bc

Assalamu'alaikum, Asyva

book_age18+
865
IKUTI
16.3K
BACA
HE
age gap
friends to lovers
heir/heiress
sweet
bxg
brilliant
like
intro-logo
Uraian

BLURB

.

Asyva Zaleeka Sandra, umur 23 tahun, pekerjaan utama sebagai guru SD dan pekerjaan sampingan menjadi owner Asyva hijab.

.

Gadis manis asal Solo sedang berjuang mengubah nasibnya di kota besar agar bisa menaikkan derajat orang tuanya. Lahir di keluarga kurang mampu membuat Siva sering di jadikan bahan olok-olokan orang terdekatnya.

.

Mereka mengatakan jika Siva harus mengubur mimpinya yang setinggi Gunung Himalaya karena tak akan mampu menggapainya. Orang tuanya miskin dan tidak memiliki uang untuk biaya kuliahnya.

.

Siva bisa membuktikan jika dia mampu kuliah dan menjadi seorang guru berkat kerja kerasnya dan doa kedua orang tuanya. Kini, dia telah berhasil membahagiakan kedua orangtuanya. Usaha hijabnya berkembang pesat dalam waktu singkat dan memiliki beberapa cabang di sekitaran kota Jogja.

.

Masalah finansial berhasil dia selesaikan. Tinggal masalah asmara yang masih rumit setelah kedatangan Mas Duda dalam hidupnya.

.

Giorgio Dimitri Abraham, duda beranak satu, umur 33 tahun, seorang pengusaha tekstil dan pemilik toko kain terbesar di Jogja.

.

Naura, putri Gio menganggap Siva sebagai Bundanya. Hal itu terjadi saat Siva datang ke acara wisuda PAUD milik temannya. Tak sengaja dia bertemu gadis kecil bermata bulat itu. Lalu pertemuan kedua ketika Naura datang ke Toko hijab milik Siva.

.

Semenjak itu Naura tidak mau berpisah dengan Siva. Setiap hari menginap di rumah Siva dengan alasan mimpi buruk. Hingga akhirnya, Gio juga ikut pindah ke rumah seorang gadis lugu nan polos.

.

Tanpa sadar benih-benih cinta tumbuh diantara keduanya. Mereka mencintai dalam diam karena sadar tidak mungkin bersatu. Ada sebuah tembok besar yang menghalangi jika salah satu tidak ada yang mengalah.

.

Ikuti keseruan cerita antara Siva dan Mas Duda dalam cerita yang berjudul "Assalamualaikum, Asyva"

