"Jadi selama dua tahun menghilang, kamu tinggal di sini?" tanya Bruno pada Fadia yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Dari ekspresinya, sangat kentara kalau Fadia begitu tidak nyaman dengan kedatangan Bruno.
"Sayang sekali paman tidak kepikiran sama sekali kalau kamu menempati rumah lama orangtuamu ini," tambah Bruno.
"Memangnya kenapa kalau selama dua tahun ini aku tinggal di sini?" balas Fadia kemudian.
"Seharusnya kamu tetap memberi paman kabar saat tinggal di sini. Tentunya ... mengirim uang juga."
Bruno melanjutkan, "Paman sama sekali tidak kepikiran kamu tinggal di sini mengingat dulu rumah ini sangat tidak layak huni. Tapi setelah berada di sini, sekarang paman merasa rumah ini jauh lebih baik. Rupanya kamu merenovasinya. Se-niat itukah kamu tinggal di sini?"
“Andai tahu, paman pasti akan datang lebih cepat,” kata Bruno lagi.
“Sebenarnya apa yang Paman inginkan sampai mencariku ke sini?” Fadia masih berusaha sabar.
Fadia sebenarnya tahu kalau yang Bruno inginkan tidak akan jauh-jauh dari persoalan uang, uang dan uang. Bukankah selama ini pria itu menjadikan keponakannya sendiri sebagai mesin uang untuknya?
Jika saja Fadia tega bersikap tak tahu diri, wanita itu pasti langsung mengusir sang paman tanpa memberinya uang sepeser pun. Tidak peduli kalau pamannya itu yang merawatnya dari kecil hingga bisa mandiri.
“Dua tahun ini apa yang kamu lakukan di sini? Sampai-sampai melupakan paman yang merawatmu dari kecil,” ucap Bruno.
Sudah pasti hal seperti ini diungkit-ungkit lagi. Padahal sudah dua tahun tidak bertemu, rupanya Bruno masih sama seperti dulu yang selalu membawa-bawa balas budi agar bisa memeras uang Fadia.
“Aku merasa lebih nyaman tinggal di sini, Paman,” jawab Fadia. “Kalau boleh tahu, dari mana Paman tahu kalau aku ada di sini? Juga, apa yang Paman inginkan sampai datang jauh-jauh ke sini. Paman belum sempat menjawab pertanyaanku.”
“Paman ingin memintamu untuk membayar kontan utang budimu pada paman.”
“Apa?”
“Jadi, utang budi yang seharusnya kamu bayar seumur hidup pada paman … secara otomatis akan lunas dan paman tidak akan mengungkit-ungkit semua itu lagi,” jelas Bruno. “Paman juga tidak akan mengganggumu lagi. Mari bersikap selayaknya tidak saling mengenal dan menjalani hidup masing-masing. Itulah yang kamu inginkan, bukan?”
Tentu saja itu adalah harapan Fadia sejak lama. Sebelum pindah ke sini, ia harus melewati kepahitan dalam hidup demi bisa mencari uang lalu semuanya dirampas oleh sang paman. Bahkan, Fadia juga sempat terikat kontrak untuk bekerja di tempat hiburan malam yang gajinya langsung dipotong untuk membayar utang-utang Bruno yang memang doyan menghabiskan uang di meja judi.
Dua tahun lalu, saat Fadia punya kesempatan untuk melarikan diri. Ia yang memang sudah tidak tahan lagi memutuskan pergi dan tidak mau berkomunikasi lagi dengan Bruno. Persetan dengan balas budi sialan yang selalu Bruno sebut-sebut.
Namun, kini Bruno menemukannya dan kembali membuat hidupnya terusik. Fadia harus melarikan diri ke mana lagi kalau sudah begini?
“Kamu hanya perlu menuruti perkataan paman, dengan begitu semua utang balas budimu lunas,” ucap Bruno lagi.
Meskipun perasaan Fadia tidak enak lantaran yakin permintaan Bruno pasti aneh-aneh, tapi wanita itu tetap menanyakannya, “Menuruti apa?”
“Menikahlah dengan Juragan Iwan.”
“Apa?” Fadia yakin pamannya tidak waras. Mana ada utang budi dibalas dengan pernikahan?
“Juragan Iwan itu meskipun istrinya banyak, tapi uangnya jauh lebih banyak. Tanahnya berhektar-hektar. Masing-masing istrinya aja tinggal di rumah mewah, jadi hidup kamu pasti terjamin kalau bersedia membayar balas budimu dengan cara menjadi istri ke empat Juragan Iwan.”
Istri ke empat? Ini gila! Jadi istri pertama saja Fadia tidak mau!
“Ingat loh Fadia, niat paman sebetulnya baik. Menganggap lunas utang budimu sekaligus membuat hidupmu terjamin. Jadi menikahlah dengan Juragan Iwan.”
Fadia secepatnya menggeleng.
“Paman pasti punya utang padanya, kan? Makanya begini?”
“Kalau tahu alasannya, seharusnya kamu tidak perlu memberikan penolakan,” balas Bruno.
“Paman, dengar….”
“Kamu pikir paman sedang memberikan pilihan? Fadia, kamu tidak diperkenankan untuk menolak. Utang budi….”
“Kenapa Paman selalu mengungkit-ungkit soal utang budi? Padahal kalau ini soal uang, jika ditotalkan jumlahnya … uang yang aku berikan sangatlah banyak.”
“Tapi dua tahun ini kamu menghilang dan tidak pernah memberi paman uang lagi. Jika kamu utangnya pada bank, bunga dan dendanya pasti sudah menumpuk. Sedangkan paman memberikan keringanan dan toleransi.”
“Beginilah kalau utang budi didefinisikan sebagai utang seumur hidup,” kesal Fadia. “Maaf Paman, aku rasa kali ini Paman udah keterlaluan banget. Aku nggak bisa menikah apalagi dengan Juragan Iwan yang udah punya tiga istri.”
“Sekarang adalah waktunya kamu menikahi pria kaya, Fadia. Usianya baru lima puluh tahun. Belum jompo.”
Lima puluh dibilang baru?
“Sekali nggak, tetap nggak,” ucap Fadia. “Sekarang ambillah.” Wanita itu kemudian menyerahkan segepok uang berharap pamannya berhenti menyuruhnya melakukan sesuatu yang tidak masuk akal.
“Ambil dan tolong pergilah dari sini,” tambah Fadia.
“Kamu berani mengusir paman?”
“Aku mohon,” pinta Fadia.
“Sayang sekali kamu tidak bisa diajak kerja sama. Jadi, maaf kalau paman terpaksa bermain kasar,” ucap Bruno lalu memanggil beberapa orang yang Fadia sendiri baru menyadari kalau pamannya tidak datang sendirian.
“Paman tidak punya pilihan selain membawa paksa kamu pergi dari sini. Apalagi pernikahanmu dengan Juragan Iwan akan dilangsungkan beberapa hari lagi.”
Tidak! Fadia tidak bisa melawan para pria itu sendirian. Untuk melarikan diri pun sepertinya terlambat karena tangan Fadia sudah dikunci oleh beberapa pria yang langsung menggirinya menuju mobil. Bahkan, mulut Fadia juga sudah disumpal agar tidak berisik.
Beginikah nasib Fadia?
Padahal usianya tahun ini baru menginjak dua puluh tiga tahun. Haruskah Fadia merelakan dirinya menjadi istri ke empat Juragan Iwan yang usianya lebih dari dua kali lipat dari usianya?
Siapa pun tolong selamatkan aku!