“So, I love you because the entire universe conspired to help me find you." — Paulo Coelho, The Alchemist
-Prince of Sivillia-
"Apa ini?"
Shereen menerima sebuah buku yang disodorkan oleh Pangeran Reenan, semacam buku diary lah. Gadis itu membolak balikan sampulnya. Kosong melompong, "Pangeran memberikan buku ini untuk saya? Tapi, untuk apa?" percuma, Shereen sudah mulai terbiasa dengan kebisuan pangeran Reenan jadi tidak kaget lagi kalau pria itu tidak menjawab pertanyaannya.
Meski masih saja kesal dengan kebiasaan pangeran Reenan satu itu. Gadis yang sedari tadi duduk sembari menyelesaikan makan malamnya itu berhenti sejenak. "Apa saya bisa menuliskan sesuatu di buku ini, Pangeran?"
Barulah Pangeran Reenan mengangguk.
Sedari sore pria itu mendekam di kamar Shereen, jangan berpikir macam-macam, Pangeran Reenan hanya ingin menjaga gadis itu saja, lagipula dia butuh suasana yang berbeda agar tidak suntuk dalam mengerjakan sebuah tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang Pangeran.
Mengurusi beberapa sengketa pembagian wilayah, mengatur roda ekonomi di kerajaan hingga membuat laporan yang harus disetorkan kepada Pemerintahan setiap satu bulan sekali. Bukan hanya itu, mulai sekarang Pangeran Reenan juga harus memikirkan untuk masuk ke Sekolah Militer lantaran umurnya sudah melebihi 20 tahun. Batas maksimal pria masuk sekolah militer adalah 25 tahun.
"Habiskan makan malammu dan segera minum obat" meski mulutnya bersuara tapi atensi pangeran Reenan masih fokus pada layar Ipad nya.
"Sudah selesai sedari tadi, pangeran. Pangeran terlalu sibuk, jadi tidak memperhatikan kegiatan saya"
"Maaf."
"Untuk apa?"
"Karena tidak memperhatikan putri."
Blush!
Shereen tersipu malu, entah kenapa. Tapi acara tersipunya tak bertahan lama setelah dia mengingat sesuatu hal yang seharusnya sudah dia tanyakan sedari tadi. Shereen memangkas jarak antara dia dan Pangeran Reenan membuat kegiatan pria itu terhenti, dia menoleh menatap Shereen yang selalu saja sengaja memposisikan dirinya terlalu dekat seperti ini.
Bukan nya apa-apa, jantung Pangeran ini loh yang jadi taruhannya, ritmenya semakin cepat saat netra pangeran Reenan bertabrakan dengan netra almond milik Shereen. "Pangeran, kapan saya bisa pulang ke Indonesia?" tanya gadis itu, menjauhkan sedikit tubuhnya,"Saya punya pekerjaan, sekolah dan juga teman-teman yang saya tinggalkan disana"
Pertanyaan gadis yang ada disamping nya itu membutuhkan jawaban yang panjang, sedangkan Pangeran sepertinya tengah enggan untuk berbicara panjang lebar. Dia putar otak, netra nya menjelajah lantas tak sengaja menemukan kertas kosong yang terjatuh di samping meja, Pangeran Reenan memungut kertas tersebut, lantas menuliskan sesuatu hal disana.
"Saya sudah membicarakan semua itu dengan,Ayah, tunggu saja keputusannya dan jangan khawatir. Mungkin kau bisa pulang setelah kau sembuh, putri"
Desahan meluncur begitu saja dari bibir tipis Shereen, kalau Pangeran meminta dia untuk tinggal disini sampai dia benar-benar sembuh itu artinya dia akan tinggal disini selama sisa umurnya karena Shereen yakin kalau umurnya tidak akan lama lagi dan dia tidak akan sembuh. "Pangeran tidak tau penyakit apa yang sedang saya derita, dari pada membuang waktu dan merepotkan pangeran Reenan, maka biarkan saya pulang ke Indonesia untuk melanjutkan kehidupan saya disana"
"Saya memang tidak tau, apa putri mau memberitahu?"
Shereen membaca tulisan di kertas itu, lantas menatap Pangeran Reenan dengan intens "Tidak."
"Kalau begitu, saya juga tidak akan pernah memberikan izin pada putri untuk pulang ke Indonesia"
Netra almond itu melotot tak percaya dengan apa yang baru saja di tulisan oleh Pangeran Reenan "Pangeran!"
Pria itu berdiri, lantas melenggang pergi dengan santai, hari sudah terlalu malam dan Shereen butuh istirahat. Gadis yang saat ini memakai dress putih polos itu hendak mengejar, namun langkahnya tertahan oleh kedua pelayan yang sedari tadi menjaga didepan pintu. Shereen kembali masuk ke dalam kamar dengan perasaan dongkol.
Oh iya, untuk hukuman yang akan diterima oleh pangeran akan diputuskan besok oleh Raja Antena. Pangeran juga sudah siap apapun hukuman yang akan diberikan oleh sang Ayah, dia tau kalau apa yang tadi pagi dia lakukan itu salah, dan benar apa kata Raja kalau Pangeran sudah banyak melakukan pelanggaran. Jelas itu bukan cerminan sikap seorang Pangeran.
(^_^)(^_^)
Indonesia.
Reyhan hanya bisa menatap gadis yang ada di depannya dalam diam, tak ada yang bisa dia lakukan saat ini. Hari sudah mulai sore, tapi mereka berdua masih setia duduk di halte bus depan sekolah. Sebenarnya, Reyhan bisa saja meninggalkan gadis itu sendiri, tapi entah kenapa hati dan pikirannya menyuruh dia untuk menemani si gadis.
Tatapan kosong, wajah sedih, dan rambut berantakan membuat kondisi si gadis terlihat begitu memprihatinkan. Dia kehilangan sahabatnya. Sudah dua hari Shereen menghilang dan Kinan jadi kacau seperti ini.
"Kin" panggil Reyhan pelan, gadis itu tak menoleh sama sekali, entah karena tidak dengar atau karena dia sengaja tidak mendengar. "Pulang yuk, kamu udah disini 2 jam. Nanti Mama kamu nyariin lagi"
"Aku mau Shereen" jawab Kinan lempeng.
Helaan nafas terdengar, Reyhan memangkas jarak antara dia dan Kinan. Tangan kokoh nya memegang kedua bahu Kinan membuat gadis itu mau tak mau sekarang berhadapan langsung dengannya, netra mereka berdua saling bertemu. Angin sore menerbangkan helai rambut panjang Kinan, "Kita cari Shereen besok lagi, sekarang aku anterin kamu pulang"
"Shereen nggak punya siapa-siapa disini, Rey. Dia cuma punya aku, dan sekarang dia menghilang begitu aja. Aku khawatir banget sama dia"
"Bukan cuma kamu yang khawatir, Kinan, tapi aku juga. Janji, besok kita cari Shereen lagi"
Kinan akhirnya luluh pada deep voice itu, dia bangkit dari posisinya disusul Reyhan yang langsung membukakan pintu mobil untuk gadis lemah tersebut. Kendaraan roda empat itu meluncur ke jalanan, di dalam mobil tak ada yang berniat membuka suara sama sekali.
Hubungan mereka tidak sedekat yang kalian bayangkan, Kinan masih membenci Reyhan karena cowok itu pernah melukai Shereen, tapi karena kondisinya seperti ini, jadi dia melupakan sejenak rasa benci itu karena yang Kinan punya sekarang hanya Reyhan untuk membantu mencari dimana Shereen berada.
Perjalanan mereka hanya membutuhkan waktu tiga puluh lima menit, mobil hitam memasuki kawasan perumahan yang cukup elit. Reyhan yakin kalau gadis yang tengah berada disampingnya itu berasal dari keluarga yang berada. Kendaraan milik Reyhan berhenti tepat di depan gerbang rumah yang didominasi oleh warna monokrom itu.
"Udah sampe." kata Reyhan tanpa menoleh ke arah Kinan.
Tak ada jawaban, dia menoleh dan mendapati gadis itu tertidur pulas.
Reyhan menatap wajah terlelap Kinan, cantik dan manis. Entah mendapat dorongan dari mana tangan Reyhan tergerak untuk menyelipkan helai rambut yang menutupi sebagian wajah gadis itu, sekarang wajah Kinan bisa dia lihat sepenuhnya. Bulu mata yang lentik menghiasi netra sipitnya, alis yang tidak terlalu tebal, hidung kecil, tidak mancung dan tidak pula pesek, pas, serta bibir tipis itu. Reyhan mendekatkan wajahnya untuk melihat lebih detail ukiran tuhan yang selama ini tidak dia sadari visualnya.
"Kinan" bisik Reyhan di telinga gadis itu, "Aku baru sadar kalau kamu secantik ini, tapi sayang kamu nggak lemah lembut seperti Shereen. Apalagi kamu galak dan benci sama aku"
"Aku bakalan lebih benci kalau kamu nggak segera menjauh dari wajahku."
Cowok itu segera menjauhkan wajahnya saat Kinan membuka mata, tatapan gadis itu menajam membuat Reyhan salah tingkah. Dia berdehem, mencoba mengusir rasa kaget serta gugupnya. "Em, ta-tadi aku cuma mau bangunin kamu."
"Alesan."
Jemari Kinan melepas seatbelt yang membelit tubuhnya, sebelum turun dia menyempatkan diri menoleh ke arah Reyhan sejenak, "Thanks." gadis itu keluar dari mobil, lantas masuk ke dalam rumah. Reyhan masih setia ditempatnya, sepertinya ada yang dengan organ tubuh dia. Kenapa mendadak jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya?
Hanya karena Kinan? Tidak mungkin!
-Prince of Sivillia-
Sivillia.
Shereen terbangun tengah malam, badannya menggigil kedinginan. Netra Shereen menatap AC yang mati, lantas kenapa gadis itu merasa begitu kedinginan malam ini? Menarik selimut tebal hingga menutupi wajahnya, tapi tetap saja rasanya masih begitu dingin hingga menusuk ke tulang. Tapi anehnya, dia merasakan keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya, Shereen menggeliat tak nyaman diatas ranjang besarnya.
Menyibak selimut, Shereen meraih tisu yang ada di nangkas, lantas mengelap keringatnya. Gadis itu bangun dari posisi tidurnya, melangkahkan kaki menuju kamar mandi, mungkin mencuci muka sebentar akan membuatnya lebih segar.
Menyalakan keran air, saat hendak membasuh wajah netra almond cantik itu tak sengaja menatap cairan kental berwarna merah yang perlahan keluar dari hidung kecilnya. Shereen tak langsung mengusap cairan kental bernama darah tersebut, dia membiarkannya, toh kejadian ini sudah tidak asing untuknya. Belum lima menit, tubuh Shereen serasa ingin limbung, kepalanya berputar-putar pusing.
Shereen menopang tubuhnya pada wastafel kamar mandi. "Bunda.." gumam gadis itu lirih sekaligus lemah. Dadanya nyeri sekarang, ah, Shereen memejamkan mata erat-erat, berharap dengan begitu rasa sakitnya akan menghilang, meski dia tau itu mustahil terjadi.
Dengan sekuat tenaga Shereen kembali mendongak dan mencoba mendapatkan kendali atas dirinya sendiri. Shereen segera membersihkan darah tersebut, meski tau cairan itu tidak akan mudah untuk dihentikan. "Shereen.."
Kegiatan Shereen terhenti saat suara sehalus sutra itu memasuki indera pendengarannya. "Bunda.." bulu kuduk Shereen meremang saat melihat sosok yang berdiri dibelakangnya.
Ya, Shereen melihat Bunda tengah menatapnya dengan sendu. Tatapan iba khas seorang Ibu kepada anaknya. Senyum tulus nan cantik terbit diwajah Bunda Shereen, selalu seperti itu. Ketika Shereen tengah putus asa akan keadaannya, Bunda selalu datang dan memberikan senyuman itu, senyuman yang menguatkan hati Shereen, memberikan sebuah pengharapan baru.
Rasanya, semangat Shereen kembali terbit, sekali lagi Shereen membersihkan darah itu lantas berjalan keluar kamar. Dia mencari dimana letak obatnya, saat menemukan Shereen segera menelan 3 butir kapsul dengan segelas air putih. Masih dengan tisu yang menyumpal hidungnya, dia menunggu beberapa saat. 5 menit? 10 menit? 15 menit. Darah mulai berhenti, Shereen menghela nafas lega. Rasa kantuk gadis itu sudah kabur entah kemana, dia berjalan menuju ke arah jendela. Shereen tidak membuka jendelanya, dia hanya menyibakkan tirai untuk menyaksikan bulan yang ada dilangit.
"Terima kasih, Bunda" lirih gadis itu, tersenyum kecil. "Berkat bunda, aku masih bisa bertahan sampai sekarang." perlahan Shereen memejamkan matanya, dia meletakkan telapak tangan pada d**a kirinya, mengukir senyum seindah mungkin, "Aku baik-baik saja, Bunda. Semoga Bunda juga baik-baik saja disana, Tuhan akan menjaga Bunda, Tuhan juga yang akan mempertemukan kita di surga nanti"
Beberapa meter dari kamar Shereen, pria yang saat ini tengah meregangkan ototnya yang kaku itu tak sengaja menatap siluet cantik yang tengah menutup mata, Pangeran Reenan mendekat ke arah jendela, dia menajamkan penglihatannya, itu benar-benar Shereen.
Sedang apa gadis itu malam-malam begini? Masih setia berdiri dan menikmati wajah Shereen, Pangeran Reenan akhirnya menyadari ada hal yang janggal, dia ingin tau apa yang tengah dilakukan gadis itu. Untuk itu, Pangeran Reenan mengikuti Shereen dengan meletakkan telapak tangannya pada d**a kirinya, lantas memejamkan mata.
"Reenan tidak boleh menangis saat bunda pergi, Reenan harus jadi laki-laki yang kuat seperti Ayah. Bunda akan selalu ada di samping Reenan, dan Ayah akan selalu menjaga Reenan"
"Reenan percaya sama bunda, tapi bunda janji kan akan selalu ada untuk Reenan?"
"Iya sayang, Bunda janji. Karena Bunda akan selalu ada disini" ucap bunda nya seraya memegang d**a Reenan sembari tersenyum, "Di hati Pangeran kecil Bunda". Pangeran Reenan cepat-cepat membuka mata saat merasakan detak jantungnya yang kian cepat. Netra pangeran Reenan kembali menatap kamar Shereen, gadis itu sudah tidak ada di sana, mungkin kembali tidur.
Keringat membanjiri pelipis Pangeran Reenan, pria itu mengusapnya, lantas menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan. “Saya merindukan bunda, sangat” gumam Pangeran disertai dengan secuil senyuman.
Rasa kantuk tiba-tiba menyerang Pangeran Reenan, pria itu melirik ke arah jam yang ada di dinding, sudah pukul 2 dini hari dan dia harus segera tidur.
"Good Nite"
Entah ditujukan kepada siapa ucapan itu.
-Prince of Sivillia-
Pagi buta, Pangeran Reenan harus terpaksa bangun. Raja memanggilnya, mungkin hari ini dia akan mulai menjalankan hukuman yang diberikan. Mengenakan pakaian biasa, casual dan santai seperti apa yang diinginkan oleh Raja Antena. Pangeran beserta kedua pengawalnya berjalan menuju bangunan utama dimana Raja sudah menunggu disana.
Kedua pengawal yang berjaga di depan pintu langsung merendahkan tubuh saat Pangeran tiba, mereka membukakan pintu agar Pangeran bisa masuk ke dalam. “Salam, Ayah, dan selamat pagi"
Jujur, pangeran Reenan penasaran hukuman apa yang harus ia tanggung untuk menebus dosa karena melanggar aturan kerajaan kemarin. Raja Antena tersenyum, pria berusia 50 tahun itu menatap tampilan pangeran Reenan dari atas hingga kebawah, senyum tipis terukir.
“Kemarilah, Pangeran”
Raja Antena memberikan secarik kertas kepada Pangeran Reenan, pria itu membacanya sekilas. “Ayah, bukankah ini???”
“Ya, Pangeran. Dia Burhaan dari Haritama, sekarang dia punya kedai roti, datanglah kesana dan bantulah dia.” jawab Raja Antena dengan intonasi suara yang terkesan santai. “Itu hukuman untukmu dari Ayah, mengabdi kepada rakyat.”
“Tapi, Burhaan bukan rakyat Sivillia, Ayah.”
“Pangeran Reenan, meskipun kau sudah menjadi bagian dari Sivillia, dan sebentar lagi akan menggantikan posisi Ayah, tapi Ayah tidak ingin kau melupakan dari mana asal usulmu.”
Mengerjap beberapa saat, Pangeran Reenan akhirnya mengerti. Dia mengangguk, merendahkan badannya memberi salam sebelum pergi. Raja Antena menatap putranya yang sudah tumbuh sedewasa itu, tiba-tiba saja kerinduannya pada sang permaisuri muncul.
“Rosie, dia tumbuh dengan begitu baik. Semoga dia bisa menjadi penerusku kelak, mengabdi kepada Sivillia sampai hembusan nafas terakhirnya.” Raja Antena bermonolog.
Di dalam mobil dengan kedua pengawalnya, Petu dan Pedu, pangeran Reenan berangkat menuju Haritama, kota tempat dia dilahirkan, kota yang menyimpan banyak kenangan. “Apakah Pangeran ingin mampir sebentar ke tempat pusara Ratu Rosie?” pertanyaan itu meluncur dari mulut Pedu, Pangeran yang tengah melamun hanya menjawab dengan anggukan kepala. Toh tidak ada salahnya mampir, sudah dua tahun dia tidak mengunjungi pusara Ibundanya.