"Pi, Langit mau tanya-tanya, boleh?"
"Soal?"
"Nikah."
"Oh, boleh. Sini masuk!"
Di ruang kerja papi, Langit masuki. Sepulang dia dari Semesta Media, hari itu. Biasanya Langit akan mampir dulu ke apartemen untuk olahraga, menyempurnakan ototnya.
Percayalah, Alam Semesta tampak bercahaya saat senja itu putra bungsu dari pernikahan pertamanya mau bahas soal nikah. Ehm. Duduklah Langit di depan papinya.
"Gimana?" tanya papi memulai.
Langit berdeham singkat sebelum bilang, "Soal nikah, Langit mau tau dulu untung ruginya."
Jelas saja papi mengerling. "Kamu pikir nikah itu bisnis?"
"Anggap demikian, Pi. Kalau dominan untung, mungkin Langit bisa mempertimbangkan nikah dalam waktu dekat."
Oke.
Alam tertarik. Daripada anaknya jadi bujang lapuk, kan? Soalnya dia ingin menikahkan Wala yang sering main wanita, takut bablas, jadi jalan pintasnya Alam mesti menikahkan Langit dulu biar nggak ada drama dilangkahi. Padahal kalau cowok mah katanya fine saja dilangkah adiknya begitu, tetapi Alam tidak mau. Camkan itu!
"Pertama, ruginya dulu, ya."
Langit mengangguk.
Alam menjawab dari apa yang pernah dia alami. "Mungkin dari segi waktu, di situ kamu akan menghabiskan sebagian quality time kamu buat keluarga. Istri misalnya, pasti nanti waktu yang biasa kamu gunakan untuk olahraga, bisa jadi berkurang karena adanya istri. Mungkin harus itu dan ini. Apalagi kalau sudah punya anak, mungkin yang seharusnya kamu pergi main ... eh, tapi kamu gak pernah main, nanti jadinya dipakai buat bantu jagain anak, ganti popoknya, mandiin, nyuapin juga, misal istri sibuk entah apa. Misal."
"Next?"
"Karena hidup kamu nanti nggak sendiri, pasti akan ada perbedaan pendapat, otomatis rugi emosi, soalnya kamu antara harus sabar, mengalah, atau justru sebaliknya."
"Terus?"
"Keuangan, sih, pasti. Nafkah istri, kan, dari suami. Siap-siap aja uang kamu jadi uang istri. Oh, ya, kamu pun dituntut untuk saling menahami nanti. Itu butuh waktu dan effort yang tinggi. Perempuan, kan, suka bilang terserah, nggak pa-pa, kadang lain di mulut lain di hati, mungkin ini bisa merugikan emosi dan waktu kamu tadi."
Oke, Langit manggut-manggut.
"Tapi, ya, menurut Papi. Rugi yang disebut tadi itu sejatinya nggak rugi, karena seiringan dengan untung yang mengikuti. Untungnya lebih banyak pula."
"Contoh?" tanya Langit.
Tiba-tiba papi pindah tempat duduk dan berbisik.
Shit!
Hidung Langit kembang-kempis selepas itu.
"Belum pernah, kan, kamu?" ledek papi. "Enak banget, lho, itu. Coba deh nikah, enak."
Astagfirullah.
"Ya, itu enaknya. Selain kebutuhan biologis bisa tersalurkan, kamu juga akan punya temen ngobrol seumur hidup, orang yang akan ada di pihak kamu melebihi yang selama ini kamu punya. Tapi itu kalo kamu nikahnya sama cewek baik dan benar, ya. Beda lagi kalau sama cewek yang sangat tidak Papi rekomendasikan."
Bentar, Langit berpikir. Baru kali ini dia mikir keras setelah sekian lama otaknya encer-encer saja.
