Chapter 1
Prolog
"Kita balikan lagi yuk Re, kita rujuk," ujar Abdi tiba-tiba, sambil menggenggam tangan Redanti dengan erat. Redanti menatap mata kelam laki-laki di depannya, ia melihat mata kelam itu tak juga berubah masih sama seperti saat awal mereka kenal dan dekat, cinta mati yang ternyata mampu keduanya pertahankan hingga mengantarkan mereka ke jenjang pernikahan.
"Mas ngajak aku rujuk kayak ngajak jajan bakso aja, enteng banget, ingat apa kata ibu Mas?"
"Apa?"
"Aku wanita tak berguna, ladang kering yang gak bisa buat bercocok tanam, nah, Mas masih mau sama wanita kayak aku yang nggak gak bisa ngasi anak?"
"Gak papa yang penting ya tetep bisa bercocok tanam."
"Lah ya gak ada hasil kaaan."
"Gak papa."
"Gak papa, gak papa, bodo ah ... males ngomong sama orang telmi."
Redanti menarik tangannya yang digenggam oleh Abdi. Mungkin bagi Abdi mengajaknya rujuk bagai mengajak bermain petak umpet setelah saling mencari dan menemukan selesai sudah. Tapi bagi Redanti seolah mengingatkan luka lama yang takkan pernah sembuh. Sejak awal masuk dalam keluarga besar Subandono ia hanya dipandang sebelah mata. Dirinya hanya anak seorang janda yang sesekali menerima jahitan dari tetangga kanan kiri dan kerabat. Kemampuan ibunda Redanti akhirnya diturunkan juga pada Redanti. Setelah tamat SMA Redanti melanjutkan berkuliah di salah satu universitas negeri di Surabaya di jurusan tata busana. Mungkin bagi orang lain berkuliah di sana hal yang biasa saja tapi bagi Redanti dan keluarganya itu hal yang sudah sangat membanggakan. Seorang tukang jahit mampu membuat anaknya setidaknya mengenyam pendidikan tinggi. Belum lagi adik Redanti, Raflyansyah yang masih SMA kala itu bukan perkara mudah untuk urusan biaya pastinya.
Sedang keluarga Abdi adalah keluarga terpandang yang mempunyai biro konsultasi hukum yang sangat terkenal sejak kakek Abdi, diturunkan pada ayah Abdi, juga Abdi dan kakaknya.
Entah apa yang ada dalam pikiran Abdi dan Redanti saat akan menikah, karena keluarga Abdi sejak awal sudah menunjukkan penolakan tapi keduanya menyakinkan diri bahwa mereka akan mampu mereka lewati jalan terjal itu.
Bulan-bulan pertama Redanti rasakan hal biasa saja, meski tak terang-terangan penolakan keluarga Abdi dia masih bisa menahan senyum kaku dan lirikan tajam ibu mertuanya. Namun bulan-bulan selanjutnya saat ia belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan maka nyinyiran keluarga besar Abdi jika bertanya padanya saat arisan keluarga seolah Redanti yang paling bersalah.
Abdi berusaha membesarkan hati istrinya, dan menengahi hal tak enak jika ibunya sudah semakin gencar menyuruh terapi ini itu, juga saran ke dokter ini itu, hingga tahun pertama belum juga menampakkan hasil.
Ditambah kesibukan Abdi yang bersedia untuk sementara waktu berada di Malang, mengantikan posisi kakaknya yang saat itu sedang menemani istrinya yang sedang operasi kista hingga mau tak mau ia semakin tenggelam dalam kesibukan dan bertemu Redanti seminggu sekali.
Abdi sempat mengajak Redanti untuk ikut bersamanya di Malang tapi Redanti menolak karena saat itu ia sedang merintis butik yang telah lama ia idamkan, maka lengkap sudah jalan menuju kebuntuan hubungan keduanya. Dan yang semakin menyakitkan adalah tuduhan ibunda Abdi pada Redanti yang mengatakan dirinya bermain hati dengan laki-laki yang memang selama beberapa waktu sempat bertemu dengannya. Lanang, laki-laki yang telah memberikan sentuhan desain interior keren di butiknya. Laki-laki yang tak pernah datang sendiri ke butiknya mengapa justru Abdi dan keluarganya menuduh hal-hal yang tak masuk akal.
Saat keduanya semakin lelah oleh masalah masing-masing maka ditahun kedua ulang tahun pernikahan akhirnya mereka menyerah. Menyerah pada keadaan yang rasanya telah banyak menghimpit dan memperburuk hubungan keduanya.
Lalu setelah Redanti merasa nyaman, mengapa muncul lagi laki-laki yang mengempaskannya pada jurang kesedihan. Bukan perkara mudah melupakan Abdi namun usaha kerasnya sedikit demi sedikit bisa membuat ia berdamai dengan hatinya.
Sementara bagi Abdi pertemuan kembali dengan Redanti membuat dirinya seolah menemukan oase segar di gurun pasir. Di awal-awal bercerai belum ia rasakan karena sibuk dengan pendampingan Konsultasi di biro hukumnya dan pendampingan saat sidang dimulai. Namun memasuki bulan-bulan keempat dan kelima entah mengapa hari dan hatinya terasa kosong, ia sempat mendatangi rumah Redanti namun menurut tetangga sekitarnya pemiliknya telah pindah. Berusaha menghubungi ponselnya namun tak juga menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Abdi berusaha mengalihkan rasa rindunya pada hal-hal lain, pada wanita lain namun tak juga bisa mengenyahkan Redanti dari pikirannya. Hingga pertemuan kembali setelah tiga tahun berpisah karena sekretaris Redanti yang menghubunginya dan mempertemukan mereka kembali membuat Abdi yakin memang hanya Redantilah jodohnya hingga akhir jaman, tulang rusuknya yang sempat hilang dan entah dibawa siapa kini kembali berada di depannya, Abdi menyakinkan diri bahwa Tuhan mempertemukan mereka kembali karena mereka memang jodoh yang tertunda, yang terjeda karena hal yang tak pernah mereka inginkan.