Alex beberapa kali mengembuskan napas kasar, ia duduk dengan gelisah. Polisi berbadan tambun yang sedang sibuk mengetik, sempat melirik sekilas Alex, lalu kembali sibuk dengan layar monitornya.
“Baiklah, mari kita buat kesepakatan,” suara bariton seorang pria mengundang perhatian semua orang, tak terkecuali Alex dan polisi sok sibuk di hadapannya.
Alex menatap tajam pria paruh baya yang tengah berjalan ke arahnya. Berwajah oriental, penuh karisma dan berwibawa.
“Bagaimana, apa Anda setuju?”
Alex tersenyum miring, “Tidak."
Pria itu balas tersenyum miring. “Tapi saya rasa Anda tidak ada pilihan lain selain menerima persyaratan saya,” kata pria paruh baya itu dengan tenang dan semakin penuh karisma. Alex menatap tajam pria itu.
“Oh, ayolah pangeran kecil, jangan menatapku seperti itu,” ledek pria itu dan menekan perkataan pangeran kecil.
Alex mendengus kesal, lalu membuang pandangan ke sembarang arah, “Langsung saja, jangan banyak bicara. Apa tujuan Anda datang ke sini?”
Pria itu kembali tersenyum melihat kemarahan Alex, “Oh pangeran kecil, ternyata kau masih belum berubah seratus persen.”
“Berhenti memanggilku pangeran kecil!”
“Why ?” tanya pria itu sok polos seolah ia tidak mengetahui apa pun, “oh baiklah Alex, mari kita selesaikan semua ini,” ujarnya merangkul Alex dan tentu saja hal itu segera ditepis.
“Ini,” pria itu menyodorkan secarik kertas pada Alex, “tanda tangan di sini.”
Alex menatap kertas itu dan mulai membacanya dengan terpaksa, “Tidak, ini benar-benar gila,” kata Alex membanting perjanjian itu dengan kasar.
“Gue gak akan setuju."
“Well, jika pangeran. Ups, tuan Alex tidak setuju, maka ...” Pria paruh baya itu melirik, berpura-pura berpikir sejenak. “Ya, motor Tuan tidak akan kembali,” katanya santai namun mampu membuat Alex melotot seketika.
Mata Alex memicing, rahang mulutnya merapat keras, “Kalian seperti pecundang.”
Pria berjas hitam itu tertawa hambar, “Ha? Sepertinya gelar itu cukup bagus untuk saya.” Pria itu lantas bangkit dari duduknya dan merapikan sekilas jas yang ia gunakan. Jas itu terlihat sedikit kusut.
“Baiklah tuan Alex, saya tidak punya banyak waktu. Pikirkan sekarang atau tidak sama sekali,” katanya penuh wibawa.
Alex mendengus kesal, “Baiklah, kali ini kalian menang.”
“ARGH s**l! Dasar gadis bodoh.”
Isi Perjanjian:
Saya Alexander Darwin selaku pihak kedua dengan ini menyetujui persyaratan yang diajukan tuan Troy selaku pihak pertama. Adapun persyaratan di antaranya:
1. Pihak kedua harus menghafal surat Yasin selama kurun waktu 3 bulan.
2. Pihak kedua harus mampu memenangkan setidaknya 6 lomba membaca Alquran dalam waktu 3 bulan.
3. Pihak kedua tidak boleh melakukan segala aktivitas yang tidak disetuju pihak pertama.
4. Selama masa perjanjian, pihak kedua tidak boleh menggunakan fasilitas apa pun yang selama ini pihak kedua miliki.
Sekian perjanjian ini dibuat dan disetujui oleh kedua belah pihak. Apabila ada pihak yang melanggar perjanjian ini akan ditindak lanjuti. Saya yang bertanda tangan di bawah ini, sadar sesadarnya tanpa pengaruh dari pihak mana pun.
Alexander.
***
Senyum seketika mengembang di wajahku, melihat kucing mungil berwarna putih s**u dengan bulu halus dan warna mata cokelat maniak. Aku menghampiri kucing mungil itu, “Uh lucunya,” aku mengelus pelan kepala kucing itu. Mata kucing itu mengingatkanku pada seorang pria bermata cokelat. Ya, pria itu bernama—
“Meong ....” Suara kucing kecil ini menyadarkanku, ia menatapku dalam dan aku ikut menatapnya. Entah mengapa aku merasa terhipnotis oleh pupil bulat berwarna cokelat maniak milik kucing ini.
“Subhanullah.”
“Awas!” Teriakan seorang pria dari ujung jalan sukses membuatku terkejut. Kucing di hadapanku juga ikut terkejut dan langsung melompat ke dalam pelukanku.
Aku spontan menoleh dan mendapatkan motor ninja berwarna merah terang melaju kencang ke arahku, sedetik kemudian semua seolah terjadi begitu cepat, dan di sinilah aku sekarang. Duduk di ruangan bernuansa putih dengan aroma obat yang sangat menusuk hidung, setidaknya untuk seorang yang tidak sakit sepertiku.
Aku menatap sekeliling, lalu memutuskan untuk turun dari ranjang khas pasien, terasa sedikit nyeri. Mungkin itu karena lututku yang sedikit tergores akibat kecelakaan tadi. Ya, motor besar itu menyenggol lenganku dengan cukup keras, membuatku langsung tersungkur di aspal jalanan. Beruntungnya aku memakai gamis yang menutupi seluruh tubuh sehingga saat tersungkur hanya bagian lututku yang tersibak dan mengalami luka.
“Gadis bodoh.” u*****n itu sukses membuatku merinding. Sepertinya karena insiden ini, Alex akan semakin membenciku.
“Nauzubilah.” Aku menunduk dalam, semoga semua ini hanya mimpi.
***
Wajahnya sedari tadi menekuk, menandakan ia sangat membenci kegiatan ini. Alex duduk bersila kaki, memegang buku kecil yang sangat asing baginya. Beberapa kali ia membolak-balik lembar Iqro dengan malas, entah apa yang harus di baca, semua terlihat sangat asing. Huruf dalam buku itu hanya membangkitkan rasa kantuk pada matanya.
“Pukul empat dini hari,” gumam Alex sinis melirik jam yang tergantung di ruang tamu.
“HWAA!” Sudah ke sekian kalinya Alex menguap bahkan mata Alex sedari tadi tidak terbuka dengan sempurna.
“Alex.” Suara itu sukses membuatnya mendongkak, menatap dengan malas orang yang memanggilnya.
“Apa?” tanya Alex malas sambil menopang dagunya.
Pria itu tersenyum lembut, “Mari kita mulai belajarnya.”
Alex mendesah kesal, “Kenapa harus sekarang? Ini masih sangat pagi!”
“Waktu ini sangat baik untuk belajar, menurut saya,” katanya lalu mengambil posisi duduk di hadapan Alex.
“Tapi tidak untuk saya,” jawab Alex ketus.
Di lain sisi Aisyah tengah bersiap-siap untuk melaksanakan salat subuh. Selagi menunggu azan berkumandang, Aisyah menyempatkan dirinya untuk membaca surat favoritnya itu, yakni surah Ar-Rahman.
Lantunan suara merdu Aisyah sampai ke telinga Alex, membuatnya makin mendesah kesal. Benar kata orang, antara cinta dan benci itu beda tipis. Semua mengenai Aisyah, bahkan suara merdu yang kini Alex dengar, ia tahu jelas itu suara milik Aisyah.
“Ini ب .” Suara pria paruh baya itu, sukses membuyarkan lamunan Alex.
Alex mendesah kesal, “Besok, tidak usah datang lagi!” Alex bangkit lalu berjalan menuju kamarnya.
“Tapi, kenapa?” Pria itu ikut bangkit dengan bingung.
Alex menarik sebelah bibirnya membentuk setengah senyuman, “Saya baru saja mendapat guru baru,” katanya seraya berlalu.
***
Aisyah tersenyum bahagia, hari ini adalah hari terakhir dirinya harus menjalankan hukuman membersihkan WC selama sepuluh hari.
“Huf ...” Aisyah menyekat keringat di dahinya sambil memegang sapu dan alat pembersih, Aisyah tersenyum puas, mengamati pekerjaannya.
“Alhamdulillah, bersih juga akhirnya.”
Gadis itu segera bergegas merapikan semua peralatan bebersih, bersama dengan itu segerombolan gadis masuk ke toilet.
“Eh, lo Aisyah, kan?” Seorang gadis berambut panjang, salah satu di antara mereka menatap sengit Aisyah, dan diikuti tatapan sengit dari tiga gadis lain di belakangnya.
Aisyah mengangguk, “Iya, saya Aisyah. Maaf, ada apa ya, Kak?” tanya Aisyah bingung.
Gadis itu kembali menatap Aisyah dengan sinis dari ujung kaki sampai ujung kepala, “Jangan belaga bodoh lo!” Tangannya mendorong tubuh Aisyah, “lo yang buat Alex ditangkap polisi, kan!” sergahnya tajam.
“Maaf, saya ... saya harus pergi.” Aisyah hendak melangkah pergi, tetapi ia langsung dihadang oleh ketiga gadis remaja itu.
“Lo mau kabur?” tanya gadis berambut panjang, lalu mendorong Aisyah hingga punggungnya membentur tembok.
“Permisi, Kak. Saya harus pergi. Sebentar lagi pelajaran akan dimulai,” ulang Aisyah mencoba kembali menerobos ketiga remaja itu.
“Tan, kayaknya nih anak mesti kita beri hukuman deh!” kata gadis berambut keriting sebahu memegang keras lengan Aisyah.
Aisyah meringgis kesakitan, tapi gadis berambut keriting itu tidak peduli sama sekali. “Iya bener tuh Tan, anak sok alim kayak dia harus dikasih pelajaran biar gak songong lagi.” Tambah gadis di sebelahnya. Gadis berambut panjang itu tersenyum jahat, “Boleh juga idenya.”
Gadis itu langsung menyeret lengan Aisyah. Ia memberontak, tapi kalah kuat dengan gadis itu. Gadis lain menghempas Aisyah dengan kasar ke dalam bilik WC, lalu menguncinya.
“Rasain loh!” desis mereka lalu tertawa kencang.
***
“ARGH s**l! Ke mana gadis bodoh itu?” gumam Alex. Sedari tadi Alex memang sibuk mencari sosok Aisyah, ia bahkan sudah mencari ke setiap tempat kemungkinan Aisyah
berada, mulai dari perpustakaan hingga ke taman sekolah, tapi hasilnya nihil. Tak ada Aisyah di mana pun.
“Eh, bro, nyari apa lo? Sibuk bener hari ini.” Seperti biasa, Willy menyapa Alex sok akrab.
Alex berdecak kesal, “Lo liat Aisyah gak?”
“Cie, ada angin apa lo nyariin Aisyah?” Tanya Willy penuh selidik.
“Lo liat atau enggak?” Alex menatap tajam Willy.
“Kemaren sih liat, tapi kalo sekarang enggak. Mungkin dia nyangkut di pohon kali, bajunya kan panjang banget kayak mau ngepak lantai.” katanya cekikikan. Alex mendengkus kesal, lalu pergi meninggalkan Willy.
“Eh tunggu,” pekik Willy mengejar langkah kaki Alex, “eh, gue rasa Aisyah ada di kantin deh.”
Alex menatap tajam Willy, mungkin apa yang dikatakan Willy ada benarnya juga, dengan segera Alex berbelok menuju kantin.
Di perjalanan ....
“Eh, gue seneng banget deh, bisa hukum tuh gadis sok alim.”
“Ia biar tahu rasa tuh cewek.”
Langkah kaki Alex terhenti, ia lantas mendekat ke arah segerombolan gadis itu.
“Alex!” seru mereka histeris.
Alex menatap datar mereka, ‘Kalian apain Aisyah?”
Dengan bangga gadis berambut panjang itu maju ke hadapan Alex, “Memberi perhitungan untuk cewek sok alim kayak gitu.” Gadis itu tersenyum bangga, lalu ia hendak bergelayut manja di pundak Alex, tapi langsung ditepis hingga membuat gadis berambut panjang itu hampir tersungkur di lantai.
“Di mana Aisyah sekarang?” bentak Alex, gerombolan gadis itu terkejut sekaligus bingung.
“Kenapa?” tanya gadis itu, “kami cuman buat perhitungan buat dia, karna udah buat lo susah,” katanya mencoba membela diri.
“Iya, seharusnya lo berterima kasih sama kita.” Sahut gadis lain di antara mereka.
Alex sekilas menatap sinis gadis berambut keriting itu, yang ditatap langsung menunduk ketakutan, “Gue enggak pernah nyuruh kalian buat ikut campur urusan gue, dan kalian enggak berhak ikut campur dalam urusan gue,” kata Alex tegas.
“Tapi—”
“Kalian enggak berhak ikut campur urusan gue! Hanya gue yang berhak untuk itu! Sekarang di mana Aisyah?” bentak Alex kencang, mengundang perhatian semua orang di kantin, segerombolan gadis itu terkejut dan mulai ketakutan.
“ Di ... toilet,” jawab satu di antara gadis itu dengan ketakutan. Alex pun melangkah pergi.
“s**l!” Salah satu di antara gadis itu mengentak keras kakinya di lantai.
***
“Di mana aku?” Aisyah terbangun, ia terbaring di ranjang, matanya mengamati sekeliling ruangan yang tampak asing baginya. Gadis itu lantas duduk sambil memijat pelan kepalanya yang terasa berdenyut.
“Lo udah sadar, gue kira lo koma.” Suara itu membuat jantung Aisyah bekerja lebih cepat, ia lantas menunduk dalam, tubuhnya bergetar hebat.
Alex yang menyadari akan hal itu hanya tersenyum miring. “Gue bukan hantu, dan lo ada di UKS,” kata Alex datar seraya melangkah keluar UKS.
“Oh iya,” Alex berbalik, menyembulkan sedikit kepalanya di pintu. “Hari ini, lo pulang bareng gue.”
“Gue enggak nerima penolakan,” kata Alex datar.