"Maksudnya, tuh ... kan, ada nih cewek pelit, boros, mata duitan secara kurang ajar, terus nggak setia, yang begitu-begitu yang bikin rugi sesungguhnya. Tapi sama sekali gak akan rugi kalau kamu nikahnya sama orang yang tepat."
"Cara Langit menemukan orang yang tepat itu gimana?"
Papi menggumam lama dengan kerutan di dahi tampak berpikir juga. "Mungkin hati kamu yang tau jawabannya?"
Alis Langit menukik. Masalahnya, hati Langit terlalu lama beku, gimana dia tahu kalau itu adalah jawaban saat lumernya saja baru dirasa sekali ini? Barangkali, pun bukan kepada orang yang tepat.
Terdengar suara papi berdeham. "Tiba-tiba bahas ini ... udah ada lampu ijokah sama anaknya Mbak Retno?"
Langit melirik papi. "Papi setuju kalau Langit sama dia?"
"Lho, iya, dong. Kan, Papi yang request. Toh, Mbak Retnonya baik. Pasti anaknya juga baik-baik."
Agak klise dan tidak akurat, sih. Buktinya, kalau tidak cerdas, Langit pasti akan merasa ditipu. Untungnya, sebelum pertemuan itu Langit dahulukan mencari data akurat perihal wanita yang papi rekomendasikan.
"Besok temenin Langit ke sana, yuk, Pi?"
"Eh, beneran udah goal? Fix, nih, sama Nadila?" Papi tampak semringah.
Di situ Langit tertawa. Ya, ya, ya ....
***
"OB-nya lagi cuti, ya, Mas?"
Keesokan hari, di ruang kerjanya, Langit mendongak, sejenak menatap kopi di meja plus orang yang membawakannya.
"Terima kasih."
Betul!
Kalia berdecak lirih. Ditanya malah gitu jawabnya. Jadi, pagi-pagi sekali saat Kalia datang ke tempat PPL-nya, ternyata bertepatan dengan Mas Langit yang hendak naik ke lantai 4. Maka mereka berbagi ruang dalam lift.
Saat Kalia hendak keluar di lantai 3, Mas Langit bilang, "Nanti bawakan kopi tanpa gula, ya, ke ruangan saya."
Pintu lift langsung tertutup, pas sekali. Kalia melongo.
"Kalo gitu aku permisi--"
"Sebentar," sergah Langit tanpa menatap Kalia di depan meja kebesarannya. "Saya lupa belum sarapan. Bisa tolong belikan ke rumah makan di sebelah? Porsi biasa aja." Di sana ada porsi jumbo soalnya.
Kalia makin dibuat melongo. Langit pun angsurkan uang seratus ribuannya, selembar saja.
"Menunya perbanyak sayuran, ya. Kalau bisa protein, lemak, dan karbohidratnya seimbang."
Astagaaa!
Kalia terperangah.
"Ini. Ambil uangnya. Lebihnya buat kamu."
Bentar, oi, bentar!
"OB-nya cuti?"
Membuat Langit menatap Kalia yang belum juga meraih uangnya. "Cuti nggak cuti, kalau bos mintanya anak PPL yang berangkat, memang boleh nolak?"
Dih, dih, nyebelin. Kalia pun menghela dan mengembuskan napas tertekan secara samar. Fine.
"Ditunggu sarapannya, Mas."
"Ya."
Kalia menatap sosok itu sebelum dia benar-benar keluar dari ruangan ini, Mas Langit tampak seperti putra mahkota dengan kemeja sesak napasnya, ada kacamata baca di sana. Terus, Kalia pelayannya, gitu?
Menyebalkan.
Yeah, andai Kalia tidak mengenal Langit, mungkin dia akan senang-senang saja disuruh hal ini oleh bos ketika PPL. Apalagi dapat upah. Namun, karena tahu manusia itu jail, jadi terasa menyebalkan.
Tak berapa lama, Kalia kembali.
"Silakan, Mas, hidangan bergizinya. Tapi aku nggak tau udah pas belum takaran protein, lemak, dan karbohidratnya."
Langit letakkan kacamata bacanya di meja, alih pada nasi kotak dari Kalia.
"Terima kasih."
"Hm. Kalau gitu aku pamit, permisi!"
Langit manggut-manggut. Namun, belum juga Kalia lengser dari sana, suara masnya menginterupsi.
"Kamu sudah sarapan?"
Kembali, Kalia menoleh. "Udah, Mas."
"Jangan bohong. Jangan sampai pekerjaan kamu ada selisih gara-gara lapar."
Senyum segaris Kalia suguhkan kepada beliau. "Beneran udah, kok."
"Ya sudah, silakan."
Akhirnya, Kalia keluar dan bebas dari jeratan Mas Langit pagi itu tepat di pukul setengah sembilan. Uh ....
Kalia menghela napas pelan. Cowok itu ... calon kakak iparnya, ya? Mengingat ayah akan pulang hari ini dan katanya nanti sore mau ada yang melamar. Tepatnya, lelaki taarufan Mbak Nadila.
***
"Berita besar!"
"Guys, guys, sini! Big news!"
Kontan anak PPL pun ikut menoleh, meski mereka tak ikut gabung di kerumunan para pekerja. Namun, tetap kedengaran sampai sini, kok.
"Katanya Mas Langit mau nikah!"
"HAH?"
"Serius?!"
"DEMI APA?"
"Jangan hoax, kamu. Mas Langit, kan, homo."
"Hush!"
"Bukannya Mas Langit selibat, ya? Kaum-kaum yang gak mau nikah seumur hidup gitu."
"Ngarang! Mas Langit itu jomlo karena dia naksir sama istrinya Mas Guntur, tau!"
"Heh!"
Kalia mengerjap. Ya ampun. Sebanyak apa karyawan di sini menyebar berita tak sedap didengar itu? Tapi, kalau salah satunya benar bagamana?
"Berisik, oi! Jaga adab, ada anak PPL ini."
"Adik-Adik, adegan barusan jangan ditiru, ya."
Kalia dan kawan-kawan cuma senyum kikuk saja, lalu pura-pura nggak tertarik. Padahal, ya, pulang nanti fix bikin grup khusus gibah owner Semesta Media. Fix banget.
"Tapi ini asli, beritanya aku dapet dari mulut Pak Awan sendiri tadi. Denger-denger sore ini keluarga Semesta mau hantaran lamarannya beliau."
"Wah ...."
Begitulah, sampai akhirnya Kalia pulang pukul empat sore. Dia pun turun ke kafe Universe, mau pulang bareng mbaknya.
"Lho, Dek ... Dila nggak ngasih tau, ya? Kakak kamu, kan, pulang duluan tadi. Ada acara keluarga katanya."
***
Baik, mari kita simpulkan. Otak Kalia sejak kemarin sudah menyulam poin-poin yang sejatinya nyangkut di otak sejak hari di mana Mas Langit dikabarkan akan menikah, lalu Mbak Dila yang pulang duluan sebab ada acara keluarga. Anehnya, sebagai adik, Kalia tidak diikutsertakan. Kok, gitu banget?
Ya, meski Kalia dapat panggilan tak terjawab dari ayah dua kali, sih. Namun, hanya itu. Seolah tak hadir pun Kalia ini tak akan jadi masalah karena dia bukan tokoh utama di acara Mas Langit dan lamarannya.
Kesimpulannya: Mbak Dila fix mau dinikah dengan Mas Langit.
Oke, menjadi alasan kenapa Kalia sepulang kerja kemarin bukannya langsung pulang, dia malah mampir dulu di timezone. Untung ada Atika yang menemani.
Habis itu, Kalia langsung masuk kamar membuat ibu yang mau mengajaknya bicara, urung ditahan ayah sebab melihat Kalia yang bad mood.
Ah, nggak tahu, deh.
Sampai kini paginya, selepas Kalia simpulkan semua itu sendiri, dia siap menghadap obrolan keluarga jika itu menyangkut lamaran kemarin.
"Ayah telepon nggak diangkat, Kal?"
Kemarin itu.
"Maaf, Ayah. Hape Kalia di-silent soalnya nggak enak di kantor, jadi jarang cek hape."
Ayah manggut-manggut.
"Tapi tau kemarin sore ada yang datang?"
"Tau, Yah. Ibu bilang lamaran, ya? Lancarkah, Mbak?" Teruntuk ayah, ibu, dan mbaknya.
Mereka mengangguk. Kalia berucap syukur. Tanda bahwa dia harus semakin jaga jarak dan sikap kepada Mas Langit. Calon ipar.
"Kalia punya pacar?"
Tiba-tiba ayah tanya itu, nyaris saja Kalia tersedak.
"Belum, Yah."
"Tapi ada nggak lelaki yang Kalia suka?"
Duh, pertanyaan ayah nggak pernah kayak gini sebelumnya, Kalia jadi salah tingkah.
"Em ... nggak, belum." Mungkin?
Karena ada satu yang Kalia suka pun, yakni Kak Eca, nyatanya berakhir kecewa. Satu lagi yang--lumayan Kalia gemari--tetapi telanjur ditampar kenyataan bahwa perasaan sukanya akan sangat tidak sopan sebab beliau adalah Mas Langit.
Ayah manggut-manggut lagi.
"Rencana nikahnya kapan, Mbak?" tanya Kalia. Serius nanya.
Namun, ayah lagi yang jawab. "Katanya nanti mau nunggu kamu wisuda dulu. Biar kamu fokus kuliah, tanggung. Sebentar lagi skripsian, kan?"
Agak mengernyit, tetapi kemudian berpikir: Mungkin Mbak Dila yang menyarankan agar pernikahan mereka dilaksanakan setelah Kalia beres kuliah. Soalnya, kan, uang kuliah Kalia juga suka disumbang dari Mbak Dila. Iya, masuk akal. Yang unlogika itu, hubungannya Kalia harus fokus kuliah dulu sama pernikahan Mbak Dila itu apa, ya?
"Hari ini mau ke kantor bareng nggak, Kal?"
Beralih obrolan.
"Aku naik gojek aja, deh, Mbak."
Iya, begitu.
Hari itu.
Setibanya di SM, Kalia berikan helm hijau kebangsaan mamang ojol.
"Makasih, ya, Pak."
Kalia pun lengser memasuki pelataran kantornya, bertepatan dengan suara pintu mobil ditutup, Kalia menoleh, rupanya Mas Langit.
"Rambut kamu ...."
Kaget, dong, Kalia!
Belum juga menyapa, dia di-notice, perihal rambut pula, padahal orang rumah pun tak ada yang menyadarinya bahwa ....
"Dipotong, ya?"
Jeli banget mata masnya.
"Iya, Mas. Keciri, ya?"
"Banget. Poninya beda."
Oh, iya, iya. Memang cuma poni saja yang Kalia potong. Dia menggigit bibir bagian dalamnya, menahan diri buat nggak bertanya, "Cocok, nggak?"
Susah.
Keluar juga itu kata.
Di sebelahnya Mas Langit mengamati, lalu bilang, "Coba senyum."
Kalia bingung.
"Senyum."
"Begini?" Tersenyum simpul. "Cocok?"
Potongan poninya.
Mas Langit mengangguk mantap. Makin senyum Kalia. Di sebelum Mas Langit bilang, "Persis. Kemarin lihat film Annabelle, begini bentuknya."
Anj--#&@^€!!!!
***
NOTE:
Segini dulu, ya. Ditunda sampe ACC. Selamat menunggu.... lap yu!
Komen yang banyak guys, biar ACC