Pagi ini seperti biasa, aku dijemput oleh Mas Dion di gang dekat rumah. Meski kelihatannya Bude tampak menerima Mas Dion dengan baik, aku tak ingin terlihat begitu dekat dengan Mas Dion. Toh, kedekatan kami ini tidak akan berjalan lama. “Mas,” panggilku. “Hm.” “Mas,” rengekku. Kalau sudah merenggek dengan nada seperti anak kecil yang meminta permen begini, Mas Dion langsung paham maksudku. Tentu, ada kalimat atau kata-katanya yang perlu dikoreksi. “Iya, Sha.” “Ngomong-ngomong, Mas sudah dapat belum cara buat batalin perjodohan kita?” Aku menoleh ke arah Mas Dion yang menatapku tak senang. “Cuma tanya, Mas. Ya kalau belum, nggak apa-apa,” tambahku. Tidak ada tanggapan apa pun, Mas Dion hanya diam saja. “Mas,” panggilku lagi. “Sekarang giliran kamu yang tak sabar ingin membatalkan