Setelah insiden beberapa saat yang lalu, Reiko akhirnya memutuskan untuk berlari. Tak ia pedulikan lagi jalanan malam yang cukup ramai dengan lalu lalang kendaraan yang ada di sekitarnya. Ia terus berjalan sambil menundukkan kepalanya. Terkadang bahkan Reiko menabrak salah seorang pengguna jalan yang lain yang otomatis membuatnya terkena amarah.
Sepasang kaki kurusnya terus-terusan melangkah dengan cepat. Jarak antara kontrakan Reiko dengan kampusnya memang tidak terlalu jauh. Paling hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit berjalan kaki, dia akan sampai di kontrakan yang disewanya.
Setelah jalanan agak sepi, Reiko mulai memelankan langkahnya sambil memeluk erat tas selempangnya di depan d**a. Gang sempit yang dilaluinya saat ini memang tergolong cukup sepi, hanya terdapat beberapa rumah yang ketika Reiko melewatinya selalu tertutup rapat. Reiko bahkan sempat berpikir bahwa rumah ini mungkin kosong karena hampir tidak pernah melihat seseorang yang ada di rumah itu.
Reiko kembali berjalan tanpa memperhatikan sekelilingnya lagi. Ketika di tengah berjalan, sempat tercium aroma bunga yang cukup semerbak. Tapi lagi-lagi hanya dihiraukan oleh gadis itu. Bagi Reiko makhluk tak kasat mata seperti mereka tidak jauh lebih menyeramkan dibandingkan dengan para manusia-manusia pendosa di sekelilingnya.
Para manusia hanya mementingkan ego mereka dan cenderung akan melakukan apa pun untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Setan saja tidak bisa membunuh sesama mereka atau manusia, tetapi manusia sendiri dengan begitu arogannya mampu membunuh sesamanya.
Manusia lebih kejam dari iblis. Mungkin mereka dikaruniai sebuah otak untuk bisa berpikir, tapi tak jarang mereka bertingkah lebih menjijikkan dari para iblis itu sendiri.
Reiko telah tiba di depan kontrakannya. Dia membuka gerbang pagarnya hingga menimbulkan suara berderik yang cukup menggangu karena termakan usia dan karat. Setelah menutup kembali gerbangnya, Reiko tanpa ragu berjalan ke pintu kontrakannya yang terkunci.
Suasana remang tak menyulitkan tangan gesit gadis itu yang tengah mencari kunci kontrakan dalam tasnya. Dengan pelan suara kunci yang diputar mengiringi suara derit pintu kayu jati yang tampak masih kokoh.
Gadis itu meraba-raba tembok di depannya guna mencari jalan agak tidak menabrak kursi atau meja di dalamnya. Setelah beberapa saat meraba-raba dinding, sejenak Reiko merasa heran karena dia seperti memegang sesuatu yang hangat dan berbulu.
SETTT
Tengkuk gadis itu berdesir begitu sebuah terpaan angin yang cukup kencang meremangkan lehernya. Reiko berbalik dan tidak mendapati apa pun. Hanya suasana gelap dengan suara jangkrik yang memenuhi kontrakannya.
Ctak!
Lampu dalam kontrakan Reiko telah menyala, dia memandang lagi ke sekelilingnya dan kembali tidak mendapati siapa pun di dalamnya terkecuali dirinya sendiri.
Gadis itu tak mau ambil pusing. Setelah menutup pintu kontrakannya dan memastikan seluruh akses untuk keluar telah tertutup rapat, Reiko punmenutup kelambu kontrakannya karena dia cukup tahu diri bahwa tidak akan ada siapa pun yang datang ke kontrakannya.
Beruntung, Reiko mendapatkan sebuah kontrakan yang letaknya berada tak jauh dari kampusnya. Sehingga gadis itu tidak perlu repot-repot menaiki sepeda atau memesan go-jek untuk mengantarnya pulang pergi ke kampus. Biaya yang harus dibayarnya dalam waktu satu tahun juga tergolong murah untuk ukuran rumah kontrakan dengan letak strategis seperti ini. Namun sekali lagi, Reiko tak mau ambil pusing. Dia tidak mau bersusah payah mencari kontrakan lain meskipun banyak rumor buruk yang beredar mengenai rumah kontrakan ini.
Sesampainya di kamar, Reiko pergi ke kamar mandi untuk berganti baju dan mencuci muka. Perlahan Gadis itu melepas satu persatu helai pakaian yang melekat di tubuhnya hingga menyisakan celana dalam. Gadis itu menyeka pelan tubuhnya yang sangat lengket setelah seharian berada di kampus, juga karena kejadian beberapa saat yang lalu.
Selesai menyeka tubunya dari keringat, entah hanya firasatnya atau bukan tiba-tiba lampu kamar mandinya meredup. Namun lagi-lagi Reiko tak mempermasalahkan hal itu. Gadis itu telah terbiasa dengan hal-hal seperti ini dalam hidupnya. Bagi Reiko selagi mereka tidak mengganggu, maka dia tidak keberatan.
Bahkan sempat terbersit dalam benak gadis itu kalau dia mungkin lebih baik berteman dengan 'mereka' yang tidak akan menyakitinya. Ketimbang harus berteman dengan manusia bermuka dua seperti orang-orang munafik itu.
Ketika hendak mamakai kembali bajunya, entah mengapa tubuh gadis itu membeku untuk sesaat. Reiko merasakan sesuatu yang seolah mencoba mengendalikan tubuhnya. Bulu halus di sekitar pusarnya mendadak berdiri ketika merasakan sesuatu yang dingin seperti tengah menyelimuti perutnya saat ini.
Reiko menahan napasnya sesaat. Ia baru bisa kembali bernapas lega ketika ketegangan yang dirasakannya tadi telah menghilang. Selesai berganti baju, Reiko pergi ke arah dapur. Kondisi dapurnya dalam keadaan remang-remang karena dia lupa menyalakan lampunya. Toh, gadis itu juga hanya berniat untuk mengambil segelas air minum sebelum tidur nantinya.
Suara gemericik air yang keluar dari dispenser memenuhi seisi ruangan. Reiko dengan tenang meminum gelasnya hingga tandas dan kembali mengisi penuh gelasnya untuk dia bawa ke kamar; berjaga-jaga jika seandainya pada tengah malam dia terbangun dan merasa haus, namun malas pergi ke dapur.
Reiko tetap fokus pada suara gemericik air dalam gelasnya yang mengeluarkan air sedikit demi sedikit itu. Kali ini perasaan aneh itu kembali hadir. Gadis itu memang tidak pernah takut, tetapi efek eurofia yang dia rasakan tiap kali kejadian seperti ini mampir, belum juga membuat Reiko terbiasa.
Reiko memejamkan mata lagi. Suara desisan pelan itu mengiringinya dengan ringan, namun dalam, dan penuh makna terselubung.
'Reiko...'
Napas gadis itu tercekat, untuk sesaat ia seakan lupa bagaimana caranya bernapas dengan normal.
WUSHHH
Ujung rambutnya bergerak pelan seolah tertiup angin, meskipun tidak ada kipas angin dan seluruh ruangan dalam kontrakannya sudah dia tutup rapat. Napas gadis itu memburu.
Suara gemericik air dispenser yang telah penuh bahkan sampai tumpah ke atas lantai karena Reiko belum mematikan dispenser yang masih mengalirkan air tersebut. Setelahnya Reiko membiarkan genangan air di lantai dapurnya dan segera bergegas kembali ke kamar dengan dag-dig-dug. Telapak kakinya yang telanjang terasa dingin ketika beradu dengan lantai berkeramik putih yang mulai usang termakan usia.
BRAKKK!!!!!!!
Membanting pintu kamarnya dengan cukup kuat, Reiko tak lagi mempedulikan hal itu. Reiko yang sedari tadi menahan napasnya, langsung merosot di depan kasur. Napasnya masih tak karuan lantaran adrenalinnya yang berpacu kencang. Reiko tidak pernah siap dengan semua ini, seolah di dunia ini tiada satu tempat pun yang bisa dijadikannya sebagai tempat berlindung. Tempat yang bisa memberikan kenyamanan untuk pulang.
Gadis itu menelungkupkan wajahnya ke dalam lipatan kakinya yang menekuk ke atas. Rambut panjangnya terjulur menutupi sebagian tubuhnya yang meringkuk ketakutan.
Suara napas pendek gadis tersebut sayup-sayup mulai terdengar teratur dalam tidurnya. Tanpa disadarinya setetes air mata telah jatuh membasahi lantai kamar yang dingin.
Tak jauh dari posisi Reiko yang tengah meringkuk, sosok dalam bayangan hitam tersebut bergerak dengan cepat mengelilingi gadis itu. Sosok tersebut terbalut dalam bayangan hitam yang menyertainya. Pelan, tapi pasti. Melangkah mendekat dengan penuh perhitungan.
Sosok tersebut kini berjongkok di samping tubuh Reiko. Gigi taringnya yang lancip dan panjang tampak menyeringai penuh kepuasan melihat milik Reiko yang menunjukkan suatu kekecewaan yang mendalam; meringkuk dan membutuhkan pelukan kehangatan.
Dia, tanpa sepengetahuan gadis , telah membawa gadis tersebut dalam dekapannya, menyelimuti Reiko dalam kegelapan, dan menidurkannya di atas ranjang. Sebuah boneka besar seukuran tubuh manusia di atas ranjangnya secara otomatis merengkuh tubuh mungil gadis itu dalam dekap hangat pelukan. Menenggelamkan kepala Reiko dalam detak jantung sebuah boneka tanpa nyawa.
Merasa mendapat kehangatan yang dicarinya, Reiko pun semakin mengeratkan pelukannya pada sosok boneka dalam tidurnya. Sejenak melupakan semua masalahnya dalam kedamaian buaian mimpi indah yang menyesatkannya.
'Kau milikku!'
_
Sinar matahari yang menyelinap melalui celah kelambu di pagi hari sedikit mengusik tidur nyenyak Reiko. Dinginnya udara pagi justru membuat Reiko semakin enggan terbangun dari tidurnya, apa lagi seingat Reiko hari ini jadwal mata kuliahnya masih agak siangan. Membuat Reiko memilih untuk tertidur lebih lama lagi, masih dengan memeluk bonekanya erat.
Setelah beberapa saat, Reiko kembali terlelap. Namun sejam kemudian ia baru benar-benar terbangun meskipun masih enggan. Mengerjapkan kedua matanya dengan malas, Reiko tampak tidak menyadari satu hal. Gadis itu kemudian bergegas bangun dari tidurnya dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, sekaligus memasak mie instan karena cacing-cacing di perutnya sudah berdemo untuk makan. Sungguh, semalam ia benar-benar belum melahap sesuap nasipun.
Saat sampai di dapur, dengan cekatan Reiko menyalakan kompor untuk memanaskan air yang akan dipakainya untuk merebus mie. Namun saat gadis tersebut melihat ke arah dispenser, dia dibuat bingung saat tidak mendapati sisa genangan air yang seingat Reiko semalam ditumpahkannya karena kejadian itu.
Merasa tak yakin dengan penglihatannya, Reiko kini berjalan mendekat ke arah dispenser tersebut untuk memastikannya. Hasilnya tetap sama, sama sekali tidak ada genangan air yang membasahi lantai dapurnya saat ini. Tak ingin ambil pusing, Reiko hanya bisa mengabaikan kejadian ganjil yang menimpanya di pagi hari.
Selesai dengan acara memasak mie-nya, kini Reiko kembali dan berniat makan di dalam kamar. Namun sekali lagi kesadaran seakan menohoknya untuk kedua kalinya. Reiko baru teringat bahwa semalam dia tertidur di bawah kasurnya ketika tengah menelungkupkan wajahnya pada kedua kakinya.
Lantas gadis itu dibuat bertanya-tanya saat mendapati dirinya terbangun dengan di atas ranjang sambil memeluk bonekanya.
"Apa semalam aku ngelindur, lalu terbangun dan pindah tidur di atas kasur?"
Berbagai pertanyaan mulai berspekulasi dalam benak Reiko, semua ini terlalu ganjil untuk bisa diterima dengan akal sehat manusia. Namun Reiko kembali mengendikkan bahunya tak peduli dan mulai memakan mienya dengan lahap.
Siapa pun yang memindahkannya, Reiko tak ingin peduli. Asal tidak menyakitinya, sekali lagi Reiko tidak keberatan.
Seolah dapat mendengar isi hati yang diucapkan Reiko, embusan kencang pada kelambu yang masih belum dibuka oleh Reiko tampak melambai-lambai seakan tertiup angin. Sementara itu, di luar sama sekali tidak ada angin atau pun hujan yang dapat menyebabkan kelambu bergerak dengan begitu kencangnya.
To be Continued...