Teguran Dari Pak RT

1410 Kata
Gio dan Putrinya memang hobi membuat masalah di kehidupan Siva. Sehari tak merusuh mungkin akan membuat hidup mereka terasa sepi dan kurang berwarna. Akibat keduanya sering menginap tanpa lapor pada ketua RT membuat Siva mendapatkan teguran lagi. Untuk yang kesekian kalinya gadis polos itu harus mendengarkan ceramah panjang dari Pak RT yang sudah dianggapnya sebagai orang tua angkatnya. “Percuma kalian digrebek jika Pak Gio tidak bisa menikahi mu,” ujar Pak RT yang bernama Pak Syam. “Lain kali kalau mau menginap lagi pastikan Pak Gio sudah mualaf. Biar Bapak siapkan sekalian penghulu dan saksinya.” “Ih, Bapak,” rengek Siva dengan wajah memerah. “Sudah aku suruh pergi tapi Om Gio maksa buat menginap.” “Besok-besok jangan dibukakan pintu saat beliau datang berkunjung tengah malam.” “Iya, Pak. Maaf telah membuat lingkungan komplek menjadi tidak tenang.” “Gimana mau tenang kalau Ibu-Ibu saling berebut ingin menggoda Pak Gio? Bu RT saja pagi-pagi sudah mandi dan dandan menor untuk memberikan sarapan pada Duda kaya raya berwajah tampan itu.” Memang benar yang dikatakan oleh Pak Syam. Kini banyak Ibu-Ibu komplek yang sedang menunggu di depan pintu gerbangnya. Mereka berlomba-lomba dandan cantik untuk bertemu dengan Gio. Tak lupa membawa sarapan untuk Gio dan Naura hingga mengabaikan suami dan anak-anaknya. Siva menghela nafas pasrah. Berjalan ke arah pintu gerbang untuk mengantar Pak Syam yang akan pulang dan menemui Ibu-Ibu yang mulai berteriak heboh. Gara-gara keberadaan Gio paginya terganggu. Harusnya Siva masih bersantai di bawah selimut tebal namun kenyataannya dia harus menghadapi para fans berat pria itu. “Pak Gio mana, Siv?” tanya Bu RT tanpa peduli dengan tatapan tajam dari suaminya. “Masih tidur, Bu.” “Sudah pukul 5 lebih kok belum bangun. Memangnya Pak Gio tidak berangkat ke kantor?” “Barus juga selesai subuh, Bu. Wajar jika Om Gio masih tidur,” jawab Siva. “Yah, padahal kita sudah bangun sejak pukul 4 untuk memasak sarapan dan menyiapkan diri. Malah yang ditunggu-tunggu masih bobok ganteng,” jawab salah satu tetangga Siva dengan wajah kecewa. Siva tidak tahu harus berbuat apa. Mau mengusir para tetangganya sungkan tapi jika mereka terus-terusan di depan rumahnya akan mengganggu aktivitas paginya. Satu-satunya orang yang bisa membubarkan massa adalah Pak Syam. Dan, beliau kini belum mengeluarkan suara untuk mengusir Ibu-Ibu komplek. “Tolong bangunkan Pak Gio, Siv. Kami ingin bertemu sebentar untuk memberikan sarapan,” rayu Bu RT. “Iya, Siv. Keburu dingin makanannya nanti rasanya nggak enak,” satu Ibu-Ibu yang paling menor dandanannya. Sebelum menjawab Siva menatap ke arah Pak Syam. Meminta bantuan pada beliau agar membubarkan massa yang berkerumun di depan rumahnya. “Ibu-Ibu sekalian harap tenang!” seru Pak Syam. “Masih pukul 5 pagi seharusnya Ibu-Ibu mengurus suami dan anak-anak di rumah. Bukannya berbondong-bondong datang ke rumah Siva dan membuat keributan. Tindakan Ibu-Ibu sudah termasuk perbuatan tidak menyenangkan pada tetangga. Bisa dilaporkan pada pihak berwajib, jadi sebelum hal itu terjadi bubar sekarang juga.” “Huuu, bilang saja Papi cemburu karena Mami diangkat menjadi ketua fans club Pak Gio ‘kan?!” jawab Bu RT tak terima diusir oleh suaminya sendiri. “Iya, Pak Syam cemburu tuh.” “Betul sekali. Bilang saja Pak kalau cemburu.” “Ah, Pak RT nggak asik!” “Huuuuu ...” “Huuuuu ...” Meski protes hingga menyoraki Pak Syam para Ibu-Ibu itu akhirnya bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Mereka takut jika Siva benar-benar melaporkan atas tindakan tidak menyenangkan pada pihak kepolisian. Setelah suasana kembali aman, damai dan tentram, Siva berterima kasih sekaligus meminta maaf pada Pak Syam. Berjanji jika tidak akan mengijinkan Gio menginap lagi di rumahnya. *** “Dari mana, Siv?” tanya Gio yang baru saja bangun. Tanpa rasa bersalah sedikitpun dia meminta dibuatkan kopi. Siva menekuk wajahnya, menyilangkan kedua tangan di depan d**a dan menatap kesal ke arah tamunya. Bersiap menyembur Gio dengan seribu omelan. “Mendingan Om pergi sekarang juga sebelum Ibu-Ibu komplek datang ke sini lagi!” “Siapa?” “Ya, para fans Om Gio lah! Lagipula Pak Syam baru saja pulang setelah memberikan teguran padaku.” “Kita tidak melakukan apapun. Kenapa harus di tegur?” “Peraturan dibuat seharusnya untuk ditaati, bukan untuk diabaikan maupun dilanggar. Meskipun kita tidak melakukan apa-apa tetap saja Om Gio tak boleh menginap tanpa lapor pada ketua RT. Selain itu, keberadaan Om di sini membuat resah para Suami. Istrinya tidak mengurus rumah justru berlomba-lomba menarik perhatian Om Gio.” “Aku tidak suka dengan para tetanggamu,” jawab Gio dengan santainya. Siva lelah jika harus menjelaskan panjang lebar masalah yang telah dibuat oleh Gio. Percuma saja karena tamunya tidak merasa bersalah. Justru menyalahkan para suami yang tidak bisa menyenangkan istrinya. “Pokoknya, Om Gio tidak boleh menginap di sini lagi. TITIK!” “Pindah ke apartemenku saja, Siv. Disana lebih aman dan tidak akan ada yang membuat keributan seperti di komplek tempat tinggal mu.” “Nggak mau lah! Om Gio pasti akan ikut pindah juga ‘kan?!” Gio pun menganggukkan kepalanya dengan cepat. Tak lupa memberikan senyuman manis yang dimilikinya. “Tentu saja. Agar kita tidak terpisahkan itu salah satu tujuannya.” “Ngomong sama Om Gio mah susah! Mending aku ngomong sama ulat daun sekalian,” jawab Siva dengan kesal. Kemudian pergi ke arah kamarnya untuk membangunkan si kecil. Lebih baik dia berangkat ke sekolah lebih awal untuk menghindari para tetangganya. Siva yakin jika fans Gio akan kembali lagi setelah mengurus suami dan anak-anak mereka. Sebelum itu terjadi, Siva akan mengajak Naura pergi. Soal sarapan bisa beli di kantin maupun di jalan menuju sekolah nanti. Yang paling baginya adalah menjaga mood-nya agar tetap baik. “Biasanya aku ngopi dulu sebelum berangkat ke kantor,” keluh Gio dibalik kemudi. “Bisa ngopi sesampainya Om di kantor. Apa bedanya sih?” “Ya, beda, Siv. Kopi di kantor buatan OB bukan buatan tanganmu.” Naura menatap kesal ke arah Papanya. “Makanya Papa jangan ikut-ikutan menginap di rumah Bunda,” omel si kecil. “Kenapa tidak boleh?” tanya Gio. “Gara-gara Papa menginap Bunda di tegur sama Kakek Syam. Terus Naura tidak dibuatkan sarapan karena harus berangkat ke sekolah lebih pagi.” Siva memang menjelaskan kejadian subuh tadi pada Naura. Jika tidak, si kecil akan terus bertanya hingga membuat kepalanya terasa pusing. “Papa kesepian di rumah, Sayang. Tega sekali kamu menyalahkan Papa.” “Gak usah manja karena Papa sudah tua. Di rumah ada Bibik, Pak supir, Pak satpam dan kucing-kucing aku,” jawab Naura dengan suara menggemaskan. Perdebatan antara anak dan bapak terus berlanjut hingga mobil mereka telah terparkir di parkiran sekolah. Keduanya tidak ada yang berusaha mengalah dalam memperebutkan Siva. Hingga akhirnya gadis itu mengajak keduanya untuk turun dan sarapan di kantin. Bagi Siva perut wajib terisi penuh sebelum memulai aktivitas di pagi hari. “Sayang mau makan apa?” “Bubur ayam.” “Nasi uduk.” Gio dan Naura menjawab bersamaan karena merasa menjadi kesayangan Siva. Setelah itu, saling menatap tajam dan mendengkus kesal. “Naura sarapan bubur ayam dan Om Gio sarapan nasi uduk?” tanya Siva lagi dan keduanya langsung mengangguk. “Kalau begitu, duduk yang manis dan jangan bertengkar lagi,” titahnya tak mau dibantah. Gio berubah kekanakan seperti putrinya jika dihadapan Siva. Duduk dengan tenang sambil melihat gadis kesayangannya yang sedang memesankan sarapan untuknya. Sementara Naura sibuk memakan cookies yang dibawanya dari rumah Siva. Menatap Papanya heran karena senyum-senyum seperti orang aneh. “Papa kenapa?” “Gak kenapa-napa. Kenapa Naura tanya begitu?” “Papa aneh, lihatin Bunda sambil senyum-senyum.” “Oh, itu, Bunda kelihatan cantik banget jadi Papa suka lihatnya.” “Gombal!” seru Naura. Membuat kedua mata Gio membelalak kaget. “Gak usah gitu ntar Bunda marah loh.” “Tahu dari mana kata-kata gombal?” tanya Gio pada sang putri. “Bunda sering bilang gitu setiap ada yang bilang cantik.” Gio menangkup kedua pipi chubby putrinya. Sepertinya dia melewatkan hal penting karena sibuk dengan pekerjaannya. “Siapa saja yang bilang begitu?” “Banyak dan Naura lupa namanya.” “Terus Naura diam saja saat Bunda di goda oleh Om genit itu?” Naura menggelengkan kepalanya. “Biasanya Naura ikut marahin orang itu. Enak saja mau ambil Bunda aku.” “Bagus! Pintar sekali anak Papa,” ujar Gio sambil mencium kedua pipi putrinya. “Tugas Naura selama Papa bekerja adalah melindungi Bunda. Jangan sampai Bunda di culik sama Om-Om genit.” “Apa Papa termasuk Om genit?” tanya Naura dengan polosnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN