11

1701 Kata
Setelah kecelakaan beberapa hari lalu, Abi memang tak masuk kuliah. Namun keinginannya untuk bertemu Reiko benar-benar tak bisa ditahan. Jadi, pagi-pagi sekali dikirimnya sebuah pesan singkat pada Reiko yang berisi bahwa dirinya ingin melihat gadis itu sepulang kuliah sekaligus menyampaikan sesuatu mengenai kejadian ganjil yang terjadi padanya akhir-akhir ini. Reiko berkata jika kelasnya berakhir pada pukul dua siang. Oleh karena itu, dengan mengendarai sepeda motor matic tetangga kosnya—karena tak mungkin Abi naik motor ninjanya dengan keadaan kaki seperti itu—dan menunggu Reiko di depan fakultas mereka. Ketika Reiko melihat sosok Abi dari kejauhan, dia langsung berlari kecil menuju Abi yang melambaikan tangannya dengan gerakan lemah. Reiko mengernyit, mendapati sebelah kaki Abi yang di-gips serta tubuh lelaki itu yang semakin kurus. “Abi, kamu gak papa?” tanya Reiko dengan napas terengah. Wajahnya berubah cerah, namun ada gurat-gurat kekhawatiran yang jelas tampak. Abi menggeleng pelan dan tersenyum kecil. “Aku nggak papa. Cuman kaki sakit aja habis jatuh dari sepeda motor.” “Kapan?” tanya Reiko kaget. Ia menatap motor matic yang asing di matanya kemudian kembali menjatuhkan fokusnya pada Abi. Mengangkat tangan, Abi mengusap rambut panjang Reiko dengan lembut. Ia benar-benar tak ingin membuat gadis itu cemas padanya, sementara Reiko selalu mengalami hari-hari sulit di kampus. “Bagaimana? Apa mereka masih mengganggumu?” ucap Abi mengalihkan topik pembicaraan. Reiko menggeleng kuat, menandakan bahwa dirinya baik-baik saja dan berujar jika Sekar dan Hanum sudah jarang masuk kelas setelah kematian Lila. Terdiam sejenak. Abi memutar otak untuk mencari cara menyampaikan sesuatu yang mengganjal hatinya belakangan ini. Maka, ditariknya tangan Reiko mendekat, memperhatikan keadaan di sekitar mereka was-was karena tak ingin percakapan keduanya terdengar oleh orang lain. Bisa-bisa akan muncul gosip baru nantinya. Dan Reiko akan menjadi sasaran empuk pembullyan lagi. “Reiko dengar,” Abi menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang, tatapan matanya lurus pada manik gelap Reiko, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Abi sangat gelisah. “Maaf, aku berkata begini. Tapi, sejak bertemu denganmu, aku banyak mengalami kejadian aneh. Maksudku, bukan kamu penyebabnya, oke?” alis Abi bertaut cemas kala Reiko menundukkan wajahnya dalam-dalam. “Entah kenapa, aku merasa seperti eum—di teror? Dengan sesuatu yang b-bukan manusia. Ini berawal di rumah kontrakanmu, lalu selanjutnya aku sering bermimpi buruk dan berubah menjadi teror nyata hingga menyebabkan aku kecelakaan. Dan selalu saja sosok yang sama yang menghantuiku. Dia seolah mengancamku untuk menjauhimu.” Reiko bungkam. Namun, Abi segera menambahkan, “Aku berusaha jujur, Rei. Jadi, tolong jangan marah, ya?” supaya Reiko tenang. Sementara itu, Reiko tak tahu harus bereaksi apa. Karena ayolah, ia pun mengalami kejadian serupa. Di sekolah, di jalanan, dan di kampus; orang-orang selalu mengatainya menggunakan ilmu hitam, membawa jin, dan sebagainya. Jadi, apa ada sesuatu yang tak kasat mata mengikuti setiap langkahnya? Reiko mendongak dan mengangguk paham. “Jangan khawatir, Bi. Aku mengerti apa yang kamu rasakan,” saat mengatakannya, Abi seolah memasang ekspresi Apa kamu juga mengalami kejadian serupa? yang tentunya Reiko balas dengan anggukan sekali lagi. Bahu Abi merosot. Ia mendesah kecewa. “Kenapa kamu tak mengatakannya sejak awal? Aku bisa membantumu, Rei. Kamu tak perlu menderita sendirian. Kamu ingat, kita teman ‘kan?” 'Oh ya, aku lupa kalau kita cuman sebatas teman.' Reiko memaksakan seulas senyum. Dadanya serasa dihimpit oleh dua batu besar dan itu sangat sakit. Namun, Abi tak bisa terus-menerus diam. Baginya, menyukai seorang Abimanyu Sebastien adalah hal terhebat semasa hidupnya. Tiada yang mampu membuat dadanya berdebar kencang selama ini dan Abi-lah satu-satunya. “Abi, aku sangat berterima kasih karena kamu banyak membantuku. Tetapi, sepertinya ini sudah cukup,” Reiko menggigit bibir bawahnya yang bergetar. “Aku tak bisa membalas semua kebaikanmu. Kuakui ada yang menggangguku di mana-mana, entah itu manusia atau apapun aku tak peduli. Bagiku, manusia-lah yang paling menakutkan. Sementara mereka tak ‘kan melukaiku secara fisik dan mental. Tetapi karena aku kamu jadi seperti ini, kuharap kamu menjauh dariku.” Napas Abi tercekat di tenggorokan. Dicengkeramnya lengan kurus Reiko erat dan bertanya dengan panik. “Apa? Apa maksudmu? Kamu menyuruhku menjauh darimu? B-bagaimana bisa? Kamu kan—“ “Itu karena aku menyukaimu, Abi!” seru Reiko keras. Kedua pipinya kini telah basah karena air mata. Ia bisa melihat Abi sangat terkejut dengan sepasang pupilnya yang membulat. Cengkraman Abi di lengannya pun lepas. Dan ini jauh lebih menyakitkan dibanding tiga gadis-gadis itu sering menyiksanya. “Sepertinya aku suka kamu. Jadi, demi kebaikanmu. Tolong, aku gak ingin jadi orang egois.” Abi memandang Reiko tak percaya. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi, benar-benar tak menyangka bila selama ini Reiko menyimpan perasaan padanya. Hati Abi sedang kacau karena teror mimpi beberapa hari ini dan Reiko makin membingungkannya. Napas Abi memberat, ia tak tahu harus berkata apa. Ia juga tak tahu apakah dirinya mempunyai perasaan yang sama atau tidak. Segalanya masih abstrak dan Abi benci ini. Namun satu hal yang pasti, ia tak sanggup jika Reiko memintanya pergi. Lelah menunggu reaksi Abi, Reiko akhirnya memundurkan tubuhnya selangkah demi selangkah. Diusapnya air mata dengan kasar, mengeratkan pegangannya pada tas ransel, sebelum berlari menjauhi Abi yang hanya terpaku tanpa bisa bersuara apapun. — - — Sekar tak bisa tidur selama satu minggu ini. Setiap malam, ia hanya meringkuk di sudut kasur dengan seluruh tubuh ditutupi selimut. Ia bahkan mengalami sakit kepala yang luar biasa, nafsu makan menurun, hingga ibunya berkali-kali memaksanya pergi ke psikiater. Awalnya Sekar ragu dan terus menolak, namun seiring berjalannya waktu, ia akhirnya menurut. Menurut psikiater, tiada yang salah dengan Sekar. Gadis itu diduga hanya berhalusinasi lantaran lelah dengan tugas kuliah dan semua mahasiswa pasti mengalaminya. Selain itu, psikater juga memberitahu orang tua Sekar untuk berkunjung tiga hari sekali dan sering-sering menanyakan keadaan gadis itu. Karena mungkin Sekar mempunyai masalah pribadi yang tak bisa diceritakan. Sekar mana mungkin mengatakan jika dirinya mengalami teror makhluk halus bukan? Ibu dan ayahnya akan menganggapnya gila dan mengusirnya dari rumah. Tetapi, itulah kenyataannya. Tiap malam, seperti ada sosok yang terus menghantuinya—baik dalam mimpi maupun secara langsung di kehidupan nyata. Terlebih kematian Lila yang tidak wajar manambah beban stressnya. Sekar mengintip di balik selimutnya. Dan saat itu juga, sesuatu yang berat serasa menindih pundaknya. Seperti ada yang duduk di pundaknya dan mengayun-ayunkan kakinya penuh semangat. Lampu di kamar mendadak mati, jendela terbuka dan menampar permukaan dinding dengan keras, dan Sekar dapat mendengar suara dedaunan yang saling bergesekan di luar sana. Beban di pundaknya makin menjadi. Sekar langsung terjatuh dari kasurnya tak kuasa menahan beban tersebut. Ia berlari dengan langkah tertatih di sudut ruangan, memeluk kakinya, dan menyembunyikan wajah di sana. Kamar benar-benar gelap dan suasana di dalam makin mencekam. Bulu kuduk gadis itu meremang, jantungnya berdegup tak karuan, dan tubuhnya gemetaran hebat. Sekar menangis sejadi-jadinya malam itu. Entah pukul berapa sekarang, namun tiada seorang pun yang terbangun dan memeriksa keadaannya. Angin berhembus kencang; seperti ada seseorang yang melesat cepat di depan Sekar dan memainkan lampu dengan iseng. Lampu berdaya tinggi yang menggantung di langit-langit kamar terus berkedip-kedip hingga membuat Sekar makin merinding. Sial, apa ia akan bernasib sama seperti Lila? Mati dalam keadaan mengenaskan? ‘Ya, aku akan membuat kematian terindah untukmu, Sekar Nurmana…’ Sekar berjingkat kaget. Ia langsung bangkit dari posisinya dan mendapati lampu kamarnya terang. Sejenak, ia menghela napas lega. Apakah ini sudah berakhir? Pasti dia hanya berhalusinasi mendengar suara pria tua yang terdengar berbisik kepadanya. Kemudian Sekar berjingkat takut menuju kasur empuknya yang berantakan. Dan seketika Sekar nyaris mendaratkan bokongnya ke permukaan kasur, sebuah bingkai foto di meja dekat pintu tib-tiba melayang dan melesat ke arahnya. Bingkai itu menghantam kepala Sekar dengan keras hingga gadis itu tersungkur ke lantai dengan darah segar menetes-netes dari dahinya. Sekar menyentuh dahinya yang ngilu dan mencium bau anyir yang menusuk hidung. Ia menangis lagi. Rasa sakit yang menjalar di kepalanya tak sebanding dengan banyaknya darah yang mengucur deras dan membuat piyama pandanya berlumuran darah. Karena itu juga, Sekar tak bisa bergerak. Dia merasakan pusing yang teramat sangat dan pandangannya perlahan mengabur. Bingkai foto itu pecah, berceceran di lantai. Saat Sekar memungutnya, tangannya terkena serpihan kaca tersebut dan lagi-lagi mengeluarkan darah. Foto itu adalah foto yang dirinya, Lila, dan Hanum yang diambil saat karya wisata dua tahun lalu. Mereka tampak bahagia, muda, segar, dan bolos. Tiada pertengkaran selama setahun ini hingga Sekar sadar, Lila mulai berubah dan mementingkan popularitasnya di kampus. Sebagai sahabat, tentunya dia dan Hanum mendukung penuh semua kemauan Lila. Lila diketahui menyukai Ben, teman sejurusan mereka. Sayangnya, Ben yang merupakan cowok keren di fakultas itu memang bukan laki-laki yang baik dan hanya memandang wanita dari fisiknya saja. Dan sejak gosip jika Ben menyukai Reiko—gadis pendiam yang sebenarnya tak mempunyai salah apapun pada Sekar—, Lila makin berubah. Sekar sudah mencoba menghentikan pembullyan ini, namun Hanum terus memprovokasi Lila dan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menarik perhatian Ben. Sekar mengetahui niat busuk Hanum dan ia hanya diam saja. Pasalnya, persahabatan mereka yangdipertaruhkan. Jadi, dia hanya diam dan mengikuti semua perintah Lila serta Hanum tanpa bisa berkutik. “Reiko, maafin aku…” bisik Sekar dengan suara bergetar. Darah dalam tubuhnya seolah habis tak bersisa. Ia sadar ajalnya makin dekat karena tubuhnya pun tak lagi mampu bergerak ke mana-mana. Samar-samar Sekar dapat melihat sebuah bayangan hitam tinggi berdiri di dekat pintu kamarnya. Bayangan hitam itu adalah sosok yang berulang kali mengganggunya selama ini. Karena egoisme masa muda mereka dan ketidakberdayaan Sekar sebagai seorang teman, mereka semua akan mati di tangan bayangan itu bukan? “Kamu ingin aku mati ‘kan?” tanya Sekar di tengah-tengah isakan pilunya. Ia menjatuhkan foto ke lantai dan bercampur dengan genangan darah di bawah kakinya. Bayangan itu menyeringai lebar dan entah mengapa Sekar mendengar suara tawa yang bangga atas keputusasaannya. “Biarkan aku sendiri yang mengakhiri ini, tolong.” Dengan itu, Sekar pun menggapai kursi dan syal pemberian Hanum tahun lalu. Ia naik ke atas kursi dan mengikat syal tersebut pada kipas angin di langit-langit kamar dengan membentuk sebuah lingkaran untuk… “Selamat tinggal mama, papa. Tolong sampaikan maafku juga pada Reiko dan kumohon jangan celakai Hanum ya…” Sekar menutup kedua matanya, memasukkan kepalanya pada lingkran syal tersebut, dan menendang kursi. Waktu pun berhenti saat itu juga. ___ Sekar ditemukan tewas bunuh diri di kamarnya dengan sebuah pesan; 'SELAMAT TINGGAL MAMA PAPA' Yang tentunya bukanlah tulisan tangan gadis itu sendiri. To be continued..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN