"Fai, akhirnya kamu sadar juga," ucap Gina saat melihat kelopak mata Fai mulai bergetar.
Fai juga perlahan membuka mata. Dia secara samar mendengar suara Gina yang penuh rasa syukur. Lalu tak lama kemudian, dia bisa mendengar suara tangis yang memenuhi tenda. Pikiran Fai tiba-tiba menjadi segar dan inilah yang membuat hatinya masam. Dia memilih untuk tetap memejamkan mata sejenak sebelum dirinya bisa menyiapkan mental.
Lagi pula, penemuan serpihan badan pesawat itu sepertinya sudah diumumkan secara resmi. Yang mana berarti bahwa kemungkinan pesawat jatuh hampir delapan puluh persen. Yang harus Fai lakukan sekarang hanyalah menguatkan diri. Karena Fai sadar bahwa Afif mungkin akan memaksakan diri untuk datang ke Jakarta. Dan adik lelakinya itu tidak bisa meninggalkan adik-adiknya yang lain.
"Fai, apakah kamu merasa tidak enak? Pusing? Mual?" tanya Gina dengan lembut. Dia sebenarnya ingin menunggu hingga Fai membuka mata, sayangnya, sepertinya Fai memilih untuk terus memejamkan matanya. Sehingga Gina merasa tidak sabar dan menjadi lebih cemas.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin memejamkan mata sejenak. Rasanya tidak kuat melihat orang-orang menangis di sekeliling kita. Dan karena tangisan ini, aku harus menerima kenyataan bahwa apa yang aku dengar sudah diresmikan. Aku kemungkinan sudah tidak bisa bertemu dengan Mamak, Na," ucap Fai dengan lemah.
Suaranya yang lemah dan tidak berdaya membuat Gina merasa masam. Bahkan tidak hanya masam, Gina merasakan bahwa air mata yang harusnya dia tahan, tapi malah mengalir dengan derasnya melewati pipi. Gina sudah mencoba untuk mengusapnya, memanfaatkan Fai yang masih memejamkan mata, berusaha agar air mata itu berhenti. Sayangnya, sekuat tenaga Gina melakukannya, air matanya itu mengalir dengan deras.
"Kamu menangis, Na?" tanya Fai dengan lembut.
"Enggak," jawab Gina.
Gadis itu berusaha untuk seperti biasanya, sayangnya suaranya benar-benar serak. Menandakan bahwa Gina sendiri mencoba segala cara agar tidak terisak. Mencoba agar bisa menangis dalam diamnya. Sayangnya, semakin Guna berusaha, semakin Gina tidak bisa menahannya. Pundaknya bergetar bersamaan dengan telapak tangan kanan Gina yang membekap mulutnya sendiri.
"Aku tahu kamu menangis. Jangankan tragedi seperti ini, aku gagal dalam praktek saja kamu menangis. Padahal jika kamu sendiri yang gagal, kamu akan bersikap biasa saja. Aku tahu kamu meskipun harus menutup mata, Na," ucap Fai sekali lagi. Saat ini, ada senyum lelah di wajah Fai yang pucat. Benar-benar terlihat sangat menyakitkan.
"Maaf, aku sudah berusaha. Maafkan aku," ucap Gina dengan terbata dan bercampur dengan air mata.
Bagi Gina, Mamak Fai bukanlah orang lain. Meski hanya bertemu selama seminggu dan itu juga untuk yang pertama kalinya, Gina sudah sangat akrab. Terlebih lagi selama seminggu itu, Gina merasa bahwa asupan nutrisinya terpenuhi. Bukan hanya asupan nutrisi saja, tapi Gina juga merasakan bagaimana masakan seorang ibu.
Bukan karena Ibu Gina, Ibu Husna, tidak bisa memasak, tapi Bu Husna tidak memiliki kesempatan untuk membuatnya karena terlalu sibuk. Jadi, selama seminggu Bu Khotimah berada di kost Fai, Gina selalu datang ke sana. Makan tiga kali sehari dan bahkan memberikan uang makan kepada Bu Khotimah. Meski kadang ditolak oleh wanita paruh baya itu.
"Mamak sudah seperti Mamak aku sendiri, Fai. Meski kamu yang anak kandung, tapi aku juga merasakan sakitnya kehilangan ini. Aku juga kehilangan Mamak. Padahal aku baru jumpa sekali dan selama seminggu juga. Aku masih berpikir untuk meminta Papa mengirim tiket lain buat Mamak saat adik-adikmu libur. Aku benar-benar masih ingin makan masakan Mamak Fai. Aku bahkan udah janji ngajak Mamak ke dufan, aku—"
Fai akhirnya memilih membuka mata ketika mendengar suara Gina yang terhenti. Di mana yang terdengar akhirnya hanyalah sebuah isakan yang sungguh menyayat hati. Fai tidak menyangka bahwa Gina benar-benar akan seperti ini. Sebagai sahabat Gina selama beberapa tahun ini, Fai tahu betapa tulusnya gadis ini. Fai juga tahu bahwa saat ini, Gina tidak pernah berbohong.
Selama seminggu ini, kedekatan Gina dengan Bu Khotimah juga bukan sebuah sandiwara. Gina benar-benar menganggap Bu Khotimah seperti Mamanya yang lain. Bahkan selama seminggu, Gina juga tidak malu untuk bermanja. Dia bisa meminta makanan apapun yang Bu Khotimah bisa buat. Menurut Fai, Gina dan Bu Khotimah benar-benar seperti sepasang anak yang terpisahkan.
"Jangan menangis. Jika Mamak memang sudah pergi, tangisan kita hanya akan memberatkannya. Mamak hanya ingin kita menjalani hidup dengan baik. Mamak ingin melihat kita jadi dokter," ucap Fai dengan lembut. Sebegitu tegarnya Fai sehingga jika orang lain melihat, mereka mungkin menebak bahwa anak kandung dari Bu Khotimah adalah Gina.
"Aku—aku akan belajar dengan giat lagi. Aku enggak akan nyusahin kamu lagi. Mamak bisa melihat aku sebagai dokter yang bisa diandalkan," ucap Gina sambil mengangguk. Suaranya yang serak dan terbata benar-benar menyayat hati.
Fai juga mengangguk sebagai balasan. Dia tidak bisa lagi membuka mulutnya. Karena jika Fai bersuara, mungkin dia akan ikut menangis. Yang Fai lakukan hanyalah memeluk Gina dengan erat.
Yang selalu Fai syukuri selama ini salah satunya adalah bertemu dengan Gina sejak semester awal perkuliahannya. Fai juga bersyukur karena memilih untuk mengajari Gina. Setelah berteman dengan Gina, Fai sebenarnya tidak perlu risau soal makanan. Itulah alasan mengapa uang kerja part timenya bisa dikirim sebagian ke rumah. Bahkan untuk uang kebutuhan lainnya, Gina akan melakukannya. Dengan dalih mencontek, Gina akan menyiapkan tugas Fai yang sudah selesai. Gina, gadis ini memang sebaik itu.
"Jangan menangis lagi. Apakah kamu sudah mendapatkan kabar tentang adik-adikku? Aku terlalu sering pingsan sehingga bahkan tidak bisa mencari tahu. Ini hanya berlaku untuk sekarang ini," ucap Fai. Dia baru ingat tentang adik-adiknya. Yang mana mungkin akan dibawa oleh Afif ke Jakarta. Dan tiba-tiba Fai merasa tidak berdaya, dia tidak tahu apakah kostnya cukup untuk adik-adiknya itu.
"Dokter Aldi sudah pergi ke Bandara untuk mencari tahu. Aku sudah memberikan foto mereka yang ada di dompetmu. Maaf karena lancang, tapi takutnya jika mereka tidak bertemu. Lagi pula, mereka tidak saling kenal. Takutnya Afif memasang penjagaan dan tidak mau ikut dengan oran sembarangan. Jadi, foto ini bisa jadi bukti," jawab Gina dengan tenang. Dia sudah sering membuka dompet Fai, tapi ini pertama kalinya Gina mengambil sesuatu di dalamnya. Itulah mengapa Gina marasa sedikit tidak enak. Lagi pula, tidak semua orang suka bila barang pribadi mereka di ambil tanpa izin.
"Tidak apa-apa, aku paham dan mengerti. Kamu melakukan semua ini untukku. Dan aku berterima kasih karena kamu menghandle segalanya. Jika hanya ada dokter Yisma dan dokter Aldi, mereka mungkin tidak berani mengambil keputusan seperti ini. Aku sangat bersyukur karena di bantu seperti ini," ucap Fai dengan lembut. Dia sudah melepaskan pelukannya dan sekarang menggenggam tangan Gina dengan erat.
"Aku tahu. Kamu pasti tidak akan menyalahkanku!"
***
Runa baru saja selesai menyelesaikan siaran langsungnya. Di mana siaran langsung ini adalah yang ke empat di hari ini. Hari sudah cukup malam, dan dermaga yang menjadi posko menjadi ramai. Para tim pencarian yang siang tadi berlayar, sekarang sudah mulai merapat. Runa di sini untuk menunggu Saka dan Raka.
"Aku ingin pergi ke toilet dulu. Kamu tetap di sini dan jangan ke mana-mana. Aku bukan Saka dan Raka yang akan tahu di mana dirimu berada," pamit Abel. Sebelum pamit, dia bahkan memberikan sebuah wejangan yang cukup panjang. Takut jika nantinya Runa akan membuat masalah lagi.
"Aku tahu. Aku tahu. Jangan khawatir," ucap Runa dengan sedikit gemas. Bahkan menatap ke arah Abel dengan sedikit cemberut.
"Baiklah. Aku pergi sebentar."
Runa menatap ke arah Abel dengan menghela napas perlahan. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sayangnya, dia kaget dan hampir terjatuh dari duduknya. Terutama karena seorang laki-laki berdiri di depannya dengan tegap. Yang pertama kali bisa Runa lihat adalah kakinya. Kaki itu terbalut dengan kain lotenh yang khas. Yang entah mengapa, Runa merasa bahwa ketakutannya sedikit mereda.
"Ada apa?" tanya Runa. Saat dia mendongakkan kepala, Runa akhirnya tahu siapa yang berada di depannya ini. Dan nada ketus dalam suaranya terdengar.
"Tidak, aku hanya penasaran siapa cewek yang berada di sini sendirian. Lagi pula, ini adalah dermaga. Dan banyak cerita horor di sini," ucap lelaki bernama Biru itu.
"Oh, udah tahu bahwa aku adalah orang beneran, kan? Jadi kamu bisa pergi," usir Runa. Dia tidak ingin moodnya rusak seperti di siang hari tadi. Lagi pula, dia akan bertemu dengan Saka dan Raka sekarang, jadi jangan sampai mereka berdua yang terkena imbasnya.
"Memangnya kamu punya hak untuk mengusirku?" tanya Biru dengan santai. Dia bahkan duduk di samping Runa. Tempat di mana Abel duduk tadi sebelum pergi ke toilet.
"Di situ udah ada orangnya," ucap Runa dengan ganas.
Runa benar-benar ingin mendorong lelaki bernama Biru ini. Bahkan bila perlu sampai kejengkang karena di dorong olehnya. Sayangnya, itu hanya pemikiran Runa saja. Lagi pula, melihat betapa tegapnya tubuh biru, itu artinya bahwa kekuatan Runa mungkin tidak cukup. Bahkan tubuh Saka dan Raka yang tidak setegap Biru saja, Runa tidak berani melawan.
"Tidak ada orangnya. Temen kamu itu ke toilet. Dan berarti bangku ini kosong. Siapapun bisa untuk mendudukinya," tolak Biru dengan santai. Benar saja, Runa menjadi marah mendengar penolakan Biru itu.
"Kamu tahu gak sih—"
"Ssst, kapal kapal tim pencarian sudah mulai merapat lagi," potong Biru. Dan ini benar-benar mengalihkan perhatian Runa.
Runa mengikuti arah yang ditunjuk oleh Biru. Ada dua kapal yang sedang bergantian untuk terparkir di dekat dermaga. Dan dua kapal ini adalah yang di bawa oleh Raka dan Saka. Sehingga Runa memilih bangkit untuk mendekat. Meski sebenarnya tidak terlalu dekat karena memang hal itu dilarang. Runa mendekat sedikit karena bertujuan agar Saka dan Raka bisa melihatnya. Jika sudah begitu, ke dua cowok itu tidak akan kesulitan mencarinya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Biru. Dia bahkan dengan reflek menangkap pergelangan tangan Runa. Sehingga Runa yang mulai berjalan hanya bisa berhenti dengan mendadak.
"Aku mau nemuin saudara kembarku. Dan ini enggak ada urusannya denganmu. Jadi, tolong lepaskan tanganku," jawab Runa dengan ketus. Dia berusaha untuk melepaskan pergelangan tangannya. Sayangnya usahanya sangat sia-sia. Cekalan tangan ini sangat kuat, tapi Runa juga tidak merasakan rasa sakit. Runa tahu bahwa Biru menahan kekuatannya.
"Aku antar ke sana. Siapa yang tahu bahwa kamu salah menebak," putus Biru pada akhirnya.
Runa benar-benar ingin mengatakan bahwa dirinya tidak akan salah menebak. Lagi pula, dia sangat tahu di mana keberadaan Saka dan Raka sekarang. Sayangnya, Biru sudah menarik tangan Runa, seolah-olah itu adalah kode agar Runa segera mengikutinya. Jadi, meskipun marah, Runa tidak bisa berbuat apa-apa.
"Raka, Saka!" panggil Runa dengan semangat. Dia melambaikan tangan kirinya karena tangan kanannya masih dipegang oleh Biru. Rasa senang ketika dirinya melihat Saka dan Raka yang kembali dengan baik-baik saja.
"Raka, Saka. Tunggu aku."
Suara lemah lembut yang bisa dibilang memiliki kesan menggoda membuat Runa menyerngit. Namun, ketika dia mengingat siapa pemilik suara ini, Runa menjadi marah. Terlebih sosok itu terlihat berlari di belakang Saka dan Raka. Untungnya, Saka dan Raka tidak memperhatikannya sama sekali.
"Run—Bang Biru!" ucap Raka dan Saka dengan serempak. Dua cowok itu awalnya ingin menyapa adik kembar mereka, tapi malah melihat abang senior mereka berada di sana.
"Tidak perlu upacara. Enggak ada yang lain di sini," jawab Biru dengan santai. Runa bahkan menatap ke arah Biru dengan penuh selidik. Dia tahu bahwa Biru ini mungkin adalah senior Saka dan Raka dilihat dari umurnya. Namun, yang membuat Runa kagum, Saka dan Raka sangat menghormatinya.
Runa terlalu terfokus dengan Biru, sehingga dia tidak melihat ke arah Zahra yang sedang melotot. Terutama memelototi Biru dengan hasrat. Mungkin Zahra tidak menyangka bahwa ada cowok ganteng lainnya di sini.
Jika berbicara Saka dan Raka, Zahra tidak terlalu pusing karena Runa bukan saingannya. Jadi, selama Raka dan Saka memperlakukannya dengan dingin, itu masih bisa diterima. Namun, lelaki di depannya ini sangat beda. Terlebih lagi, Zahra melihat bahwa tangan Runa digenggam olehnya. Meski lebih tepatnya dicekal agar tidak melarikan diri.
"Oh, Runa. Aku tidak percaya bahwa kamu akan mendapatkan mangsa lainnya. Apakah Abel dan Kak Juna masih kurang?"