POV Devan
Satu bulan yang aku janjikan pada Luna, ku percepat menjadi dua minggu. Aku pulang tanpa mengabari siapa siapa termasuk ayah mertuaku yang selama aku pergi membantuku mengurus perusahaan papa.
Aku mendapatkan kabar dari Jo, asistenku kalau surat dari pengadilan sudah sampai di mejaku. Istriku sendiri yang bertindak sebagai pengacara Davina, wanita yang tergila gila dengan cintaku. Aku tidak pernah menjalin hubungan khusus dengannya, karna dia meminta bantuanku soal bisnis. Jadi ku bantu sebisaku, semua kerugian yang dialami perusahaannya karna kecerobohannya sendiri yang tidak menyimpan data perusahaan dengan baik, aku memang diberitahu semua data itu tapi tak pernah aku simpan, aku malah bosan mendengar ceritanya.
Setelah sampai dirumah, seperti biasa aku disambut nenek dengan bahagia. Yang pertama ia tanyakan bukan aku tapi Luna.
" Mana istrimu ? nenek kangen makan malam bersama, sudah lama ia tak kesini "
Ku kucium tangan nenek, lalu mencari tempat agar aku leluasa bicara dengan Luna. Biasa, aku akan marah marah. Kenapa selama aku tak di rumah, ia tak pernah mengunjungi nenek.
" Dimana ? " itu pertanyaan pamungkas ketika panggilan tersambung.
" Di kantor, kenapa ? "
" Ini sudah jam berapa ? batas jam kerja hanya jam 4 sore. Pulang sekarang !" titahku, aku memanfaatkan kuasaku sebagai suami. Ia akan mengeluarkan argumen yang tentu akan senang aku debat.
" Tapi hari ini aku lembur " bantahnya.
" Eh..kamu bukannya masih di Inggris " Ku ambil foto ruangan dapur tempat ia dan nenek biasa memasak lalu ku kirim ke hpnya.
" Pulang ! "
" Devan, tolonglah sebentar lagi aku mau ketemu bu Davina " Aku berdehem dan ia paham betul apa yang ingin ku sampaikan ketika kemauanku tak ia turuti.
" Iya..aku pulang " senangnya mendengar ia melemah seperti ini.
" Aku jemput "
" Nggak usah, aku pulang sendiri. Nanti pak Satya tahu kalau kita.. " Aku berdecak mendengar alasannya. Ia tak mau atasannya tahu kalau statusnya sekarang sudah menikah.
" Kamu harus bayar kompensasi berapa kalau ketahuan melanggar kesepakatan kontrak ?, aku yang akan nanggung "
" Devan sayang, please jangan bahas ini lagi. Sebentar lagi aku sampai di rumah nenek. See you " Ia mematikan panggilan, aku tak bisa menghubunginya karna ada panggilan masuk dari Attar, pengacaraku.
" Nanti malam kita ketemu bos, mantan lo sudah masukin gugatan ke pengadilan "
" Aku tahu "
" Tahu nggak, Satya mengutus pengacara cantik untuk lawan kita. Cantik tapi Garang. Benar benar Macan ! " Ku miringkan senyum, Ia macan itu yang sekarang ingin ku taklukan. Ia masih sangat liar meski sudah kuikat dalam ikatan pernikahan. Se good looking apapun penampilanku, ia memandangku biasa saja. Dari dulu aku merasa insecure dengan tatapan sinisnya. Bagaimana bisa bilang cinta kalau ia sudah menjatuhkan harga diriku sebagai laki laki tampan. Ia bilang aku begini karna berasal dari keluarga berada, coba aku bukan siapa siapa pasti ga dipandang sehebat sekarang.
Ish..ingin ku masukan ia dalam botol biar teriak teriak minta tolong.
" Dev..Lo masih di situ ? "
" Ya..gue sudah tahu, namanya Luna Dahnia "
" Hai ! " sebuah suara menyapaku, gendang telingaku sangat hafal sekali suara sopran itu. Segera ku matikan panggilan Attar. Cepat sekali ia sampai. Ku pindai penampilannya. Blazer hitam dipadukan kemeja putih dan rok panjang dibawah lutut. Rambutnya di sanggul rapi. Polesan make up natural, membuat laki laki akan memberi jeda untuk menoleh padanya.
" Aku tadi kebetulan sudah di toko kue nggak jauh di sini, kamu tahukan kesukaan bu Davina apa " ucapnya sambil melangkah melewatiku. Ia pergi ke halaman belakang menemui nenek. Ku tahan tangannya dan menariknya agar menghadapku.
" Aku suamimu Luna, jadi layani aku dulu " ucapku yang membuat matanya membola. Aku harus menahan senyum agar tetap terlihat berwibawa di matanya.
" Ambilkan aku air putih " perintahku sambil duduk di meja makan. Ia melototi sebuah ceret kaca dan gelas di depanku.
" Itu kan gelas sama ceretnya ada di depan anda tuan Devan ! " geramnya, aku tak peduli. Dia pun tak mau bertindak.
" Eh..Om Firman kapan datang Om..eh maksudku papa " ucapku dengan wajah setenang mungkin, tak terlihat kalau ini hanya trik agar ia cepat cepat melakukan apa yang aku inginkan. Betul saja, tangannya buru buru menuangkan air ke gelas. Ia menghela nafas ketika apa yang ku sampaikan hanya kebohongan.
Aku terkekeh melihat muka kesalnya.
" Luna, kapan sampai ? kamu sudah lama sekali tidak kesini, nenek kangen " nenekku membentangkan tangan dan dia bergerak cepat memeluk nenek. Seharusnya aku kan yang ia peluk duluan.
" Nginap disini ya.., rumah kalian baru selesai di renovasi, mungkin bulan depan baru bisa di tempati " ucap nenek setelah Luna mengurai pelukan.
Ku tutup mulutnya yang hendak menolak. Tentu saja ku iyakan dengan anggukan pasti.
" Ya nek, tapi nenek harus buatkan resep zaman dahulu biar gaspol " kataku dengan berbisik yang langsung disenyumi nenek. Ia menepuk bahuku. Wajah Luna langsung memerah, sebagai wanita dewasa tentu ia tahu apa yang ku maksud. Ia menarik tanganku menjauhi nenek.
" Kita jangan sampai keluar batas " ujarnya penuh kecemasan.
" Keluar batas apanya ? " tanyaku pura pura ga ngerti apa yang ia maksud.
" Jangan ngomong di sini, di kamar " ucapnya sambil menarik tanganku. Menaiki anak tangga, ku pasrahkan saja tanganku diseretnya. Ketika pintu tertutup dan ia sendiri menguncinya. Langsung ku kungkung tubuh itu ke dinding. Wajahnya langsung menegang.
" Devan...bisa kita bicara " ucapnya gugup, terutama saat aku menurunkan wajah hingga hidung kami hampir menyatu.
" Bicaralah sayang.., aku akan mendengarnya " ku tepuk lembut pipinya. Ia menunjuk ranjang. Maksudnya agar kami duduk di tepi ranjang.
" Kamu mau ? " tanyaku dengan suara berat. Senang sekali membuatnya di posisi ini. Ia menggeleng.
" Kamu mau ngobrol di sana ? " aku terbahak, menertawai otaknya yang langsung nyambung perkara suami istri itu. Padahal hatiku meringis, sekalipun aku belum bisa menyentuh istriku. Ia kontan mengangguk.
Ku rebahkan badan di kasur. Ia menatapku heran.
" Ngomonglah "
" Duduk dulu Dev..." ajaknya sambil menarik tanganku. Aku mengikuti kemauannya, padahal imajinasiku membayangkan aku akan menarik tangannya hingga terbaring di ranjang.
" Soal itu...soal...itu.., bukankah itu harus dilakukan dengan rasa cinta. Aku tahu kamu tidak mencintaiku. Pernikahan ini cuman demi memenuhi permintaan nenek kan, jangan khianati pacar kamu Dev "
Ku tutup rapat rapat mataku, rahangku mengeras seketika. Bagaimana ia bisa menyimpulkan kalau aku tak punya rasa padanya, apa karna aku tak bersikap romantis. Aku beranjak ke kamar mandi tanpa mengacuhkannya, rasanya ingin ku lepaskan rasa kesalku dengan memaksanya menuruti keinginanku. Tapi aku tidak mau, aku mencintainya dan aku tak mau menyakitinya.
Tak ku acuhkan dia yang memanggilku di luar kamar mandi
Ketika aku keluar dari kamar mandi, ia menyerahkan hp yang berdering. Hatiku berdesis, panggilan dari Yuna.
" Lun.." panggilku ketika ia tergesa ke luar kamar. Matanya terlihat berkaca.