Aisyah telah tiba di rumah, ia mengetuk pelan pintu rumahnya. Tak butuh waktu lama sosok perempuan paruh baya telah berdiri di ambang pintu, menatap bingung sekaligus cemas Aisyah yang baru saja tiba sepetang ini.
“Dari mana saja kamu, Nak?” tanyanya terdengar cemas dan tegas, “dan kenapa bajumu kotor sekali?” tambahnya setelah mengamati penampilan Aisyah.
Aisyah diam, ia menunduk dalam. Matanya mulai berlinang, refleks kedua tangannya mendekap wanita di hadapannya dengan erat, “Umi,” ujar Aisyah mulai terisak.
“Ada apa?” tanyanya pelan, semakin membuat Aisyah terisak.
“Ada apa, Nak?” tanya Fatimah lagi dan berusaha untuk tidak mendesak putrinya.
Masih tidak ada jawaban, Aisyah memilih untuk tetap bungkam dan semakin mempererat dekapannya.
“Umi.” Sedetik berikutnya, Aisyah melepaskan pelukannya, lalu menatap wanita paruh baya itu lekat-lekat. “Umi, Aisyah lapar,” kata Aisyah berusaha tersenyum lebar, seolah menunjukkan air mata yang ia keluarkan hanya sekadar air mata biasa.
“Anak Umi lapar?” sahut Fatimah ikut tersenyum. Meski pada kenyataannya, ia tahu anaknya berusaha menutupi sesuatu darinya. Feeling seorang ibu lebih tajam dari pada pisau bermata empat.
Aisyah mengangguk-angguk semangat, menyerupai anak kecil, “Kalo begitu, mandi dulu gih, badannya bau comberan!” kata Fatimah seraya menutup hidungnya, berpura-pura merasa terganggu dengan bau badan Aisyah. Ia tersenyum lebar, terbesit ide gokil untuk menggoda Uminya.
“Umi cantik deh, pantes aja Abi tergila-gila sama Umi. Kalo Aisyah laki-laki, pasti Aisyah juga jatuh cinta sama Umi,” katanya sambil berlari-lari kecil ke kamar mandi setelah berhasil membuat semburan merah pada wajah Fatimah.
***
“s**l, pemandangan keluarga bahagia terpatri di depan jendelaku.”
Aisyah yang tengah mendekap seseorang yang ia panggil Umi, menumpahkan segala keluh kesahnya, serta tawa bahagia yang terdengar jelas dari keduanya.
“Kenapa Tuhan begitu tidak adil? Kenapa Aisyah memiliki segala yang tidak aku miliki?”
Tanpa sadar, aku menjambak kasar rambut, emosi ini kembali tak terkendali. Aku membanting, menghancurkan, dan merusak apa saja yang ada di hadapan, tak terkecuali benda yang mampu melukai diri ini. Alhasil, sekarang aku bagaikan binatang buas yang sulit ditenangkan.
“Alex,” terdengar suara seorang pria tua, pria yang menyebabkan semua ini, spontan emosiku semakin tak terkendali.
“AHK, jauh-jauh dari gue!” pekikku. Aku pun mendorong keras pria paruh baya itu, tapi ia tak menyerah. Ia malah kembali mendekat ke arahku. Dengan ancang-ancang, aku siap menerkam pria tua itu layaknya seekor harimau buas. Tapi sebuah benda tajam yang terlihat seperti suntikan berhasil menyentuh kulitku dan seketika, pandangan ini memudar. Selanjutnya semua menjadi gelap
“Tolong panggilkan Dokter! Alex kembali tidak stabil.”
Mata Aisyah sedari tadi mencari-cari di mana sosok pemilik sapu tangan hitam berpadu merah itu. Aisyah tahu jelas siapa pemilik sapu tangan ini, tetapi sedari tadi ia tak melihat sosok pria itu.
“Assalamualaikum, Will.” Dengan sedikit memberanikan diri, Aisyah menghampiri Willy.
“Gak tahu.” Pria bernama lengkap Willy itu berpikir sejenak. “Emang ada urusan apa lo sama dia? Jangan bilang kalo lo suka.”
Aisyah gelagapan.“Gak. Aku cuman mau balikin punya dia.”
"Aku cuman mau balikin ini." Aisyah segera menujukan sapu tangan yang sejak tadi ia bawa.
Willy menimbang sejenak. “Oh. Gue rasa dia gak sekolah hari ini.”
“Oh.” Aisyah menghela napas kecewa, kemarin gadis itu belum sempat berterima kasih pada lelaki bermata cokelat maniak itu, dan hari ini Aisyah berharap ia bisa mengucapkan terima kasih padanya. “Kalo gitu makasih ya, Will.”
“Yap. Sama-sama,” lelaki itu tersenyum lebar, “btw, jalannya hati-hati, ya. Ngeri kesandung tuh rok panjang banget, udah kayak gorden rumah gue,” lanjutnya cekikikan.
Aisyah menghela napas panjang, tersenyum getir di balik cadarnya lalu melangkah pergi tanpa memedulikan Willy yang masih sibuk mengoloknya.
***
“Bi Ina,” suara berat bercampur serak Alex menggema ke seluruh ruangan, dengan sigap orang yang dipanggil bi Ina segera menghampiri Alex yang masih berada di tempat tidur.
“Iya, Den,” jawabnya sopan.
“Bi, tolong siapkan air hangat buat saya mandi,” perintah Alex, lalu kembali merebahkan tubuhnya di kasur berukuran besar.
“Oh iya, jangan lupa bilangin ke pak Dirman buat keluarin motor saya dari bagasi,” tambah Alex sembari memijat pelan pelipis, kepalanya saat ini terasa sangat sakit. Sepertinya obat bius itu masih berpengaruh di dalam tubuhnya.
“Tapi Den, kata tuan besar. Aden gak boleh keluar dulu. Aden kan masih sa—”
Alex mendelik kesal, “Sudahlah. Jangan banyak membantah, lakukan saja apa yang saya katakan,” potong Alex cepat dengan nada suara yang sedikit meninggi.
Melihat kemarahan Alex, membuat keberanian bi Ina menciut. Dengan pasrah, bi Ina menuruti perintah tuan mudanya.
***
Raungan motor sedari tadi mengaung kencang. Sahut menyahut satu sama lain, menimbulkan ganguan suara yang tidak senada dan sumbang. Alex telah siap di atas motor ninja berwarna merah terang, suara motornya telah meraung-raung dari tadi, mengisyaratkan bahwa Alex telah siap memulai balapan liar ini.
“Lo siap?” tanya seorang pemuda berambut gondrong dari balik helm yang dikenakan, pria itu tersenyum mengejek.
Alex hanya menjawab dengan anggukkan mantap dari balik helm berkualitas SNI yang ia kenakan.
“Alex! Alex ! Alex! Alex,” sorak-sorak perempuan berbaju minim (jangan di tiru) di sisi jalan, menambah ricuh arena balapan siang ini.
“Satu ...”
“Dua ...”
“Tiga ....”
Terdengar tembakan pistol di udara menandakan balapan ini telah dimulai. Alex memacu motornya dengan sangat kencang, dan begitu pula dengan pria gondrong bernama Tristan.
Terjadi persaingan yang sangat sengit antara Alex dan Tristan, salip menyalip mereka lakukan tanpa memedulikan orang lain apalagi nyawa mereka sendiri. Ah, Alex memang tidak peduli dengan nyawanya, baginya hanya dengan menantang maut ia merasa senang.
Tristan berada di posisi pertama dari Alex sembari melempar senyum ejek, dan hal itu tentunya tidak bisa Alex terima begitu saja. Dengan kecepatan 80 km/jam, Alex melaju bak angin topan di jalan, seolah ia lah penguasa jalanan. Balapan liar antara Tristan dan Alex tentunya sangat meresahkan pengguna jalan lain, beberapa kali Trista hampir menyerempet motor orang sedangkan Alex, ia hampir saja menabrak seorang pengemis lumpuh di jalan.
Tapi Alex tahu jelas pengemis itu hanya berpura-pura agar dengan mudahnya menipu publik. Dengan kesal pengemis tua itu berdiri sambil berkacak pinggang, “Dasar kids zaman now,5” gerutunya geram.
Alex tersenyum miring, “Dasar pengemis zaman now!” pekik Alex.
Suara Alex itu mengundang semua mata tertuju pada mereka. Pengemis pembohong itu terlihat malu-malu membalas setiap pasang mata yang menatapnya sedangkan Alex, dia sudah melesat kembali ke jalanan, meninggalkan pengemis itu dengan segala pemikiran mengenai omezet-nya yang akan turun di pasaran akibat ulah Alex.
Alex berhasil menyeimbangi laju Tristan, kedua pemuda tampan itu kini berada pada posisi seri. Alex dan Tristan semakin memacu motor mereka. Tiba-tiba sirene polisi membelah jalan, menghentikan aksi kebut-kebutan mereka. Sontak Tristan membanting setir, memacu motornya ke arah kiri sedangkan Alex, ia berbelok ke kanan. Tristan berhasil kabur dari kejaran polisi tapi tidak dengan Alex. Motor Alex membelah jalan dengan sangat kencang, melupakan semua penghuni jalan, polisi terus setia mengekor di belakangnya dengan suara sirene yang terus-menerus berbunyi, membuat jalan semakin ricuh.
“s**l!” Alex menoleh sekilas ke belakang, ia menghela napas kesal dan langsung menambah kecepatan motornya dua kali lipat, tanpa mementingkan keselamatannya sendiri, dan sekali lagi Alex tidak beruntung, tiba-tiba sosok gadis bermata biru hazel muncul. Motor Alex yang telanjur melaju kencang kehilangan kendali dan ia tak mampu menjangkau rem. Alex tersentak di aspal, dengan sigap polantas langsung menangkap Alex dan membawanya ke kantor polisi.