PROLOG
“Holly s**t!!”
Umpatan itu menggema dari arah samping kanannya di mana Ricko, asistennya berada. “Kenapa dari banyaknya hari, kita harus bertemu dengan mereka malam ini?”
Oh percayalah, Lea juga mempertanyakan hal yang sama di dalam kepalanya.
“Laki-laki itu tidak tahu caranya memilih wanita! Lihat saja paha dan belahan dadanya yang sengaja dipertontonkan. Bangga sekali melihat wanitanya jadi konsumsi publik!”
Lea menggenggam gelas kaca berisi red wine-nya dengan erat. Dari lantai dua club malam, mereka bisa melihat pasangan itu clubbing dengan gerakan e****s di bawah sana.
“Seharusnya dulu kamu menendang k****************i itu supaya tahu rasa!” geram Ricko yang terlihat lebih emosi dari dirinya meskipun nyatanya, Lea hanya pintar menahan luapan emosi itu hingga membuat dadanya terasa sesak.
“Jangan buang-buang tenaga untuk hal itu.” Ricko mengangkat kepala saat Lea berdiri, meminum habis red wine-nya dan meletakkan gelasnya dengan agak kasar di atas meja. “Di dunia ini karma berlaku, right?”
“Tentu saja,” Ricko mengangguk.
“Sudahlah, aku mau ke toilet.”
Ricko ikut berdiri, “Biar aku temani.”
“Tidak usah. Sebentar lagi Sky datang. Kamu tunggu saja dia di sini.”
Tanpa menunggu jawaban Ricko, Lea berbalik pergi ke toilet yang ada di bagian lain club yang malam ini begitu ramai. Berjalan agak sempoyongan, menekan rasa sesak di dadanya yang ingin meledak, berniat melampiaskannya tapi tidak dengan cara bar-bar seperti menjambak wanita itu sampai helaian rambutnya lepas dan membuat laki-laki itu tersenyum bangga karena diperebutkan. Oh itu jelas tidak akan pernah dia lakukan jadi yang bisa dilakukannya hanya menahannya.
Lea tidak peduli saat lengannya beberapa kali menabrak orang lain di sepanjang jalan dan dia hampir jatuh tersandung sesuatu di lantai kalau saja tidak ada lengan seseorang yang menahannya agar tetap berdiri.
Lea mengangkat kepala dan bertemu tatap dengan sepasang mata hitam tajam di wajah cowok muda yang terkesan sombong.
“Are you okey?” tanyanya dengan alis terangkat naik.
“Apa aku terlihat baik-baik saja?” Lea menyentak lengannya agar terlepas. “Thanks.”
Cowok itu menatapnya seksama. “Sepertinya kamu agak mabuk—“
“Tidak usah pedulikan aku. Terima kasih.”
Lea baru saja akan berbalik saat laki-laki itu menghadang langkahnya membuat mereka kembali berhadapan.
“Kamu mau ke mana, biar aku temani.”
Lea terdiam, memperhatikan penampilan cowok itu secara keseluruhan lalu mendengkus. “Tidak perlu, boy. Aku bisa sendiri. Gunakan modusanmu untuk perempuan lain yang seusiamu.”
Lea mendorong lengan kekar cowok itu ke samping agar tidak menghalangi jalan dan lega saat tahu cowok itu tidak mengikuti.
Di dalam toilet, Lea duduk di atas kloset dengan air mata yang mengalir dan membekap mulutnya dengan tangan berharap tidak ada yang mendengar isakannya meski dia tahu tidak akan ada yang peduli. Lelaki b******k itu masih ada di dalam kepalanya dan dia benci mengakui hal itu.
Lima belas menit kemudian Lea keluar dan kaget mendapati seseorang berdiri menyandar tidak jauh dari pintu, menunggunya.
“Ini—“
Cowok itu mengulurkan satu botol air mineral dingin. Lea hanya diam memandanginya dengan bingung sampai cowok itu mengambil telapak tangannya dan meletakkan botol itu di sana.
“Untukmu, Azalea.”