Barangkali, setelah semalam menghabiskan waktu dengan Sona hanya berduaan saja, membuat hati Panca yang semula dingin—bak es batu—pada perempuan itu jadi sedikit mencari. Dia yang semula tak pernah berpikir apa-apa tentang Sona, bahkan terpikir untuk memberikan afeksi—perhatian—pada gadis itu pun tidak. Namun, hari itu berbeda. Jelas berbeda, sebab barangkali otak Panca sudah tercuci atau baru saja diberi kucuran siraman rohani sehingga dirinya mampu berpikir jernih pagi itu. Dengan mata memerah dan emosi yang memuncak hingga ubun-ubun kepala, Panca dorong kursi makan yang ditempatinya agar ia bisa segera menghampiri Ratih dan menghentikan aksinya. “Ratih! Apa-apaan kamu, hah?!” bentak Panca pada istrinya. Sungguh, tak pernah sekali pun dalam benak Ratih bahwa Panca akan membentaknya se