Kamu Bersedia, ‘kan?

1500 Kata
Dion’s POV “Mama tahu, Dion. Pendekatan dulu minimal,” pinta Mama. Begitu mendengar akan dijodohkan, aku langsung menolak ide absurd Mama. Memangnya masih jaman menjodoh-jodohkan anak? Lagi pula, aku masih betah dengan kesendirianku. Lebih tenang dan sejauh ini pun menyenangkan. “Kalau ternyata setelah kenal aku merasa nggak cocok, gimana?” tanyaku. Saat ini kami sudah di rumah. Percakapan tentang Ayasha masih berlanjut hingga malam, hanya antara aku dan Mama di ruang tengah. “Pasti cocok, Mama yakin kamu pasti suka sama Aya. Dia itu wanita idaman banget, tanya Mas Abi berapa banyak kliennya yang terang-terangan ingin mendekati Aya,” ungkap Mama panjang lebar. Kalau sudah sampai meyakinkan begini biasanya Mama sedang dalam mode memaksa, ya, memaksa secara halus. Aku juga sempat memberi saran pada Mama untuk menjodohkan Mas Abi dengan Ayasha saja. Ternyata, Mas Abi sudah memiliki pujaan hati, itu yang Mama sampaikan padaku, dan beliau kembali menegaskan bahwa yang lebih cocok dengan Ayasha itu aku. Entah dilihat dari segi mana kecocokan di antara kami. “Nanti Dion pikirkan lagi.” Ayasha, dia pernah menjadi asisten pribadi Mama di butik. Keuletan dan ketegasannya membuat Mama jatuh hati padanya. Kemudian, Papa memintanya membantu di kantor, dan akhirnya, dia menjadi sekretaris Mas Nadeo saat menjabat sebagai CMO. Begitu Papa pensiun, Mas Nadeo mengambil alih jabatan sebagai CEO dan Mas Abi mengisi jabatan CMO. Selain di kantor, kabarnya dia juga mengambil pekerjaan paruh waktu pada malam hari untuk membiayai hidup dan kuliahnya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, dia diasuh oleh pakde dan budenya. Namun, dia tidak pernah mau menjadi beban bagi keduanya. Malah, dia membantu perekonomian pasangan paruh baya itu, mengesankan. *** Pagi ini, semua orang di rumah sibuk, pasalnya sore nanti ada acara arisan keluarga. Aku baru saja selesai mandi. Langkahku terhenti saat mendengar ketukan pintu dan seseorang memanggilku. “Ya,” sahutku. Aku menyernyitkan dahi saat melihat Ayasha di hadapanku, detik kemudian … “Ah, Mas!” Dia menarik pegangan pintu dan menutupnya dari luar. “Mas, pakai baju dulu,” teriaknya membuat aku menyengir. Aku baru menyadari saat ini aku hanya memakai sehelai handuk. “Mas, saya cuma mau sampaikan pesan—” Dia menerjap sesaat. “I—Ibu minta Mas Dion turun untuk sarapan.” “Ayo.” Aku keluar dari kamar dengan pakaian lengkap, berlalu meninggalkannya. Tak lama dia menyusulku turun. Mama mengajak Ayasha untuk ikut sarapan bersama kami, tapi dia mengaku sudah sarapan di rumah. Aku yang sudah duduk melihat interaksinya dengan Mama. Dia menolak ajakan Mama dengan sangat sopan, tapi Mama tetaplah Mama, kalau bicara dengannya semua pasti kalah telak. Akhirnya, Ayasha duduk bersama kami di meja makan. Dia duduk berhadapan denganku. Ketika aku berusaha menggapai piring yang sedikit jauh dari jangkauanku, dengan sigap dia membantu mengambilkannya. “Ini, Mas.” Dia memberi piring untukku, kemudian menariknya kembali. “Mas, mau menu apa?” tanyanya. Aku melirik ke arah Mama yang tengah mengulum senyumnya. “Nasi goreng.” “Minumnya, Mas?” tanyanya polos. Aku menjawab dengan sebuah gelengan, artikan saja sendiri, aku yakin dia paham. Sesekali aku mencuri pandang pada wanita yang akan Mama jodohkan padaku. Menatap wajahnya sedekat ini, dia tampak tak asing. aku seperti pernah melihatnya, entah di mana. Ayasha hanya mengambil sepotong roti bakar dan segelas s**u untuk menu sarapannya. Tiba-tiba aku tergerak mengambil sepotong roti dan meletakkannya ke piringnya. Dia menatapku heran, lalu berterima kasih setelahnya. Tindakanku ini hanya sebatas ungkapan terima kasih karena dia sudah mengambilkan sarapan untukku tadi, tidak lebih. Benar ‘kan aku bilang, semua orang di rumah ini sibuk. Masing-masing dari mereka sudah ada tugas tersendiri. Ayasha pun datang sepagi ini ikut membantu. Dia ini sebenarnya sekretaris Mas Abi di kantor, merangkap hingga sampai ke rumah jugakah? Sekretaris Mas Nadeo saja, aku tak melihat batang hidungnya. Hari sudah semakin siang, matahari sudah menjulang tinggi. Setelah menyantap makan siang, aku duduk di ruang tengah. Mama datang memintaku mengantar Ayasha ke toko Tante Sandra mengambil pesanan untuk acara sore nanti. “Harus aku yang antar, Ma?” tanyaku. Aku bisa membaca jelas isi pikiran Mama saat ini, pasti masih dalam misi mendekatkanku dengan Ayasha. “Bisa kamu lihat, di sini semuanya sibuk kecuali kamu yang hanya asyik main hp,” cecar Mama. Kalah telak, akhirnya aku menghampiri Ayasha di dapur. Dia tengah bersenda gurau dengan ART sambil mengeluarkan brownis dari oven. Aku tahu itu brownis dari wanginya. Sekedar informasi, aku ini pecinta cake cokelat bertekstur lembut dan padat itu. “Sha,” panggilku. Dia menoleh ke arahku bingung dan para ART yang tadinya tertawa terbahak seketika terdiam. “Katanya mau ke toko Tante Sandra, sekarang, saya antar,” titahku. “Oh, iya, Mas.” Dia berjalan ke arahku setelah pamit dengan ART yang ada di dapur. Aku menghentikan langkahnya dan menatapnya datar. “Kamu mau pergi pakai apron itu?” tanyaku. Dia meringis, lalu menyimpan kembali apron ke dapur dan mempersilakan aku jalan lebih dulu. Sepanjang perjalanan, kami memilih diam. Sesekali dia mengarahkan jalan ke toko Tante Sandra. Sesampai di toko Tante Sandra, kami pun tidak berlama-lama, mengambil barang pesanan Mama lalu pulang. Benar-benar tidak ada interaksi apa pun. Sepertinya dia belum tahu mengenai perjodohan itu. “Tadi Tante Sandra kasih apa?” tanyaku. “Oh, iya, bener. Dessert box untuk Mas Dion.” Aku hanya menggangguk. “Dessert-nya untuk kamu saja, saya kurang suka.” Ayasha sempat menolak, tapi akhirnya dia menerimanya. “M—mas Dion?” lirihnya. “Hm.” Aku menoleh ke arahnya sekilas. “Saya mau minta maaf atas sikap dan tindakan saya kemarin, ya, Mas.” Aku menatap ke arahnya. Saat ini mobil sedang berhenti di lampu merah. Dia menunduk memainkan jarinya, dan itu terlihat lucu di mataku. Dia menoleh ke arahku karena aku tak kunjung menjawab. “Nggak dimaafin, ya, Mas?” tanyanya. “Saya maafkan.” Aku menjawab sesingkat mungkin, tapi aku merasa dia tampak tak puas. Entah mengapa, aku hanya menilai dari raut wajahnya saja. “T—tapi, Mas Dion juga harus minta maaf sama saya,” lanjutnya. “Kenapa harus?” “Karena, Mas, sudah—” Dia menjeda kalimatnya, matanya yang semula menatap mataku turun melihat dadaku. “Nggak jadi, Mas. Ayo, jalan sudah lampu hijau.” Dia menggeleng cepat, tapi sepertinya aku tahu maksudnya. Enak saja aku yang minta maaf, padahal dia yang sudah menodai mataku waktu itu. Sesampai di rumah, Mama meminta kami untuk segera bersiap-siap. Aku masuk ke kamar untuk mandi karena gerah sekali. Aku memilih kemeja lengan panjang berwarna cokelat muda dan bawahan berwarna hitam. Begitu menuruni anak tangga, aku mendengar Mama memuji penampilan Ayasha. Memangnya ini kontes busana pakai segala dinilai-nilai. Bahkan beliau meminta pendapat Mbak Meysa—istri Mas Nadeo dan Mas Abi, yang tengah duduk di ruang tengah. “Kapan Aya nggak cantiknya, Ma?” Mas Abi tidak menjawab, malah balik bertanya, tapi pertanyaannya seolah setuju dengan penilaian Mama. Aku menyernyitkan dahi mendengar jawaban Mas Abi. Ternyata sedekat itu Ayasha dengan keluarga ini, buktinya hampir semua orang di rumah ini pro padanya. “Nah, kan bener,” ujar Mama. “Nih, kita tanya satu orang lagi. Dion, gimana menurut kamu penampilan Aya?” tanya Mama. “Biasa saja,” jawabku saat ikut duduk bersama mereka di ruang tengah. Mama langsung mencecarku, katanya aku sudah harus pergi ke dokter memeriksakan mataku. Sebegitunya Mama membela Ayasha sampai tega mengatai anaknya sendiri, Mas Abi pun tertawa tampak kegirangan. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Ayasha, dia mengenakan sabrina dress berwarna cokelat yang menampakkan jelas bahu dan lehernya. Mau arisan atau mau menggoda orang, sih, batinku. Acara sudah dimulai. Aku memilih menjauh dari keramaian, tetapi Mama menarikku. Beliau memintaku menyambut tamu di pintu depan. Aku menyadari kedatangan Ayasha, tapi aku mengabaikannya. Beberapa saudara dan kerabat yang mengenalku dan Ayasha menyapa kami. Saat ada beberapa kerabat yang tak aku ingat, Ayasha memberitahuku membisikkannya dengan lembut. Sepertinya dia tahu saat aku sedang kebingungan, sedekat itukah dia dengan keluargaku, sampai mengingat semua saudara dan kerabat kami. Aku menghampiri Mama yang tengah duduk sendiri. Begitu aku duduk, beliau menyuapkan sepotong brownis ke mulutku. Enak, aku menyukainya. Kata Mama ini buatan Ayasha, mengesankan, ternyata dia pandai memasak. Saat ini, kami asyik bercerita, tiba-tiba Ayasha datang menawarkan curry puff pada Mama. Tentu saja Mama tidak menolak, curry puff adalah salah satu kue kesukaan Mama. “Aya, sini duduk sebentar,” titah Mama. Aku tahu apa kelanjutannya. Aku menatap Ayasha, penasaran bagaimana reaksinya saat Mama mengutarakan maksud Mama padanya. “Kamu ingat permintaan tentang kado ulang tahun saya waktu itu ‘kan?” tanya Mama. Beliau menggenggam tangan Ayasha lembut. Ayasha tampak berpikir kemudian bertanya. “Oh, ya, Ibu mau minta kado apa dari saya?” tanyanya. Keterlaluan polosnya menurutku. “Mau beri atau tidak?” tekan Mama sekali lagi. “Tentu saja, Ibu mau kado apa? Saya beri selagi saya mampu.” Mama tersenyum penuh kemenangan menatapku yang hanya menggelengkan kepala. “Ibu mau meminta kamu menjadi menantu, Ibu.” Ayasha membulatkan mata menatap Mama dan aku bergantian. “Benar, untuk Mas Dion,” lanjut Mama seolah tahu arti lirikan Ayasha. “Kamu bersedia, ‘kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN