2
"Ck ... Mas ini kantorku, kok pegang-pegang sih, pegang bahu lagi, sana agak jauh, kita sudah gak ada hubungan, selesai sudah." Redanti menepis tangan Abdi dengan wajah kesal, akhirnya ia tak bisa menahan diri lagi.
"Salah kamu sendiri, kenapa sok formal, kita loh pernah dekat, saaangat dekat, pernah sekamar, tidur berdua dan Tel ... "
"STOOOP ... kalo mau m***m jangan di sini, kita ini sudah selesai, selesaaai." Redanti menggeser duduknya dan Abdi juga menggeser lebih dekat ke arah Redanti menjauhinya.
"Kita sudahi saja pembicaraan gak guna ini."
"Baik, aku biarkan saja kasus ini?"
"Jangan macam-macam, aku sudah bayar mahal, aku bukan orang berduit lebih."
"Makanya jangan coba-coba nyuekin aku." Redanti mengernyitkan keningnya heran juga dia, masih gak waras saja mantan suaminya dan gak sembuh-sembuh ternyata.
"Ingat, kalo cuman berdua dan kau masih saja bicara formal aku cium kamu." Wajah Redanti memerah, ia merasa dirinya tak dihargai dan dilecehkan.
"Jangan samakan aku dengan wanita-wanita di luaran sana, aku bukan wanita murahan." Mata Redanti melotot dan menatap Abdi dengan tajam. Abdi malah terkekeh ia semakin gemas melihat Redanti yang baginya malah seperti mau tapi pura-pura malu.
"Justru aku nggak mau sama wanita diluaran sana, tiap kali aku nyoba yang ada malah bayanganmu menari erotis di hadapanku."
Redanti berdiri karena emosi dan menuju pintu, ia hendak membuka namun gerakan cepat Abdi menghentikan tangan Redanti.
"Kamu kok tega amat sih, masa kamu nggak kangen setelah sekian lama kita ..."
"NGGAK."
"Bohong, itu mata kamu penuh ..."
Tok ... tok ... tok ...
Abdi segera duduk dan Redanti membuka pintu, muncul wajah Silvi dan laki-laki yang selama ini juga dihindari oleh Redanti, tetapi kini berdiri di hadapannya.
"Ya, ada apa Silvi?" tanya Redanti dan mengabaikan tatapan laki-laki yang berdiri di samping Silvi.
"Ini Ibu, Bapak yang kemarin menghubungi saya, yang mau pakai jasa WO kita, bukan cuman mau bikin baju pengantin," ujar Silvi.
"Oh, mari silakan ... "
"Apa kabar Re ... "
"Baik, mari silakan masuk." Redanti melangkah mendahului Lanang, ia benar-benar merasa tak nyaman karena dua laki-laki yang ia hindari dalam hidupnya datang di saat bersamaan.
Lanang kaget saat melihat Abdi yang telah duduk, dan tak kalah kaget dengan dirinya saat mata mereka bersirobok tatap, Lanang segera mengulurkan tangannya dan keduanya terlihat sama-sama berpikir mengapa ada di tempat dan waktu yang sama.
"Apa kabar?" sapa Lanang.
"Baik," sahut Abdi sambil melepas genggaman tangannya dari tangan Lanang.
" Silakan Anda duluan, ada keperluan apa dengan Caca, saya masih lama," ujar Abdi sambil menyilangkan kakinya dan menatap penuh arti pada Redanti, sedang Redanti berusaha bersikap wajar meski dalam hati ia dongkol setengah mati karena Abdi seolah mau menunjukkan pada Lanang jika masih ada sesuatu diantara mereka.
"Silakan Mas Lanang, ada yang bisa saya bantu?" tanya Redanti berusaha ramah meski tak nyaman karena Abdi terus menatapnya.
"Itu Re, baju pengantin wanita yang kapan hari dicoba ... "
"Waaah mau menikah ya Anda ternyata, selamat ya selamat," ujar Abdi merasa lega seolah lepas dari beban berat, walau bagaimanapun laki-laki di depannya ini adalah salah satu saingannya, meski tidak terbukti ia ada suatu hubungan dengan istrinya tapi ia bisa melihat jika Lanang juga menyukai Redanti. Lanang menoleh dan berusaha sabar.
"Adik saya yang mau menikah, karena kami hanya dua bersaudara dan dia sedang sakit jadi saya yang mewakili ke sini."
"Oooh," terdengar suara kecewa Abdi.
"Aku ulang ya Re, intinya baju itu minta dikecilkan ukurannya, dia sakit agak lama, jadi ya gimana enaknya lah."
"Baik, nanti aku lihat lagi, atau jika dia sudah sembuh betul, fitting aja lagi, masih ada waktu kok, aku nggak tau kalo yang mau nikah adikmu," ujar Redanti.
"Hanya itu saja kan Saudara Lanang? Bisa kami lanjutkan pembicaraan berdua? Kami mau mendiskusikan hal penting, penting bagi kelangsungan butik ini," ujar Abdi dengan tatapan seolah mengusir Lanang agar segera keluar dari ruangan Redanti. Lanang menghela napas, ia malas berdebat dengan orang yang rasanya tak sebanding dengannya. Lanang sadar siapa dirinya, makanya ia segera bangkit dan pamit pada Redanti tanpa melihat Abdi.
Setelah Lanang pergi Redanti berdiri sambil bersedekap. Ia menatap laki-laki yang sok dekat lagi setelah sekian tahun tak bertemu dan sekian kesakitan yang ia ciptakan.
"Apa lagi yang mau kita bicarakan, bukankah selesai semua, Anda ... "
"Anda lagi, aku cium betulan kamu," Abdi berdiri dan Redanti segera memberi kode agar Abdi duduk. Ia malas berurusan dengan orang yang otaknya mulai miring.
"Ok, aku nggak mau berurusan panjang denganmu, aku lelah berurusan denganmu lagi, kalau kita ditakdirkan bertemu lagi seperti ini, artinya Allah ingin agar kamu tahu bahwa aku baik-baik saja tanpamu dan tanpa keluarga ningratmu, aku bisa berdiri sendiri, meski saat kita berpisah, papa meninggal karena terus berpikir bahwa aku sangat menderita karenamu, lalu mama menyusul satu tahun kemudian, kini saat aku mulai hidup tenang, bisa kan kamu nggak ngusik hidupku lagi? Aku yakin pasti ibumu bahagia kita berpisah, iya kan?"
Wajah usil Abdi tiba-tiba berubah datar tanpa ekspresi, ia mengerjab berulang dan menunduk sambil mengembuskan napas berat.
"Ibu merasa bersalah padamu, ia menyuruhku mencarimu, ia ingin meminta maafmu, karena selama ini yang dituduhkan Ibu ternyata salah, lebih-lebih saat laki-laki tadi, laki-laki yang dituduhkan berselingkuh denganmu mendatangiku, dia mengatakan tak pernah berdua denganmu jika pernah mendatangimu karena kau memakai jasanya, aku juga mencarimu Ca, merasa berdosa telah membuat akhir kisah kita seperti ini, meski kita saling cinta dan melalui masa pacaran sebelum menikah ternyata pondasi kita tak cukup kuat."
"Pondasimu yang tak cukup kuat, bukan kita, kau tak cukup mempercayaiku, hingga mudah terhasut, terlalu remeh alasan kita bercerai, kau terlalu lemah, makanya aku pergi darimu dan aku tak menyesal kita berakhir seperti ini, maaf, jika cukup, pergilah, tinggalkan aku, aku ingin sendiri, kedatanganmu sangat menggangu ketenanganku, aku tak berharap kita bertemu lagi."
Abdi mendongak menatap wajah Redanti yang berubah sedih dan matanya berkaca-kaca, ia menggeser duduknya tangannya terulur hendak meraih tangan Redanti.
"Jangan lakukan apapun, jangan sentuh aku, aku tak ingin menambah kenangan yang seharusnya tak perlu aku ingat lagi."
"Aku masih mencintaimu Ca."
"Sama, aku juga masih mencintaimu, tapi aku tak ingin kita kembali."