06

1015 Kata
“Kalian belum tidur?” tanya mama pada Jean dan Ron yang masih duduk di teras panti asuhan. “Kami merindukan Andreas, Ma,” ujar Jean beringsut kearah sang mama yang ikut duduk. “Andreas baru saja satu hari pergi. Kalian rindu apa khawatir?” “Kami khawatir Andreas tak lulus ujian itu, Ma. Kami takut,” kini Ron yang merasa takut. Bukan merasa dan bukan hanya dia saja, tapi hampir semua anak-anak penghuni panti takut dan tak yakin dengan Andreas. Jean mungkin sudah bilang bahwa Andreas si anak beruntung, tapi... “Malam ini sebelum tidur, coba kalian berdoa untuk Andreas. Semoga selama di sana ia baik-baik saja dan bisa kembali dengan selamat.” Mama mengatakan itu dengan tersenyum manis, matanya hampir saja tertutup karena sipit. "Sekarang ayo tidur, jika adik-adik kalian tahu, bisa-bisa mereka ikut keluar nanti.” Ron dan Jean mengangguk dan mengikuti sang mama yang mulai masuk kedalam, kemudian mengunci pintunya rapat-rapat, selain udara malam yang tak baik, hawa juga ikut begitu dingin. Musim dingin hampir tiba beberapa saat lagi. Meskipun begitu hati Ron sedikit bimbang, tidak sedikit lebih tepatnya terus saja bimbang dan takut. Lebih takut saat nanti seharusnya Jean yang akan mengikuti ujian itu, tahun depan. Jean perempuan tertua di antara mereka, kini usianya sudah 17 tahun, berarti tahun depan ia akan mengikuti ujian mematikan itu. Ron saja yang pandai beladiri masih ketakutan, bagaimana dengan kedua kakak asuhnya, apa yang akan terjadi dengan mereka nanti? Sejauh mana mereka akan bertahan. Ron kemudian menatap sekilas adik-adiknya yang sudah terlelap dalam tidur, ia pun mencoba untuk ikut tertidur, meskipun rasa takut masih menghinggapi dirinya, ketakutan akan kekhawatiran. Sementara itu Jean masih belum tertidur, sebagai saudara perempuan tertua di panti setiap malam ia harus mengecek adik-adiknya, untuk memastikan mereka sudah tertidur atau belum. Biasanya ia bersama Andreas, tapi sejak seminggu sebelum kepergiannya Mama melarang Andreas untuk melakukan tugas itu. Mama mengatakan bahwa Andreas harus beristirahat cukup agar ujiannya berjalan dengan baik. Saat ini Jean tengah berjalan di lorong setelah mengecek beberapa kamar, termasuk kamar Ron dan biasanya Andreas juga berada di sana. Jean melewati kamar sang mama yang masih sedikit terbuka, dengan lampu temaram berwarna kekuningan. Jean membuka perlahan pintu itu, memastikan keadaan sang mama. Namun, sang mama masih terbangun dengan memeriksa beberapa berkas di meja kerjanya. "Mama belum tidur?" tanya Jean begitu melihat sang mama. "Jean, seharusnya Mama yang berkata begitu," ujar sang mama. "Jean baru saja mengecek keadaan adik-adik, semuanya sudah tidur," kata Jean. "Kemari lah," perintan sang mama. Jean mengindahkan perkataan itu dan mendekati sang mama yang masih di tempat sang mama. Seperti kebanyakan anak panti lainnya, Jean juga tak tahu siapa kedua orang tuanya, sejak ia mengerti ia sudah berada di sana, berkumpul dengan anak-anak dengan nasib seperti dirinya. Bagi Jean, mereka adalah keluarganya bagaimana pun keadaanya. Selain itu panti asuhan di jalan ke tiga belas di anggap sebagai panti paling kumuh dan kotor, jarang sekali anak pasangan suami-istri yang mau mengadopsi anak-anak dari sana. Maka dari itu banyak anak-anak yang tetap berada di panti sampai usia belasan tahun. Sayangnya, mama membuat peraturan bahwa setiap anak yang sudah berusia 18 tahun harus keluar dari panti asuhan untuk mengurus hidup mereka sendiri nantinya. Meskipun tak di suruh pergi anak-anak memang harus melakukannya, karena ketika mengikuti ujian kelulusan mau tak mau mereka harus meninggalkan panti asuhan, bahkan juga bisa meninggalkan dunia ini. Semua karena ujian mematikan itu. "Ma, Jean khawatir dengan Andreas," kata Jean yang berdiri di samping Mama. "Kenapa kau khawatir padanya, bukankah harusnya kau khawatir padamu sendiri, tahun depan waktumu," ujar sang mama yang membuat Jean terdiam. Memang tahun depan seharusnya ia yang pergi mengikuti ujian mematikan itu, ujian yang mempertaruhkan nyawa. Ia bahkan tidak yakin bisa melalui ujian itu, karena bekal belajar dan membaca buku saja tidak cukup. Jean mulai berpikir mungkin ia harus belajar beladiri dengan Ron, setidaknya ia bisa melawan tanpa pasrah dengan semua yang terjadi. Ia tahu bahwa Andreas tak melakukannya, Andreas ikut tanpa banyak persiapan. Andreas sebagai laki-laki pendiam yang tak banyak bicara melakukan semuanya begitu saja, bahkan untuk ujian itu. Padahal seharusnya ia ketakutan yang mungkin banyak di lakukan anak-anak lainnya, karena itu mungkin waktu terakhir mereka bisa melihat dunia. Tak lama berbincang dengan sang mama, Jean keluar dari sana dan kembali berjalan menyurusi lorong panti asuhan. Perasaan tak nyaman karena Andreas masih melekat dalam dirinya, satu bulan ia tak tahu kabar Andreas entah ada kabar apa di sana pun ia tak tahu. Yang ada nanti hanya kabar ketika ujian selesai, entah itu hidup atau mati. Ia tetap yakin bahwa Andreas lulus dalam ujian itu dengan keadaan selamat, meskipun itu sangat tipis sekali. Kini Jean sudah berada di depan pintu kamarnya, membuka kamar itu secara perlahan agar tak membangunkan adik-adiknya yang mungkin saat ini tengah tertidur dengan nyenyaknya. Sesampainya di atas ranjangnya, ia membersihkan sesaat kasurnya dan memutuskan untuk tidur. "Jean," panggil sebuah suara dari ranjang atas (mereka tidur di ranjang susun). Jean membuka selimut yang sempat menutupi wajahnya, dan mendapati seorang gadis seusia Ron melihatnya. "Apa yang kau bicarakan dengan Mama? Aku melihatnya saat aku ke kamar mandi," tanya gadis itu yang tak lain Miria. "Kami hanya membahas soal Andreas, aku khawatir," kata Jean menjawab pertanyaan Miria. "Ron juga terlihat begitu, sejak Andreas pergi tak ada yang nampak baik-baik saja. Kita terlalu takut kehilangannya," ucap Miria. Jean mengangguk mendengar ucapan Miria, ia setuju dengan hal itu. Memang bukan hanya ia dan Ron yang terlihat khawatir tapi juga semua penghuni panti termasuk Mama. Itu jelas sekali, Mama juga tak seperti biasanya. Meskipun ini pertama kalinya dalam anak panti ikut ujian kelulusan, tapi entah kenapa Andreas berbeda. Beberapa anak yang pernah ikut ujian dalam panti asuhan, mereka tak pernah kembali dengan keadaan baik-baik saja, bahkan dari mereka banyak yang kembali hanya dengan nama saja. Dan dua tahun tak ada yang ikut ujian dari panti, setelah tahun itu Andreas baru ikut kembali. Mugkin itu yang membuat mereka terlalu takut kehilangan untuk kesekian kalinya. Jean kemudian memutuskan untuk memejamkan matanya, mungkin tidur bisa sedikit mengobati rasa takut dan khawatitnya, dan akan menghilang esok pagi. Jean berharap begitu, harapan yang sama seperti keinginan para penghuni panti asuhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN