera membayar uang taksi dan turun untuk membawa keduanya masuk ke dalam rumah. Namun Mika dan Sakha saat ini sama sekali tidak ingin lepas dari Meisya, mereka terus saja menempel dan begitu lengket dengannya. Bahkan saat Meisya ingin mengambil air putih pun mereka berdua masih tidak mau melepaskannya. Hal itu membuat Meisya mau tidak mau tertawa karena sedikit merasa terhibur atas tingkah laku keduanya yang menurutnya cukup imut. Meski ada rasa sakit di hatinya, tapi anak-anak ini telah memberinya banyak kehangatan dengan tingkah laku mereka dan bagaimana keduanya sangat perhatian padanya. "Mama nggak akan kabur, biarkan Mama membuat makan malam dulu karena kita gagal untuk makan di luar hari ini." Setalah minum air putih, Meisya ingin memasak, namun ia agak kesulitan karena Mika masih bergelayutan di lengannya yang sebelah kiri dan Sakha bergelayutan memeluk pinggangnya tidak mau lepas. Meski ada beban di hatinya, tapi Meisya bukannya orang yang tidak masuk akal dan tidak mengerti maksud kedua anak ini tidak mau lepas darinya. Meisya juga tidak bisa marah sama sekali dengan keduanya yang bertingkah seperti ini. Terutama Mika, Meisya tahu dari awal Mika sangat sayang padanya. Bahkan mungkin bisa dikatakan alasannya sedari awal mau menikah dengan Ando karena dia tidak tega melihat Mika yang akan dioperasi. Dia hanya ingin mengabulkan keinginan gadis kecil ini pada awalnya. Namun hingga kini Meisya semakin jatuh terlalu dalam. Dan saat seperti ini rasanya seperti berada di tengah ombak dan dia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Sayang, Mama mau masak dulu ya. Sini kamu bantuin Mama cuci sayuran ini dulu, Sakha juga bantuin Mama petik tangkai cabai ya di sini. Tapi kamu jangan sampai pegang mata ya kalau lagi petik cabai biar gak pedih matanya." "Iya Ma!" Keduanya kompak bersuara mengikuti instruksi Meisya. Membuat Meisya pada akhirnya merasa lega sedikit karena tidak lagi digelayuti oleh keduanya. Meski rasanya masih sakit hati, tapi dia tidak bisa mengabaikan kedua anaknya yang mungkin masih merasa lapar. Setidaknya dengan memasak akan membuatnya sedikit mengabaikan pikirannya dari hal-hal tidak menyenangkan tadi walau hanya sedikit. Saat Meisya masih sibuk memasak, dia dapat mendengar suara mobil berhenti di depan halaman rumah. Dia hafal betul suara deru mobil itu milik siapa, namun Meisya tidak ada niatan untuk datang ke depan dan menyambutnya. Dia lebih memilih untuk fokus dengan masakannya. Kedua anaknya juga saat ini langsung memasang sikap defensif terhadapnya. Mereka berdua berdiri tidak jauh dari Mika yang tengah memasak dan memasang wajah galak. Meisya merasa bahwa mereka berdua terlihat lucu, namun dia tidak bisa tertawa. Seolah ada bentrokan emosi dalam dirinya yang membuatnya sulit untuk bisa tertawa dalam kondisi seperti ini meski melihat betapa menggemaskannya mereka dalam melindunginya. "Sya aku ...," "Kenapa Ayah pulang? Pergi sana, kita nggak mau Ayah. Ayah jahat!" Belum sempat Ando melanjutkan perkataannya, dia sudah disela oleh Mika yang tengah menatapnya dengan tajam. Gadis kecil itu kini tidak lagi terlihat menangis, tapi dia sangat menghalanginya untuk mendekat ke arah Meisya, seolah dia adalah penjahat yang bisa melukai ibu mereka. "Benar, Ayah pergi. Jangan ganggu Mama!" "Tapi Ayah ...," "Pergi Ayah, temani saja wanita itu. Kenapa Ayah pulang ke rumah lagi!" kedua mata Mika kembali berkaca-kaca lagi, membuat Ando pada akhirnya mengalah dan pergi ke ruang tamu untuk menunggu Meisya selesai memasak baru mencoba untuk menjelaskan semuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN