2

1094 Kata
Andika Bramantyo, Lelaki tampan yang akrab dipanggil Dika ini memang sudah lulus dari program magister akuntansi. Ia kini mengabdi menjadi seorang dosen muda di salah satu kampus ternama di kota itu. Lusa ia akan mulai mengajar di Fakultas Ekonomi prodi akuntansi di Kampus Orion. Hari ini ia tetap ke Kampus untuk mengambil jadwal mengajar dan mengisi ruang kerjanya. "Anak Mama sudah besar ya," ucap Meta pada putra bungsunya. Dika mengangkat wajahnya dan mengangguk-anggukan kepalanya pelan. Pikirannya sedang tidak ada di rumah tapi di Vila tempat terjadinya hubungan terlarang di malam itu. Bisa -bisanya malam itu terjadi. Kalau ada yang lihat bisa bubar jalan karirnya. Belum lagi jika Handoko, Papa Dika tahu soal ini. Bisa hancur dunia persilatan. "Dika? Kamu kenapa sih? Akhir -akhir ini, Mama lihat kamu lebih diam dan murung," ucap Meta pelan melihat putranya yang berbeda dari biasanya. "Gak ada Ma. Dika udah selesai sarapan. Dika pergi ya, Ma," ucap Dika dengan cepat lalu pergi setelah mencium punggung tangan sang Mama dan kening wanita paruh baya itu. "Hati -hati Dika. Oh ya ... Dika!!" panggil Meta keras. Dika menoleh ke belakang dan mengangkat alisnya satu. "Kenapa Ma?" tanya Dika. "Kamu masih punya hutang cerita sama Mama," ucap Meta begitu jelas dan tegas menatap tajam putra bungsunya. Dika hanya mengangguk lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju ke arah halaman depan. Dika segera masuk ke dalam mobil sedan miliknya. Mobil yang mulai menua usianya namun tetap menjadi pendamping setia Dika dikala suntuk. Acara perpisahan SMA Patriot sudah selesai. Berkas -berkas kelulusan juga sudah diberikan kemarin. Rainy yang lebih suka dipanggil Rain itu mulai memisahkan beberapa berkas untuk pendaftaran ke Kampus idamannya selama ini. Kampus Orion. Rain mulai memasukkan semua berkas yang diperlukan ke dalam tas ranselnya. Ia merapikan semuanya agar tidak ada yang tertinggal. "Pagi Papa ... Bunda ... " ucap Rainy begitu ceria sambil menghampiri kedua orang tuanya dan di cium kedua pipi mereka secara bergantian. "Pagi sayang. Gimana? Jadi daftar ke Kampus Orion?" tanya Hendi memastikan. "Jadi dong, Pa," jawab Rain begitu lembuta dan mulai mengambil setangkup roti isi selai cokelat buatan Reni, Bundanya. "Rain ... Kamu bareng Papa ya?" titah Reni pada putrinya yang kini sudah mulai besar. Rain menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Rain mau naik busway aja. Lebih seru kayaknya." "Rain ... Ini kota besar. Kamu gak bisa pergi sendirian naik angkutan umum. Itu sangat berbahaya buat anak perempuan," jelas Reni mulai posesif. "Biarin Bun. Rain harus belajar. Kalau apa -apa dilarang nanti ada juga gak berkembang," ucap Hendi yang begitu bijak. "Tuh Bun. Bener kata Papa. Rain ini sudah besar. Udah delapan belas tahun. Bukan anak TK yang masih berumur lima tahun. Udah punya KTP juga," ucap Rain begitu terlihat tak ingin dibuntuti seperti anak kecil. "Oke. Bunda bakal percaya sama kamu. Kalau sampai kamu kenapa-kenapa. Bunda bakal angkat tangan atau Bunda masukin tuh ke asrama putri. Biar hidup kamu lebih baik," jelas Reni pada putri semata wayangnya. "Papa setuju dengan keputusan Bunda. Karena kamu sudah berusia delapan belas tahun dan mau kuliah. Papa bakal bebasin kamu. Tapi tetap naik angkutan umum. Papa gak bakal kasih kamu motor atau mobil. Belum waktunya," jelas Hendi pada putrinya. "Beliin laptop Pa. Rain pasti butuh," pinta Rain manja. "Kalau menunjang belajar kamu. Papa pasti belikan. Kapan kamu mau beli? Atau kita pergi bareng?" usul Papa pada putrinya. "Wah setuju banget. Malam minggu ya, Pa?" pinta Rain lagi. "Boleh. Papa mau dandan yang gaul biar gak kalah kece sama kamu. Bunda mau ikut?" tawar Henfi pada istrinya. "Bunda udah janji mau datang pengajian. Kalian jemput Bunda aja pulangnya ya?" pinta Reni pada suaminya. "Siap sayang. Oke, Papa mau berangkat dulu. Kamu mau ikut sampai depan, Rain?" tanya Hendi. "Boleh deh. Sampai terminal busway. Bunda, Rain pergi dulu ya," pamit Rain yabg sudah berdiri sambil meneguk s**u putihnya hingga ludes tak bersisa. "Rain .. Kalau makan dan minum itu harus ...." Ucapan belum selesai sudah di sela oleh Rain. Putrinya itu memang sejak dulu begitu. Agak sulit di kasih tahu. "Iya Bunda ... Ini terpaksa. Bunda mau bilang harus duduk kan? Rain pergi dulu Bunda. Bye," pamit Rain langsung pergi begitu saja setelah mencium punggung tangan dan pipi Reni. Rain dan Hendi sudah berada dimobil. Keduanya saling bercanda dan mengobrol. Bagi Rain, Hendi adalah Papa yang hebat dan selalu tahu keinginan Rain sebagai anak muda. "Rain boleh ikut nonton konser sheila on seven gak, Pa?" tanya Rain ragu. "Nonton konsernya dimana?" tanya Hendi serius sambil menoleh ke arah Rain. "Di Yogya Pa. Masih dua bulan lagi sih. Tapi kalau boleh kan, mau pesen tiket konsernya dari sekarang," ucap Rain penuh harap menatap sang Papa yang mulai tak fokus menyetir. "Yogya itu jauh, Rain. Kita juga gak punya saudara di Yogya," ucap Hendi menjelaskan. Terasa sulit memberikan ijin untuk kali ini. Rain cuma diam dan tak merespon ucapan Papanya. "Memang mau nonton sama siapa? Wisnu? Dona?" tanya Hendi lagi mulai penasaran. "Sama Dona, Pa. Gak sama Wisnu," jawab Rain cepat. "Kamu masih hubungan sama Wisnu?" tanya Hendi lagi. "Udah enggak Pa," jawab Rain jujur. "Oh ... Baguslah," ucap Hendi spontan. Rain menoleh ke arah Papanya dengan tatapan bingung. "Maksud Papa apa ya?" tanya Rain bingung. "Gak apa -apa. Pantes aja, akhir-akhir ini gak pernah lihat Wisnu jemput kamu ke rumah," jelas Hendi terkekeh. Rain hanya melengos dan bersiap untuk turun. Hendi pun meminggirkan mobilnya ke dekat trotoar pejalan kaki. "Pa ... Minta uang dong. Uang bulanan Rain udah habis. Ini belum foto kopi atau ada bayar pendaftara atau ini itu. Emang gak kasihan?" tanya Rain mengeluh pada Papanya. "Nanti Papa transfer kalau sudah sampai di kantor," ucap Hendi pada putrinya. "Oke. Makasih ya Pa," jawab Rain sambil memeluk Hendi dengan manja. Memang begjtu Rain pada Hendi. Selalu bersikap manja dan kekanak -kanakan. Rain berjalan menuju halte busway dan mencari bis tujuan Kampus yang akan menjadi tempat menimba ilmu selanjutnya. Sesampai di depan Kampus Orion yang terkenal itu. Langkah kaki Rain semakin mantap. Ia bedoa di dalam hati, agar bisa masuk di Fakultas Ekonomi jurusan manajemen. Hendi memang menyuruh putrinya untuk ambil jurusan itu agar Rain bisa bergabung di Perusahaan Papanya. Tin! Tin! Sebuah mobil sedan merah menekan klakson beberapa kali setelah berbelok memasuki halaman kampus. Rain begitu terkejut langsung melompat kenarah kiri dan menatap kesal pada mobil itu yang lergi begitu saja. "Woy! Beraninya main klakson!" teriak Rain keras. Mobil itu langsung parkir di dekat taman dan Dika keluar dari mobilnya menatap gadis aneh yang sejak tadi malah bersikap norak di depan Kampus. Tatapan Dika tertuju pada Rain yang masih berjalan santai menuju lobby sambil sibuk memainkan kamera ponselnya. "Dia?" ucap Dika di dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN