Pertemuan Kembali

1057 Kata
"Doook!" Dokter. Panggilan itu masih asing sih. Butuh waktu lama baginya untuk bisa mendapatkan profesi ini. Bisa dibilang cukup cepat sih kalau dibandingkan dengan beberapa teman seangkatan dan kakak tingkat kampusnya yang masih kuliah dan ya beberapa masih koas. Tahu kenapa? Karena mereka banyak mengulang perkuliahan. Sistem perkuliahan ditahunnya sangat sulit. Harus lulus yudisium untuk bisa naik tingkat selanjutnya. Ia? Bisa dibilang sangat beruntung. Ya mungkin karena faktor latar belakang keluarga juga. Untuk buku, ia bisa dengan mudah mendapatkannya. Hanya perlu mengatakan pada Ayahnya. Tak lama, barang-barang itu sudah dibawa oleh anak buah Ayahnya. Ia tak perlu mengantri pinjaman buku seperti teman-teman yang lain. Karena jumlah buku di perpustakaan itu kan terbatas. Tak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang ada. Jadi ya, harus sabar menunggu pinjaman. Tapi bukan kah ada yang namanya fotokopi? Wohooo. Mahal. Ditahun-tahun ini bukan tahun 2000-an yang serba dimudahkan. Tak semua mahasiswa mampu bukan? Ada yang berbekal beasiswa dengan dana yang lumayan terbatas. Bisa kuliah dan makan 3 kali sehari saja sudah syukur kok. Boro-boro meminta hal lain. Gadis itu datang karena dipanggil. Ia berlari menuju unit gawat darurat. Ada yang terluka parah. Seperti baru tertembak. Namun ini bukan waktunya untuk menebak apa yang mungkin terjadi dan siapa tersangkanya. Tugasnya hanya menangani. Melayani. Mengobati. Walau ya ketika si pasien tiba di ruangan untuk tindakan, suasana mendadak gaduh. "ANGKAT TANGAN!" Ya dengan ototmatis, tubuhnya mengikuti perintah itu. Tanpa tahu apa yang terjadi. Mau membalik badan tapi tak berani. Apalagi ia bisa mendengar suara tembakan dari kejauhan. Ia tak tahu kekacauan apalagi yang terjadi di sini. Bukan hal aneh sih kalau tiba-tiba banyak lelaki berseragam atau yang tidak berseragam dan mendadak menodongkan pistol. Namun jujur saja, ini pertama kali baginya memiliki pengalaman semengerikan ini. Koas di daerah terpencil tak semengerikan ini. Eeh saat diterima bekerja malah begini mengerikannya. "Obati pasien itu dan jangan banyak bicara atau kalian akan mati semua!" Tak ada CCTV yang akan merekam semua kejadian. Ah jangan kan CCTV, peralatan rumah sakit saja masih sangat terbatas. Jangan tanya gaji pula. Kalau bukan karena ayahnya jenderal ternama, ia juga sulit bisa bekerja di sini. Jadi gaji? Sepertinya jauh lebih baik meminta uang jajan pada Ayahnya. "CEPAT BEKERJA SEKARAAAANG!" Mereka diteriaki. Ia tak tahu siapa penjahatnya kali ini. Tapi yang jelas, bukan salah satu pria berseragam yang ia kenal. Maksudnya, dari pasien yang ada di depan matanya ini memang bukan orang berseragam. Dari bajunya ya hanya kaos biasa. Sayangnya, tak ada identitas yang bisa menguatkan keyakinannya kalau mereka bukan bagian dari polisi maupun tentara. Ia ingin sekali memaki tapi tak punya nyali. Ya jangan banyak bicara di zaman ini kalau mau selamat. Ia bisa kuliah selancar ini selain karena selalu lulus atau karena ayahnya, tetapi juga karena ia tak pernah ikut demo atau semacamnya seperti teman-temannya yang mendadak hilang. Ayahnya sudah berpesan agar tak macam-macam. Ayahnya mungkin bisa menolong. Tapi itu seperti mencederai diri sendiri. Namun ya baginya tak ada bedanya juga dengan hanya diam menghadapi ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Pistol terus terarah padanya. Ketika ia sedikit membalik badan, mata yang menyipit itu mulai melebar. Tampaknya ada seseorang yang mengenalnya. Tapi yang ditatap tentu tak sadar. Karena ia sangat fokus dengan pasien barunya. Mengeluarkan peluru heh? Ia adalah sang ahlinya. Pengalaman selama koas dan bekerja sebagai dokter selama beberapa bulan membuatnya mahir. Ia sangat fokus dan bebar-benar tak sadar kalau ada yang seakan menyadari kalau ia adalah orang yang lama dikenal. Berapa tahun? Tak begitu ingat pula. Rasanya seperti sudah sangat lama. Namun wajah perempuan yang ia tatap masih sama seperti dulu. Hanya mungkin sekarang tampak lebih dewasa. Tampak semakin anggun. Masih cantik pula. Seakan kecantikannya tak pudar. Bahkan hanya dengan bedak setipis itu.....ia masih sangat bisa mengenalinya. Fiandra...... Nama itu disebutkan di dalam hati. Kenapa bisa dipertemukan di sini? Setelah ia sibuk menyelami dunianya sendiri untuk hidupnya? Ah ia juga tak punya jawaban kecuali ia tahu kalau ini adalah rumah sakit bukan? Dan gadis itu adalah mahasiswi Kedokteran yang dulu sangat ia kenal. Jadi ya memang ada kemungkinan bisa bertemu disaat ia sedang berada di kota besar ini. Mungkin kebetulan? Atau kah takdir yang mempertemukan mereka di sini? Dikala ia lengah, terdengar kegaduhan tepat di belakangnya. Perempuan yang ia tatap mengalihkan tatapan ke arah belakangnya hingga ya reflek berteriak karena pistol itu terarah padanya. Kemudian ia bersama yang lain berteriak sambil membungkukkan badan. Bersembunyi untuk keselamatan masing-masing. Lelaki yang lengah itu dengan cepat bergerak. Ia membalik badan dalam sekejab dan menembak lelaki tadi tanpa ampun. Suara tembakan yang begitu mengerikan memenuhi ruangan. Gadis tadi bersembunyi di dekat nakas di samping tempat tidur. Ia berusaha menyelamatkan dirinya. Takut terkena tembakan. Pasien? Pasien memang harus diselamatkan. Tapi dalam kasus ini, nyawa mereka sebagai dokter sangat penting. Karena jumlah dokter masih sangat terbatas. Calon dokter memang banyak tapi untuk lulus rasanya seperti mimpi saking sulitnya. Lelaki tadi masih sibuk menembak. Entah berapa banyak korban. Yang jelas, gadis ini menyaksikan sendiri betapa banyak yang tumbang dan ya jangan tanya bagaimana keadaan rumah sakit ini. Benar-benar pecah seakan ada gempa? Atau mungkin lebih parah dari itu? Anehnya, ia malah takjub sih. Karena cowok itu hanya sendiri dan ia berhasil menumbangkan begitu banyak pria berseragam loreng. Ayahnya mungkin akan marah dan cemburu kalau tahu ia mengagumi musuhnya. Walau ya ia tak tahu masalahnya sih. Namun jelas, ia tak tahu itu berlangsung seberapa lama. Begitu tak terdengar suara tembakan lagi, tahu-tahu ada yang menongolkan kepalanya untuk melihat keberadaannya di bawah ranjang. Tentu dengan pistol terarah padanya. "Lanjutkan pekerjaanmu!" Ia diperintahkan. Namun anehnya malah diam. Matanya mengerjab-erjab. Wajah itu benar-benar tampak familiar baginya. Sungguh familiar. Ia seperti pernah mengenalnya dan aaah akhirnya menyadari siapa sosok itu. Lantas? Ia maju sedikit dan tahu apa yang dilakukannya? Menoyor kepala cowok itu dengan kuat hingga tubuhnya terjengkang ke belakang. Kemudian ia keluar dari bawah ranjang dan berkacak pinggang. Ia tak perduli kalau cowok itu mengaduh. Karena bukan toyorannya yang sakit melainkan ya kepalanya yang terbentur ranjang sebagai wujud reflek usai ditoyor tadi. Ya menghantam bagian bawah ranjang begitu saja. Itu jauh lebih sakit. Kini ia mengaduh-aduh di lantai. Lantas gadis ini? "YAAAA!" Ia malah berteriak. Ia akhirnya sadar dengan siapa ia berhadapan. Siapa? Wohooo tentu saja Adhiyaksa. Lelaki berandalan yang pernah satu fakultas dengannya. Tapi kemudian menghilang tanpa jejak. Setelah beberapa tahu berlalu, malah bertemu dengannya di sini dan membuat onar di rumah sakit di mana ia bekerja. Bukan kah ini menyebalkan? @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN