Kelas hari ini telah berakhir siang itu. Reiko-yang masih memikirkan tentang kejadian ganjil yang dialaminya sejak semalam-mengemasi buku serta alat tulisnya ke dalam tas. Ia menyibakkan rambut panjangnya yang tergerai ke belakang, lantas berjalan keluar kelas ketika semua orang sudah benar-benar pergi.
Gadis itu mengintip dari pintu lantas mendesah lega tanpa sadar. Begitu ia hendak melanjutkan langkah, tiba-tiba seseorang menarik rambutnya dengan kuat hingga gadis itu jatuh terduduk ke belakang.
"Mau kemana lo?" tanya seseorang dari tiga gadis yang berdiri angkuh. Sebelah tangannya yang memegang rambut Reiko lagi-lagi menarik helaian hitam itu sampai sang empu merintih kesakitan. Mereka adalah Lila, Sekar, dan Hanum; tiga gadis kaya yang super sombong dan suka membully Reiko di kampus.
Baru kemarin Lila menangis setelah menamparnya tanpa alasan yang jelas, kali ini apa lagi yang akan diperbuatnya pada Reiko?
Reiko memegangi kepalanya yang berdenyut, menatap ketiga orang itu takut, sebelum Lila menyeretnya ke belakang kantin. Gadis-gadis itu mendorongnya tanpa rasa kasihan. Reiko tak bisa mengeluarkan suara sekalipun bahunya terbentur dinding bangunan.
"Jangan sok cantik ya!" Hanum menendang kaki Reiko keras. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Reiko yang menahan sakit pada kepala dan kaki kanannya.
'Kenapa mereka jahat sekali?'
"Apa salahku?" akhirnya Reiko buka mulut. Suaranya bergetar, dan ia hanya bisa menangis tatkala Hanum mendongakkan wajahnya dengan gerakan kasar. Lehernya mendadak mati rasa.
"Lo tanya ke gue apa salah lo?"
mereka tertawa kencang. "Jangan sok polos deh! Lo tau kan kalo si Ben itu suka sama lo. Dan lo jadi sok keganjenan dengan jual mahal. Apa lo tahu kalau Lila suka sama Ben?" ungkap Hanum kemudian. Sekar yang sedari tadi diam menyaksikan penyiksaan itu pun, ikut bergabung dengan Hanum.
"Aneh. Cewek aneh. Lo kayak kuntilanak, tahu gak? Udah pucat, kurus, rambut panjang! Pakaian lo lusuh dan kenapa sih lo selalu pake baju putih? Uang beasiswa lo buat apa aja emang?"
"Sis, gue heran sama si Ben. Emang apa sih yang dia suka dari cewek ini? Cantik nggak, miskin iya!"
"Ya mending gue dong. Ya gak, Rei?" Lila menyahut ocehan kedua temannya dengan nada sombong. "Bokap gue kaya. Gue paham betul tipikal cewek sok suci kayak lo! Jadi, lo mau duit berapa banyak? Sejuta? Seratus juta? Eh, jangan bilang lo jual diri ke om-om makanya lo kayak-"
"Seperti apa!" teriak Reiko frustasi. Ia meronta-ronta untuk lepas dari kekangan Hanum dan Sekar, namun sia-sia, tubuhnya terlalu ringkih untuk melawan kekuatan dua gadis di sisi kiri dan kanannya. Pipi Reiko telah basah karena air mata, sudut bibir gadis itu mengeluarkan darah karena terlalu lama menggigit bibirnya.
Reiko melotot marah ke arah Lila. "Siapa Ben? Aku bahkan gak tahu siapa dia! Jika memang kau menyukainya, kenapa tidak katakan saja? Kau sudah berbicara sembarangan dengan hidupku! Jual diri? Aku bahkan tak pernah keluar malam!"
"Hooo... " Lila menyeringai. Bibirnya membentuk huruf O, seolah kalimat panjang yang baru didengarnya itu hanyalah sebuah omong kosong. "Lo berani ya sama gue?"
Dalam hitungan detik, Reiko merasakan hembusan angin dingin menerpa tengkuknya. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saat Lila hendak mengayunkan kakinya ke perut Reiko, gadis itu mundur beberapa langkah. Dan dalam waktu yang bersamaan, seorang lelaki jangkung juga muncul di hadapan Reiko.
'Tak mungkin dia mengendalikan udara bukan? Astaga, apa yang terjadi?'
Lelaki asing yang tak pernah ditemuinya itu memaksa Hanum dan Sekar untuk melepas pegangannya pada Reiko. Reiko masih terisak memeluk tubuhnya sendiri yang gemetaran. Bekas kemerahan tampak menghiasi kedua lengan pucatnya.
"Sial! Lo siapa?" tanya Sekar yang didorong oleh lelaki itu. Sorot lelaki itu sarat akan kemarahan. Ia membantu Reiko berdiri dan mendecih kesal di depan tiga gadis itu.
"Gue harus ngenalin diri ya ke kalian.." suara beratnya terdengar dalam dan tajam. Bahkan Reiko sempat melihat Lila yang sok pemberani ini menelan ludah karenanya.
"Mau jadi pahlawan kesiangan ya?" ejek Hanum sambil menjulurkan lidah. "Atau jangan-jangan lo salah satu dari peminat jasanya si Rei? Omong-omong, lo bukan anak jurusan kami. Lo dari jurusan sebelah ya?"
"Bukan urusan lo jelek."
Sontak ketiga gadis itu terperangah mendengar penuturan lelaki tadi. Sebuah seringai muncul di wajahnya yang langsung menyulut api kemarahan mereka. "Ya, gue penikmat jasanya si Rei. Trus lo semua mau apa? Gue sama cowok yang namanya Ben emang suka dia. Dia laku, jadi kalian iri?"
Lila menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, merengut sebal. Kesepuluh jarinya mengepal kuat. Ia sudah maju selangkah, namun Hanum dan Sekar justru menahannya dan menggeleng was-was. "Lo jangan kemakan omongannya dia. Dia jelas cowok b******k," bisik Sekar menenangkan Lila.
Lelaki tadi tersenyum puas. "So? Masih ada urusan?"
"Kita pergi!" berbalik memunggungi si lelaki dan Reiko, Lila akhirnya menarik kedua temannya untuk meninggalkan mereka. Dalam hati, gadis itu berteriak sebal. Jika bukan karena lelaki b******k itu, Reiko pasti sudah tidak selamat.
Reiko menyentuh ujung jaket lelaki itu, berterima kasih. "Terima kasih sudah menolongku."
"Mereka selalu mengganggumu kan?"
Pertanyaan itu sukses membuat Reiko terkejut setengah mati. Bagaimana dia bisa tahu? "O-oh, nggak-"
"Kenapa tidak melawan dan melaporkan pada dosen? Kau juga punya DPA. Jika kau diam saja, yang ada mereka akan terus menindasmu," ucap lelaki itu. Ia sama sekali tidak menghadap Reiko. Namun jelas sekali, lelaki itu pasti marah padanya. "Kau bukan gadis lemah yang suka menangis kan? Kupikir begitu karena saat orang-orang membicarakanmu di lorong, kau tak peduli. Tetapi ternyata, pikiranku salah."
Reiko hendak membalasnya, namun lelaki itu melanjutkan; "Kau sangat rapuh dan butuh perlindungan."
Karena itu, Reiko membeku di tempatnya. Belum sempat ia tanyakan siapa nama lelaki itu, sosok tingginya telah menghilang dari jangkauan Reiko. Diam-diam Reiko tersenyum, menyampaikan rasa terima kasihnya pada angin, dan berharap semoga ia bisa bertemu dengan lelaki itu lagi.
---
"Aku lelah."
Reiko melempar tas kuliahnya ke sembarang tempat lantas merebahkan diri ke kasur. Tanpa sadar, air matanya kembali jatuh mengingat perkataan-perkataan buruk Lila dan teman-temannya tadi;
"Eh, jangan bilang lo jual diri ke om-om makanya lo kayak-"
"Dan lo jadi sok keganjenan dengan jual mahal."
"Jangan sok cantik ya!"
"Ganjen, sok cantik! Aku bahkan tidak melakukan apapun.." bisik Reiko kemudian menelungkupkan wajahnya ke bantal. Isakan tangisnya menggema ke seluruh penjuru kamar. Lalu jendela yang sedari tertutup, mendadak terbuka dan membanting sisi tembok di luar dengan keras. Kelambu juga beterbangan seakan ada angin kencang yang meniupnya.
Reiko tak peduli itu. Yang dipikirannya sekarang adalah bagaimana cara supaya ia bisa terlepas dari jeratan para pem-bully itu selamanya. Apa ia harus mati? Apa ia harus melawan dan melapor ke dosen seperti saran lelaki tadi?
Tangisan Reiko yang memilukan hati makin menjadi. Ia memukul-mukul bantal kesal, menyesali kehidupannya yang tak pernah bahagia sedikitpun. Ibunya masuk rumah sakit jiwa, Ayahnya merupakan seorang kriminal, dan ia yang tak bersalah menjadi bahan cemoohan tetangga sekitar.
Orang-orang selalu mengatainya p*****r, gadis kotor, bahkan melecehkannya. Ia hanya ingin hidup tenang di kota ini. Namun ia lupa, universitas bisa dimasuki siapa saja. Ketika ia menyadari ada seorang teman lama sefakultas dengannya, Reiko berakhir pasrah. Hidupnya tak jauh berbeda seperti dahulu dan justru semakin buruk.
Reiko mengangkat wajahnya sejenak, meraih boneka kesayangannya, dan memeluknya erat. Apa salahnya berkulit putih, mempunyai proporsi tubuh bak model, dan memanjangkan rambut? Ini semua bukan pilihannya. Reiko tak pernah merawat diri. Ia telah menutupi wajahnya dengan rambut panjang seperti hantu, namun apa yang salah sekarang?
"Beritahu aku, apa dosaku?" tanya Reiko sembari membelai boneka yang selalu menemaninya itu. Tiba-tiba Reiko bangkit, merasakan sepasang mata memperhatikannya dari sudut kamar, lantas menggeleng kuat. Bukan, ini bukan apa-apa. Ini masih sore dan tak mungkin ada setan. Toh, mereka juga ada di mana-mana dan tak mungkin berbuat hal tak senonoh padanya.
"Setidaknya kalian tidak berbuat jahat seperti mereka..." gumam Reiko sedih sambil menyeka air matanya kasar. Ia mengedikkan bahu dan mengacak-acak rambut panjangnya. Sesaat menatap pantulan dirinya di cermin. Bulu kuduknya meremang dan buru-buru ia mengucek matanya ketika menyadari ada suatu bayangan yang sekilas lewat di belakangnya.
'Apa? Apa itu?' tanya Reiko dalam hati. Namun lagi-lagi, ia berusaha mengabaikannya. Pikirannya jenuh dan seharusnya ia membeli beberapa makanan untuk makan malam. Memangnya apa lagi yang Reiko harapkan? Seseoang yang perhatian padanya?
Bayangan yang biasa selalu menemani Reiko kali ini tak ingin menampakkan dirinya. Ia tak bisa membantu apapun dan hanya diam. Namun, lihat saja nanti, pembalasan pasti akan selalu ada dan dia akan menghukum siapapun yang berani merusak miliknya.
Reiko tertawa kecil lantas memeluk boneka itu lagi. Ia ingin tidur dan melupakan segala hal yang terjadi hari ini. Ia mengangkat kakinya yang sakit kemudian menidurkan tubuh kurusnya yang seakan ingin lepas dari persendian. Tak lama kemudian Reiko telah terlelap.
Bayangan hitam yang awalnya berdiri di sudut ruangan perlahan mendekati Reiko dan memeluknya. Ingin sekali ia menyentuh gadis itu dan membawanya ke rengkuhan hangatnya. Namun apa daya, ia hanyalah sebuah bayangan tak kasat mata.
Bayangan itu masuk ke dalam seonggok boneka yang Reiko peluk seperti biasa. Boneka itu langsung berdetak dan menimbulkan sensasi hangat di d**a Reiko. Lengan boneka itu juga perlahan melingkari pinggang Reiko dan menariknya erat; seolah tak membiarkan siapapun menganggu tidur lelap nona cantiknya.
Reiko tersenyum di dalam tidurnya. Ia menggerak-gerakkan kepala untuk mencari kenyamanan. Boneka itu tersenyum bangga dan menepuk-nepuk punggung Reiko. Ia berbisik, suaranya yang menyeramkan memenuhi udara di kamar Reiko yang terasa mencekam;
'Tidurlah yang nyenyak sayang... aku akan menemanimu sampai kau terbangun dari mimpi indahku. Reiko, sayangku.'
To be Continue...