Gio telah sampai kantor setengah jam yang lalu. Saat ini dia tengah menatap tumpukan dokumen yang baru saja dia baca dan bubuhi tanda tangan.
Meski raganya berada di Jogja namun pikirannya masih tertinggal di Solo, mengkhawatirkan keadaan gadis yang ditinggal dalam keadaan bersedih hati.
Drett ... Drett ...
Lamunan Gio terganggu saat ponselnya bergetar. Sebelum mengangkat telepon dia melihat ke arah layar untuk melihat siapa yang menghubunginya.
"Selamat pagi, Gio," sapa dari seberang telepon yang terdengar riang.
"Ada apa?" Jawabnya.
"Kita akan melakukan perjalanan bisnis bersama. Bisakah kamu menjemput ku sebelum berangkat ke Bandara?"
"Tidak bisa!" Tolak Gio sembari membuka kembali dokumen yang belum selesai dibacanya.
Kemudian, Gio menjauhkan ponselnya dari telinganya. Dia tahu apa yang akan dikatakan oleh si penelepon selanjutnya.
"Gio, Aku sudah mendapatkan ijin dari Om dan Tante untuk berangkat bersama mu," rengek Tamara dengan nada manja.
Perusahaan milik Gio kembali menjalin kerjasama dengan perusahaan milik keluarga Tamara. Semua itu karena paksaan dari kedua orangtuanya. Padahal sebelumnya, Gio telah memutus kerjasama ketika perusahaan keluarga Tamara melakukan kecurangan.
"Kenapa kamu yang berangkat ke Singapura? Harusnya perusahaan mu mengutus orang yang telah ditunjuk sebagai penanggung jawab proyek."
"Memangnya aku bukan orang? Hey, Gio ganteng. Aku yang akan mengurus proyek kerjasama ini. Ditunjuk langsung sama Papi dan ini adalah proyek pertama ku setelah bergabung dengan perusahaan keluarga."
Gio memejamkan kedua matanya. Kepalanya sudah penuh dengan masalah kini bertambah masalah lagi. "Aku akan berangkat sendiri," ujar Gio sebelum mematikan panggilan.
Gio berdiri dari kursi kerjanya setelah menaruh kembali ponsel ke atas meja. Lalu berjalan menuju ke arah floor to ceiling window yang berada di sebelah meja kerja. Menatap padatnya jalanan Jogja pagi ini.
"Asyva Zaleeka Sandra," ucapnya sembari menggerakkan telunjuknya seolah sedang menulis diatas kaca.
Hatinya kian resah ketika Tamara kembali mengusik hidupnya. Wanita yang digadang-gadang akan menjadi Mama sambung Naura. Sosok wanita pantang menyerah dan licik. Menghalalkan berbagai cara agar bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Gio akan menyingkirkan Tamara dari kehidupannya. Wanita itu terlalu berbahaya bagi Siva. Bisa saja Tamara menyusun rencana jahat untuk merusak hubungannya dengan gadis polos dan lugu itu.
Gio kembali teringat ucapan Siva tentang kedua orang tuanya. Sudah berkali-kali dia membawa gadis itu ke rumah orang tuanya. Dan, kedua orang tuanya selalu menyambutnya dengan hangat. Tak pernah sekalipun memperlakukan Siva dengan buruk.
Kini, dia tengah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Antara percaya dengan Siva atau orang tuanya. Pasalnya Mama dan Papa-nya adalah orang baik. Meski memiliki harta yang melimpah tidak pernah membedakan si miskin dan si kaya.
“Gio,” panggil sekretarisnya sekaligus sahabatnya yang bernama Restu.
“Hmmm,” jawabnya sembari membalik badannya menatap ke arah pintu.
Restu membawa dokumen yang diminta oleh Bos-nya. Penampilannya hari ini terlihat santai karena akan ikut pergi ke Singapura. “Kenapa murung begitu? Harusnya berseri-seri setelah bertemu dengan pujaan hati”
“Aku habis ditolak oleh orang tua Siva.”
“Wajar kalau ditolak,” jawab Restu dengan kurang ajar.
Gio berjalan menuju ke arah Sofa, menyusul sekretarisnya yang telah duduk lebih dulu. “Sepertinya aku masih memiliki harapan,” ujarnya lagi.
“Kamu memang selalu memaksakan kehendak. Mana tega keluarga Siva mengusir Naura imut dengan segala tingkah lucunya.”
“Untungnya putri kecilku bisa diandalkan. Dia sangat pintar dalam menjalankan rencana yang sudah aku buat.”
“Aku tebak Siva menolakmu lagi padahal kamu belum menyatakan cinta secara langsung, haha. Baru di kode saja sudah kena tolak ratusan kali. Kasihan sekali nasib duda hits Jogja.”
“Aku dan Siva saling mencintai namun terhalang oleh restu Tuhan. Dari tatapan matanya saja aku tahu jika gadis itu sudah jatuh cinta denganku sejak lama.”
“Cenayang kamu?” tanya Restu.
Gio menunjuk dadanya, “Hati yang bicara,” jawabnya. “Ah, kamu tidak akan mengerti yang aku rasakan dengan Siva. Karena kamu sudah menyandang predikat jomblo sepanjang masa.”
Restu memutar bola matanya. Kesal jika Bos-nya mulai membicarakan status jomblonya. Padahal dia tak kunjung menemukan jodoh karena ulahnya. Setiap hari ada-ada saja pekerjaan yang harus dikerjakannya hingga tidak memiliki waktu libur.
“Ada masalah baru, Res,” ujar Gio setelah menutup dokumen yang baru selesai dibacanya.
“Tentang proyek kerjasama dengan perusahan Pak Jonathan?”
“Iya, mereka sengaja mengganti penanggung jawab yang lama menjadi Tamara.”
“Setahuku Pak Jonathan masuk rumah sakit. Perusahaan Dharmawangsa Group kini di pimpin oleh Tamara,” terang Restu.
“Pak Teddy kemana?”
“Rumor yang beredar Putra pertama Pak Jonathan masuk penjara karena kasus KDRT pada ART nya. Maka dari itu para pemegang saham meminta Tamara yang mengambil alih posisi CEO menggantikan Pak Jonathan agar saham perusahaan tidak semakin turun. Lagipula berandal seperti Pak Teddy bisa apa selain main Perempuan?”
Gio mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantas saja dia bisa mengganti penanggung jawab proyek dengan seenak jidatnya.”
“Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Keputusanmu kembali menjalin kerjasama dengan Perusahaan Dharmawangsa saja sudah salah. Sekarang kamu harus menerima segala konsekuensinya.”
“Sepulangnya kita dari Singapura ganti penanggung jawab proyek yang sedang kita kerjakan. Jangan aku tapi kamu!”
Restu tidak terima jika dijadikan tumbal oleh Bos-nya. Bukan hanya Gio yang malas bertemu dengan Tamara tapi dia juga. “Aku lebih memilih menggembala 100 banteng daripada bicara dengan Mak Lampir itu,” jawabnya dengan kesal.
“Akan aku naikkan gajimu mulai bulan ini,” tawar Gio dengan wajah penuh permohonan.
“Terima kasih atas tawarannya tapi aku tidak berniat menjadi Sekretaris kaya raya.”
“Ayo, lah, Res. Kalau bukan kamu siapa lagi yang akan membantuku?”
“Di perusahaan ini jumlah Karyawan mencapai ribuan orang. Tinggal tunjuk satu orang masalah selesai,” debat Restu tak mau kalah.
“Proyek bernilai ratusan miliar mana bisa aku serahkan pada sembarang orang. Kamu mau perusahaan tempatmu mencari rezeki bangkrut dalam sekejap mata?”
Lagi-lagi Restu yang dijadikan tumbal oleh Gio. Untungnya dia memiliki sahabat yang tidak tega melihatnya menderita. Tapi, Gio sebaliknya, selalu bahagia ketika berhasil menyiksa sahabatnya.
“Gajimu bulan ini akan naik,” ucap Gio ketika Restu tak kunjung menjawab.
“Gajiku sebagai seorang sekretaris, asisten pribadi, tukang pesan makanan, pengasuh Naura dan tumbal perusahaan perbulan harus 100 juta, titik!”
“Deal!” jawab Gio sambil mengulurkan tangannya sebagai tanda jadi. “Mulai bulan depan kamu akan mengurus proyek kerjasama dengan Dharmawangsa Group.”
Restu mengacak-acak rambutnya yang telah rapi. Merutuki dirinya sendiri yang telah setuju menjadi tumbal perusahaan milik sahabatnya. Gaji 100 juta tak sebanding dengan pekerjaannya yang beresiko tinggi. Mulai bulan depan dia harus menghadapi Mak Lampir hingga akhir tahun.
Ponsel Gio yang ada di meja kerja bergetar, ada panggilan masuk. Dengan tawa penuh kemenangan dia berjalan menuju ke arah meja untuk mengambil ponselnya.
Senyum Gio semakin lebar ketika melihat nama yang tertera pada layar ponsel. Gadis yang dicintainya mengajaknya melakukan panggilan video. Gio pun menggeser tombol hijau ke atas. “Assalamualaikum, Asyva,” ujarnya dengan senyum manis semanis madu.
“Waalaikumsalam, Om,” Jawab Siva.
“Ada yang bisa aku bantu, Siv?”
“Aku mau tanya soal mobil, Om.”
“Iya, ada apa dengan mobilnya?”
“Jadi, gini, keponakan aku mau melahirkan. Kebetulan mobil siaga sedang dipakai sama warga lain. Boleh nggak pakai mobil Om untuk mengantar keponakan aku ke rumah sakit?”
Gio terkekeh pelan melihat wajah panik sekaligus sungkan Siva. Gadisnya memang polos sekali. Mau pakai mobil saja bertanya lebih dulu. “Boleh, Siv. Bawa saja mobilnya. Minta Pak supir untuk mengantar keponakan mu ke rumah sakit.”
“Terima kasih, Om,” jawab Siva. “Oh, iya, nanti biaya bensin sama sewa mobil harus bayar berapa? Soalnya, kata Bapak mobil bagus nggak pakai BBM subsidi.”
Lagi-lagi Gio dibuat takjub dengan kepolosan Siva. Bisa-bisanya menanyakan soal biaya sewa mobil. Apa dia tidak tahu seberapa kaya pria yang sedang mengejarnya?
Restu pun terbahak mendengar pertanyaan Siva. Takut tawanya terdengar si gadis polos itu, dia langsung menutup mulutnya menggunakan telapak tangan.
“Asyva, dengarkan aku. Mobil dan Pak supir memang aku siapkan untuk kamu dan keluargamu. Jika, kamu ingin memakainya tinggal pakai saja. Tidak perlu bertanya lagi atau memikirkan biaya sewa. Lagipula BBM sudah aku isi penuh tidak akan habis meski kamu buat keliling kota Solo.”
“Em, kalau mobil mahal irit BBM ya, Om?”
“Iya, Siva. Sangat-sangat irit,” jawab Gio sambil mengulum senyum.
“Baiklah, kalau begitu aku tutup teleponnya dulu. Mau bilang sama Bapak jika mobilnya boleh dibawa ke rumah sakit. Terima kasih ya, Om.”
Setelah panggilan berakhir, Gio dan Restu saling pandang. Beberapa detik kemudian tertawa bersama. Heran dengan kepolosan Siva yang tak kunjung berakhir.
“Calon Istriku memang sangat menggemaskan,” ujar Gio setelah berhasil meredakan tawanya.
“Dih, calon Istri! Runtuhkan dulu tembok yang menghalangi kalian berdua,” sahut Restu.