chap-preview
Pratinjau gratis
Gadis Desa
Baru pukul 4 sore namun langit sudah mulai gelap, kilatan-kilatan cahaya mulai nampak dan gemuruh diatas sana terdengar saling bersahutan pertanda hujan sebentar lagi akan turun. Seorang gadis cantik yang memakai mukena terusan warna coklat berlari dari dalam rumah dengan tergesa. Berniat membantu Bapak dan Ibunya mengangkat padi yang di jemur di halaman rumahnya. Asyva sering dipanggil Siva lupa melepas mukena karena saking gugupnya mendengar suara gemuruh. Dengan cekatan dia membantu kedua orang tuanya memasukkan padi yang telah kering ke dalam karung sebelum air hujan turun membasahi tanah. “Alhamdulillah, Hujan turun setelah semua padi masuk ke dalam rumah, Bu.” “Iya, Nduk. Mendung datang tiba-tiba padahal setengah jam yang lalu masih panas.” “Cuaca memang sedang tidak menentu. Kadang hujan dan kadang panas, tapi seringnya hujan kalau di Jogja. Hujannya pun deras disertai angin juga petir.” “Hati-hati kalau pulang mengajar atau pulang dari toko. Misal hujan petir tunggu sampai reda. Banyak jalan berlubang yang terisi air dikala hujan deras, sangat berbahaya bagi pengguna motor jika tidak hati-hati.” “Iya, Bu. Siva selalu menunggu hujan reda baru pulang. Selain takut, dilarang juga sama Mimi. Bawel banget dia, Bu. Melebihi bawelnya Ibu dan Bapak.” “Ibu bersyukur kamu punya sahabat yang baik seperti, Cintami, Amanda dan Dyah. Meski lahir di keluarga kaya mereka tetap memperlakukan anak Ibu dengan baik.” Siva merantau ke Jogja setelah lulus kuliah. Dia mengajar di Yayasan Abdila milik mertua sahabatnya, Cintami (Mimi). Sekarang dia memiliki toko hijab yang sudah mempunyai tiga cabang yang terletak di sekitaran Jogja kota. Cita-citanya menjadi seorang guru telah terwujud. Meski banyak saudara, tetangga dan teman yang memandang sebelah mata usahanya tidak membuat Siva menyerah. Kini dia berhasil membuktikan jika mampu membanggakan kedua orang tuanya. Meskipun sibuk, Siva selalu menyempatkan pulang ke Solo untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Saat ini Bapak dan Ibu tak lagi menjadi buruh yang bekerja di sawah orang. Hasil Siva berjualan hijab online maupun offline mampu untuk membelikan sepetak sawah dan kebun untuk kedua orang tuanya. “Hasil panen musim ini meningkat dari musim lalu. Harga padi juga sedang naik jadi hasilnya lumayan banyak. Ini bagian untukmu, Nduk,” ujar Ibu sambil menyodorkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan. Siva menolak dengan halus. Mengatakan, “Simpan saja uangnya, Bu. Hasil panen sawah dan kebun untuk tabungan Ibu dan Bapak. Insyaallah, Siva masih punya tabungan dari hasil mengajar dan jualan hijab.” Ibu tersenyum. Bangga dengan putri semata wayangnya yang kini telah sukses. “Terima kasih ya, Nduk. Kamu telah banyak membantu dan mengangkat derajat keluarga.” “Sudah menjadi kewajiban Siva untuk membahagiakan Ibu dan Bapak. Jadi, mulai sekarang Ibu dan Bapak tidak perlu lagi bekerja dengan orang. Bekerja di sawah dan ladang sendiri dan hasilnya untuk di tabung. Kebutuhan sehari-hari tetap menjadi tanggungan Siva.” Bapak datang saat Siva dan Ibu sedang asik ngobrol. Beliau membawa ponsel putrinya yang berdering sejak tadi. Berjalan cepat dan melangkahkan lebar-lebar kedua kakinya menuju ke arah dapur. “Nduk, ini ada telpon dari Om Gio,” ucap Bapak. Ibu tersenyum dan membelai kepala Siva. “Angkat dulu. Siapa tahu penting,” ujarnya dengan suara lembut. “Siva ke kamar dulu ya, Bu, Pak,” pamitnya sebelum meninggalkan dapur. *** Baru juga sehari dia pulang kampung, Om Gio atau sering dipanggil Om Duda oleh sahabatnya kembali mengganggunya. Sebelum pulang Siva sudah mewanti-wanti agar Gio tidak membuat ulah dan membiarkannya liburan dengan tenang. Bukan Giorgio namanya jika tidak berulah. Dengan santainya dia berkata telah sampai di depan gapura sebelum masuk ke desa kelahiran Siva. Mobilnya ditahan oleh sekelompok pemuda yang mengatasnamakan anggota keamanan desa. “Siapa yang suruh nyusul ke sini?” tanya Siva dengan galak. “Naura nangis terus, Siv. Kamu nggak kasihan sama dia? Sejak kemarin kerjaannya nangis sampai gak mau makan.” “Itu ‘kan tugas Om Gio sebagai Papa untuk menenangkan Naura. Malah dibawa ke sini sih?! Perjalanan jauh dia pasti kelelahan.” “Makanya buruan jemput biar Naura bisa segera istirahat di rumah mu.” Hujan masih turun dengan deras. Anginya pun bertiup kencang hingga membuat orang-orang di desa Siva enggan ke luar rumah. Suasana desa sangat sepi tak ada satupun orang yang lewat karena udara terasa sangat dingin. Bermodalkan jas hujan Siva mengendarai motornya menuju ke arah gapura desa. Menjemput Om Duda dan si cantik Naura yang ditahan oleh keamanan kampung. Cerita dari Bapak, di kampung sempat terjadi kemalingan beberapa kali. Mulai dari ternak warga, padi hasil panen yang ditaruh di luar rumah hingga sepeda motor. Oleh karena itu para pemuda karang taruna membuat pos penjagaan di depan gapura untuk memeriksa tamu-tamu yang datang dari luar desa. “Eh, Siva, mau apa hujan-hujan pergi ke luar rumah?” “Jemput saudara dari Jogja.” “Oh, itu saudara kamu?” tunjuk teman masa kecil Siva yang bernama Indra ke arah mobil berwarna hitam. “Iya, dia saudara ku dari Jogja. Apa dia membawa barang-barang mencurigakan hingga tertahan di pos penjagaan?” Indra menggelengkan kepala. Alasan dia menahan Gio di pos penjagaan karena membawa mobil mewah yang harganya milyaran. Sementara di desanya si paling kaya harga mobilnya kisaran 500 juta. “Aku pikir dia sindikat penculikan anak,” ujarnya. Siva turun dari motornya, lalu mendekati Gio yang masih berada di dalam mobil. Sudah merepotkan tapi enggan turun ya hanya Gio. Sikapnya selalu berhasil membuat Siva naik darah. “Ikuti aku, Om. Kita bicara di rumah saja.” “Hmmm,” jawab Gio dengan menurunkan sedikit kaca mobilnya. “Kalau takut basah gak usah pamer ke desa bawa mobil mewah,” omel Siva. “Di rumah hanya mobil ini yang layak masuk desa dan harganya paling murah. Kamu tahu sendiri ‘kan di rumahku tidak ada mobil apansa atau cenia. Mau beli dulu tidak keburu waktunya.” Siva memutar bola matanya karena kesal dengan jawaban sombong Gio. Rela hujan-hujanan demi Naura yang sedang rewel malah mendapatkan kesombongan hakiki dari Duda karatan. Setelah mendapatkan izin, mobil Gio melaju memasuki desa yang terlihat sangat asri. Jarak antar rumah masih jauh dan setiap rumah memiliki halaman yang sangat luas. “Pantas saja polos dan lugu. Tempat tinggalnya saja tidak ada cafe maupun mall,” gumam Gio ketika mengikuti motor yang dikendarai Siva. Senyumnya seketika terbit saat terbayang wajah galak Siva barusan. Walaupun kesal gadis itu mau menjemputnya meski harus menerobos lebatnya hujan sore ini. Putri kecilnya masih terlelap di atas car seat dengan memeluk boneka kuda poninya. Kelelahan menangis hingga membuatnya tertidur melupakan Bunda Siva. “Dari mana, Nduk?” tanya Ibu saat Siva baru turun dari motor. “Jemput Om Gio dan Naura, Bu.” Ibu megambil jas hujan basah lalu menggantung di tempatnya semula. Setelah itu, mengikuti putrinya yang berjalan menuju ke arah teras rumah. Alangkah terkejutnya Ibu ketika melihat seorang pria tampan turun dari mobil. Perawakan Gio yang putih, tinggi, tampan dan bertubuh kekar membuat Ibu terkagum-kagum. “Mana Naura, Om?” “Ada dibelakang masih tidur.” Gio menyapa Ibu lebih dulu sebelum mengambil putri kecilnya. Dia tidak mengajak Ibu bersalaman karena Siva juga tidak mau bersentuhan dengan lawan jenis. “Giorgio, Bu. Papa Naura,” ujarnya. “Nak Gio bikin Ibu kaget. Ibu pikir pegawai bank yang mau menagih hutang.” “Memangnya wajah saya mirip tukang tagih hutang ya, Bu?” “Ya, enggak. Tapi, tukang tagih hutang biasanya bawa mobil bagus.” Gio belum pernah bicara maupun bertemu dengan kedua orang tua Siva. Putrinya lah yang sering nimbrung saat Siva sedang melakukan video call dengan orang tuanya. Maka dari itu, Ibu merasa dekat dengan Naura. Sudah sayang dengan si kecil yang cerewet dan hobi makan. Soal Gio, Ibu hanya tahu jika dia adalah Papa dari Naura. “Aduh, aduh, bobok nyenyak banget,” ucap Siva saat membuka pintu mobil bagian belakang. Kesayangannya sedang tidur dengan mengerucutkan bibir. Bulu matanya yang lentik masih nampak basah oleh bekas air mata. Ternyata benar yang dikatakan Gio jika putrinya tak berhenti menangis. “Biar aku saja yang gendong, Siv.” “Gak usah,” tolak Siva. “Om ambil saja barang-barang yang dibawa.” “Aku tidak membawa apa-apa,” jawab Gio dengan santai. Siva menghela nafas panjang. Lalu memberikan tubuh kecil Naura pada Ibunya agar dibawa ke kamarnya lebih dulu. Sementara dia masih ada urusan penting yang harus dibicarakan dengan Gio. Selepas Ibu masuk ke dalam rumah barulah Siva menendang tulang kering Gio, membuat Gio meringis kesakitan. “Bagaimana bisa Om tidak membawa apa-apa ke sini? Barang-barang Naura, seperti s**u, camilan, pakaian dan mainannya tidak dibawa juga?” Dengan polosnya Gio menggelengkan kepala. “Aku tidak ada rencana menyusul mu, Siv. Gara-gara Naura menangis terus kami nyasar sampai ke desa mu.” “Alasan macam apa itu?! Tahu alamatku dari mana?” “Minta sama Mimi.” Siva mengatur nafasnya lebih dulu sebelum kembali membuka suara. Hatinya kesal dengan sikap Gio yang suka seenaknya sendiri. Dia pikir pedesaan seperti daerah tempat tinggalnya yang butuh apa-apa tinggal ke mall. “Tinggal beli apa susahnya?” Benar tebakan Siva, Gio mengira di sini seperti Jogja. “Om, di desa enggak ada mall atau minimarket. Adanya warung kecil yang hanya menyediakan sedikit barang.” “Nanti malam kita ke luar untuk membeli semua keperluan ku dan Naura. Ajak sekalian Bapak dan Ibu.” Dugh! “Awww, sakit, Siv,” teriak Gio ketika kena tendang lagi. “Makanya jangan asal kalau bicara. Om kesini bawa mobil mewah saja sudah menjadi pusat perhatian. Gimana kalau ngajak kami belanja ke mall? Bisa jadi bahan gunjingan tetangga.” “Belanja pakai uang sendiri masih dipermasalahkan sama tetangga?” “Ya, iya lah! Kayak nggak tahu orang desa saja.” Siva mengajak Gio masuk ke dalam rumahnya saat terdengar kumandang azan magrib. Untungnya dia sudah selesai merenovasi rumahnya bulan lalu, dia kini memiliki kamar khusus tamu. “Om kalau mau mandi ada di belakang kamar mandinya. Handuknya ada di lemari dan kaos pakai punya Bapak dulu.” “Kekecilan, Siv,” jawab Gio. “Hanya itu kaos Bapak yang masih baru dan ukurannya paling besar.” Gio memberikan kembali kaos yang tak muat di badannya pada Siva. Terpaksa dia akan memakai kaos yang dipakainya saat ini karena tidak membawa pakaian ganti. Setelah itu, menuju ke arah kamar mandi untuk membersihkan badan. *** “Papa Naura tidak ke masjid?” tanya Bapak yang baru pulang dari masjid. “Pak, Nak Gio tidak sama seperti kita,” jawab Ibu dengan suara pelan. Tubuh Bapak mematung sesaat ketika tahu tamunya sekaligus teman dekat putrinya berbeda keyakinan dengan keluarganya. Beliau tak mengatakan apapun lagi langsung masuk ke dalam kamar. Wajah Siva berubah sendu melihat kekecewaan di wajah tua Bapaknya. Keluarganya sangat taat pada agama yang dianutnya wajar jika Bapaknya menginginkan dia menikah dengan yang seiman. “Gapapa, nanti Ibu bantu bicara sama Bapak,” ucap Ibu dengan membelai kepala putrinya. “Sampaikan maafku sama Bapak ya, Bu. Siva telah lancang membawa pulang Pria tanpa ijin lebih dulu.” “Bapak nggak marah soal itu. Dan, beliau pun paham kondisi Naura yang tidak bisa berjauhan denganmu.” Siva menganggukkan kepalanya, lalu memeluk Ibu dengan erat. Hubungannya dengan Gio terlalu rumit. Padahal mereka sama sekali tidak pernah berniat untuk dekat. Tapi, takdir lah yang membuat keduanya mendekat dengan perantara Naura. Awal mula dia bertemu dengan si kecil Naura ketika menghadiri undangan wisuda PAUD milik temannya. Naura memanggilnya dengan sebutan ‘Bunda’ dan minta digendong saat takut dengan badut. Pertemuan kedua terjadi waktu Naura ke sekolah lupa memakai hijab. Pengasuhnya membeli hijab pada toko yang searah dengan sekolah Naura dan ternyata toko itu milik Siva. Mulai saat itu lah, Naura sulit dipisahkan dari Siva. Setiap hari maunya ikut dengan Bundanya. Hingga sering menginap di rumah Siva dan tidak mau pulang jika tak dipaksa oleh Papanya. “Ibu masuk dulu ya. Mau pijat punggung Bapak.” “Iya, Bu. Sebentar lagi Siva juga masuk untuk istirahat.” Siva memandangi kepergian Ibunya hingga punggungnya tak terlihat lagi. Setelah itu, dia kembali menatap ke arah depan, menatap bunga, dapur hidup juga apotik hidup yang berada di belakang rumahnya. Saat ini dia sedang duduk di sebuah kursi panjang yang ada di teras belakang. Tempat dia melamun dan membaca buku. Teras itu berada di belakang kamarnya, jadi bisa sambil melihat keadaan Naura lewat jendela. “Siv, tidak dingin?” “Om Gio sendiri nggak dingin kok malah ke luar dari kamar?” tanya Siva balik. “Aku belum bertemu dengan Bapak. Apa beliau sudah tidur?” “Besok saja ketemunya.” Merasa ada yang aneh dari ekspresi dan nada suara Siva membuat Gio sedikit khawatir. Biasanya jika sudah begitu pasti ada yang mengganggu pikiran gadis yang dianggap Bunda oleh putrinya. “Biar aku yang menjelaskan hubungan kita pada Bapak,” ujarnya dengan suara berat nan dalam.

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook