"Dia benar-benar kuliah?"
Ia hanya memastikan kalau anak keduanya yang paling nakal itu tak berbuat aneh-aneh. Ia tahu pasti. Usai kabur dari rumah dan entah berapa lama perjalanan baginya dengan jalur darat menuju Jakarta. Ia tak tahu. Mungkin butuh beberapa hari. Ya kalau perkiraannya sih biaa sampai satu minggu atau lebih dari itu.
"Susul adikmu."
Manggala yang hendak melangkah, mendadak membalik badannya. "Ayah tahu kalau aku perlu belajar untuk perkuliahan yang baru dimulai."
Ia tentu saja protes. Susah payah ia masuk kampus di negeri melayu ini. Setelah ya menunda satu tahun karena banyak hal yang terjadi. Termasuk urusan ekonomi keluarga yang sedang terganggu. Padahal rasanya belum lama mereka bisa hidup enak. Kini satu per satu sudah mulai dijual. Ia tahu, Ayahnya juga tak bermaksud begitu. Tapi mereka tak punya pilihan lain.
"Kirim surat kalau begitu."
Ia tahu kalau anak pertamanya sudah mengalah selama setahun belakangan untuk tak kuliah. Kenapa? Karena ia memutar uang untuk bisnisnya. Namun tetap gagal. Akhirnya ya jual mobil jeep kesayangannya untuk biaya kuliah dua anaknya ditahun ini. Jelas berat lah. Mana anaknya yang paling sableng malah diam-diam mengambil kuliah di Indonesia sana. Padahal ia sudah mengizinkan untuk kuliah di sini saja. Kedokteran di sini juga bagus. Tapi ya anak berandal dengan sejuta ide itu memang begitu. Sudah lah. Ia juga lelah menghadapinya.
"Kamu tahu maksud Ayah kan?"
"Aku tahu. Tapi Ayah tahu, sampai kiamat pun, ia tak akan pulang. Ayah tahu keras kepala itu mirip siapa...."
Anaknya berujar santai. Ia hanya bisa tertawa. Ya memang itu gennya. Istrinya hanya menggelengkan kepala. Pusing juga dengan segala urusan ini.
"Ia akan mengomeliku kalau aku menyuruhnya pulang."
Ya audah pasti. Ia juga tahu kelakuan anak keduanya itu seperti apa. Jauh berbeda dibandingkan yang lain yang memang bukan pembuat onar. Manggala mengomel. Ia terpaksa keluar untuk pergi mencari telepon umum. Telepon di rumah mereka baru saja diputus. Ayah sedang tak bisa membayar tagihannya yang lumayan bengkak. Apalagi menelepon ke luar negeri. Biayanya juga mahal tapi ya sudah lah. Ikhlas kan saja. Walau ia ingin sekali menggetuk kepala adiknya yang satu itu. Namun menghubungi adiknya juga sulit. Tak ada nomor telepon tetap. Ponsel pun tak punya. Ya belum ada juga lebih tepatnya. Harganya pasti sangat mahal kalau sudah ada. Mereka hanya mengandalkan telepon. Namun ya nomor terakhir ketika adiknya menghubunginya tak tersambung. Jalan lain?
Ya kirim surat saja. Meski ia tak yakin akan kah surat ini sampai ke alamat terakhir di mana adiknya tinggal. Ia tahu adiknya seperti apa. Obrolan terakhir pun penuh perdebatan. Manggala bukan tipe orang yang akan mengambil resiko. Berbeda dengan lelaki yang satu ini. Urusan resiko dipikirkan nanti. Yang penting ya maju dulu. Hahahaha.
"Ya! Ayah hanya akan memulai bisnis baru. Tak perlu kamu usik lagi mereka."
"Kamu pikir mereka akan berhenti dengan Ayah memulai bisnis baru heh? Udah lah. Jaga Ayah dan yang lain di sana. Aku bisa mengurus segala urusannya di sini. Aku sudah punya cara dan jalan yang akan ku tempuh."
"Jangan gila. Mereka semua orang-orang yang berkuasa."
"Justru itu yang membuatku gila. Mereka terlalu berkuasa."
Ini bukan balas dendam. Tapi mata harus diganti mata. Jantung juga harus diganti dengan jantung. Bisnis Ayahnya yang gagal dan juga kebangkrutan adalah usaha mereka bukan? Jadi ia akan jatuh kan mereka dengan cara apapun. Satu-satunya cara memang hanya lah menghilangkan kekuasaan mereka. Makanya ia bisa segila ini. Ayahnya sudah pergi jauh dari negara ini. Bahkan sampai pindah kewarganegaraan. Tapi tampaknya mereka belum puas kalau Ayahnya masih hidup. Jadi jangan salah kan kalau ia juga melakukan cara picik untuk menghancurkan mereka. Tak ada jalan yang baik. Karena ia tahu siapa saja yang harus ia hadapi. Tak perduli seberapa besar resikonya. Manggala?
Jelas khawatir lah. Adik sableng yang selalu membuat masalah dan pusing kepalanya.
@@@
"Kamu kenal lelaki itu?"
"Oh si tukang tidur?"
Fiandra mengangguk. Maksudnya memang itu. Si tukang tidur. Ia terkenal dengan nama itu ya? Hahahaha. Ya satu kelasnya sudah tak heran dengannya.
"Lelaki itu aneh. Kerjaannya cuma tidur. Tapi kamu tahu hasil kuis dadakan tadi? Hanya dia yang benar semua."
Ya itu juga mengejutkan Fiandra. Tak ada yang paham dengan isi otak lelaki itu. Namun ia hanya merasa aneh saja. Entah niat atau tidak cowok itu masuk kuliah. Karena tak pernah terlihat belajar. Ya kan sepanjang kuliah tidur. Tapi dosen tak ada yang berani berkutik dengannya. Sekalipun ditantang menjawab berbagai pertanyaan dari mereka, cowok itu selalu bisa menjawabnya. Para perempuan yang awalnya tak memerhatikannya kini jelas menoleh dan memerhatikan di mana pun keberadaannya. Tampak pendiam tapi Fiandra tak merasa cowok itu seperti itu. Ada yang ganjil darinya tapi ia juga tak tahu apa.
"Tapi ganteng juga loh. Aku suka karena rambutnya panjang begitu."
Masih sempat-sempatnya ada yang terpesona. Teman-temannya yang lain tertawa.
"Eh...Fi, tampaknya itu mobil Ayahmu."
Ia turut menoleh. Ya memang mobil nyentrik itu milik Ayahnya. Bahkan lelaki itu keluar dari mobil sambil melambaikan tangan. Kumis tebalnya membuatnya tampak sangar padahal hatinya sangat lembut. Tampangnya sebenarnya lawak. Makanya kedua anak perempuannya suka mengoloknya yang begitu mirip dengan aktor komedi lawak berkumis yang sering muncul dalam salah satu film lawak yang sangat terkenal.
"Aku pulang duluan," pamitnya pada kawan-kawan. Kemudian ia berjalan menuju Ayahnya yang sudah menunggu. Tumben-tumben bisa menjemputnya.
Sementara itu, di kejauhan sana ada yang menatap tajam. Bahkan tangannya sampai terkepal. Tampak emosi dengan mata yang tertuju pada Ayahnya. Ia bahkan memukul meja dengan sangat keras dan membuat beberapa orang yang lewat terkejut dengan aksinya. Tak mau kehilangan, ia buru-buru berlari menuju parkiran. Kemudian mengendarai motor besarnya. Ya bukan yang biasa digunakan untuk balapan. Tapi untuk touring. Mungkin sebutannya motor King?
Ia menggunakan helm tanpa kaca. Biasanya sih ada kacamata yang menempel di hidung tapi kali ini tak dipakai karena sedang terburu-buru. Ia langsung menarik gas sekencang mungkin sebelum kehilangan mobil itu. Kemudian dengan santainya mengikuti di belakang. Karena mobil itu tampak santai juga. Jalanan di Jakarta di tahun ini tak begitu padat. Ya walau sudah sore. Paling banyak ya kendaraan umum berwarna biru yang sering lewat. Tapi ada juga yang birunya sudah pudar. Kendaraan itu yang banyak terlihat. Belum lagi mobil-mobil klasik yang harganya jelas mahal dan hanya bisa dimiliki oleh kalangan berada.
Mobil jeep itu berbelok dan ia mengikutinya. Namun berhenti ketika melihat mobil itu berbelok dan masuk melewati pagar rumah. Ia hanya menatap dari kejauhan. Jadi tahu di mana lelaki itu tinggal. Apa urusannya?
Jelas ada dan runyam sekali. Rumit untuk dijelaskan. Namun ia tak bisa pakai cara k*******n. Karena ia sudah pernah mencobanya bukan? Jadi harus menggunakan apa?
@@@