Bab III : Pelajaran

1573 Kata
“Dian, jangan pergi sendirian.” Ibu—Namanya Riska, sumpah dia terlihat seperti masih berusia 20-an—mencegah langkahku yang hendak keluar rumah. “Lah, kenapa? Aku cuma mau beli pulsa,” jawabku bingung. Ibu menunjuk kesal pada dadaku. “Kamu—nggak—pake—beha.” Hari ke dua sebagai perempuan, dan hal pertama yang diributkan adalah pakaian dalam? Kemarin sempat ada argumen konyol juga sih, tentang aku yang tidak diperbolehkan lagi menggunakan sempak atau boxer. Seluruh pakaian lamaku dia sita, terus entah atas alasan apa, dia tiba-tiba saja membelikanku baju-baju perempuan yang mahal. Oleh karenanya, sedikit banyak aku bisa paham kenapa sekarang dia terlihat kesal. Alih-alih menggunakan rok dan kemeja berenda lucu, aku malah menggunakan celana jeans serta kaos berbalut sweater putih. Rambut panjang bergelombang milikku juga sengaja diikat ala kadarnya karena terasa gerah ketika digerai jatuh. “Ribet, ah,” ucapku malas. Berdasarkan sesi pelatihan singkat kemarin malam, aku baru tahu bahwa ternyata ada semacam teknik khusus untuk menggunakan pakaian dalam penyangga p******a itu. “Apanya yang ribet? Pake bra itu kewajiban sebagai seorang perempuan.” Ibu masih saja bersikeras. “Gimana kalau nanti d**a kamu jadi menciut, turun jatuh kayak buah manga busuk?” Ebuset, perbandingannya nggak ‘Apple to apple’. “Lagipula, kamu harus bangga karena sebagai keturunan mama, kamu mewarisi ciri khas garis keturunan dari nenek.” Ibuku membusungkan dadanya yang sudah busung. Harus diakui, milik dia memang ‘besar’. Mungkin bisa kutaksir sekitar H-cup? Atau E-cup? Sepertinya aku terlalu banyak menonton hentai. “Biarin atuh, Mah,” balasku malas, ”Mama lupa? Di dalam sini aku masih laki-laki.” Lenganku menunjuk mantap pada diriku sendiri. “Sampe kapan pun aku gak akan pernah suka sama laki-laki, jijik tahu ngebayanginnya juga.” “Terus kamu mau jadi perawan tua?” Jemariku mengacak-acak rambut tanda frustrasi, “AKU masih 17 tahun!” “Berarti nanti ada kemungkinan kamu bisa ketemu jodoh yang ganteng?” Wajah dia malah terlihat berbinar-binar penuh pengharapan. “Bodo amat ah!” Dengan segera kubuka pintu ruang tamu, lantas keluar dari rumah. Di luar sana, sudah terdapat beberapa wartawan siap dengan kamera mereka. Orang-orang itu datang untuk meliput, menanyakan langsung kabar seputar diriku yang berganti kelamin. Beberapa tetangga malah terlihat bangga mengarang cerita seraya disorot kamera. Jalan di depan rumah ramai sekali sampai-sampai ada pedagang asongan yang ikut berjualan, turut memeriahkan suasana. “Apa-apaan…?” Dikuasai panik, dengan segera kututup kembali pintu rumah. “Makanya Mama nyuruh kamu pake pakaian imut.” Ibuku bertopang dagu seraya menyayangkan sikap sembronoku. “Bukan itu, woi!” bentakku kesal. “Mama gak takut nanti aku kena bully? Katanya Bapak mau ‘ngurus’ ini, tapi kenapa sekarang malah jadi ada wartawan segala?” “…ah?” Ibuku terlihat seperti baru saja teringat sesuatu. “Lupa?” Dia mengangguk. “Jiah.” Berikutnya, lewat telepon rumah Mama menghubungi ayahku yang sedang bertugas. Mama itu parasnya cantik, terlihat awet muda sampai sering dikira kakakku. Tapi sayang, otaknya tipis. Ayahku seorang Aparatur Sipil Negara. Dia bekerja di kantor Pemda. Jabatannya cukup tinggi, kalau tak salah namanya Sekda, mungkin? Yah, intinya dia bisa memanfaatkan koneksinya untuk mengatur beberapa hal. Lewat metode abuse of power, KTP dan KK-ku bisa diubah menjadi gender perempuan. Jadi seharusnya tidak ada kekhawatiran nanti aku dicap sebagai transgender ketika nanti harus berurusan dengan hal legalitas. Lalu terkait wartawan yang mengganggu di luar. Tak sampai sepuluh menit setelah Ibu menelepon Bapak, tiba-tiba saja muncul satpol PP berseragam lengkap datang melakukan sweeping. Memangnya di zaman seperti ini, intimidasi masih bisa digunakan, ya? Prasangkaku terjawab kala kulihat beberapa petugas di sana membisiki tiap wartawan seraya memasukkan beberapa amplop pada saku baju mereka. “Ah…., jadi begitu rupanya.” Pun begitu, rumor sudah terlanjur berembus. Berita perihal aku yang berubah kelamin pada akhirnya sampai ke telinga pejabat yang lebih tinggi. Beberapa orang dari dinas sosial dan kesehatan datang ke rumah untuk sekadar mengkonfirmasi. Mereka juga meminta sampel air liur dan mengambil darah untuk keperluan penelitian. Yah, aku sih tak peduli. Yang jelas, jangan sampai aku dijadikan objek penelitian tak manusiawi  seperti di film-film itu. Aku juga tidak perlu mengubah identitas secara sempurna. Jadi tidak ada tuh cerita keren seperti harus menyamar menjadi orang lain, sambil menganggap diriku yang lama sudah mati. Aku masih Dian, 17 tahun. Tubuhku mungkin perempuan, tapi di dalamnya masih berisi seorang pemuda m***m pecinta wanita. …. Hari ketiga, dan aku masih belum mau masuk ke sekolah. Batinku masih menolak akan kenyataan yang ada. Pun begitu, pada kesempatan kali ini aku memberanikan diri untuk menyentuh dua tonjolan di d**a. “Hmmm…, lumayan besar juga. Sekitar E-cup, ya?” Tiap jemariku bahkan tenggelam, masuk ke dalam tumpukan lemak bundar dan kenyal. Terlalu lama berdiri entah kenapa membuat punggungku terasa pegal. Memiliki d**a berukuran besar ternyata cukup merepotkan. Mau tidak mau, pada akhirnya aku harus menyerah pada amanat ibuku agar sesegera mungkin membiasakan diri mengenakan bra. Berguling-guling seharian di kamar rasanya amatlah membosankan. Langit sudah berubah gelap. Sedari siang tadi tidak ada wartawan, warga sekitar, atau petugas dari dinas kesehatan yang datang mengganggu. Aku berasumsi keadaan sudah kembali aman, jadi rasanya tidak masalah jika aku pergi ke luar rumah. Toh nyaris satu minggu ini hape-ku tidak diisi pulsa. Kamarku terletak di lantai dua. Turun dari tangga, samar terdengar suara lenguhan disertai bunyi kulit bertabrakan. Desah suara Mama bahkan cukup nyaring hingga menggema di lorong rumah. “Ah…, mereka sedang melakukan ‘itu’.” Pandanganku tertuju pada pintu kamar orang tuaku. Langkahku berubah pelan, berusaha agar tidak mencipta suara di tengah aktivitas epik itu. “Ahh…, itu kamu, Dian?” Mamaku memanggil dari dalam. Suaranya terdengar e****s sekali. Xianjing— Aku berubah kikuk. “I-iya, Mah?” “Mau keluar? Ba-bawa ini ya,… ahh…..” Dia masih saja mendesah. Pintu kamar terbuka. Wajah ibuku terlihat dari sana seraya lengannya menyerahkan sebuah senter. “Senter?” Aku menerimanya seraya dipenuhi tanda tanya. Rambut mama terlihat bergerai jatuh, bergelombang karena terentak berulang kali dihantam dari belakang. Ekspresi wajahnya itu lho… bikin aku hilang kata-kata. Mama terlihat seperti aktris JAV kelas wahid. “A-aku pergi dulu!” ucapku kikuk. “Hati-hati di jalan,” jawab ayahku dari dalam sana. Gak bisa ya kalian berdua berhenti dulu baru ngomong, gitu? Pintu rumah kututup. Tak lupa aku kunci dari luar. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Konter pulsa yang kutuju sepertinya belum tutup. Aku berusaha sebisa mungkin tidak banyak berbicara atau mengobrol yang tidak-tidak. Tapi masalahnya, dua lelaki tak di kenal ini terus saja mengangguku dengan omong kosong tak jelas. Dimulai dari membicarakan bitcoin, sampai nanya apa aku bawa korek atau palu. Gak jelas banget. Aku hanya menjawab iya-iya saja, tidak meladeni lebih lanjut. Namun, ketika transaksi sudah selesai dan aku hendak beranjak pulang, dua orang itu malah berjalan mengikutiku. Rasa takut mulai mencuat. Jangan-jangan mereka ada niat jahat? Aku sengaja berjalan agak memutar melewati beberapa blok di komplek perumahan ini, tapi mereka masih saja ada mengikuti. Maka kuambil langkah seribu, berlari sekencang mungkin menuju rumahku. Tapi siapa sangka, tubuhku sekarang naujubilah lemah sekali. Baru lari sekitar sepuluh meter, dan sekarang paru-paru sudah terasa sesak, terengah-engah seperti ikan terkapar di luar air. Dua orang tadi tentu saja bisa dengan cepat menyusul. Apa tujuan mereka? Rasa panik kian memenuhi kepala. Aku cuma membawa uang lima puluh ribu. Jangan-jangan mereka mau membegal hapeku. “Rumahnya di mana, Neng? Biar kami anterin.” Ah…, detik itu aku baru tersadar. Mereka mengejarku bukan karena niat merampok. Wajah dua orang itu terlihat m***m sekali. Rasa jijik tiba-tiba memenuhi kepala, cukup untuk membuatku mual. Lenganku dicengkeram. Aku dibawa ke salah satu gang sempit. “Eh…? Ah…?” Mulutku entah kenapa serasa terkunci. Berulangkali kukutuk kedua kakiku yang tidak juga kunjung berlari. Tubuhku serasa enggan mengikuti perintah. Mereka mau apa? Salah satu b******n itu mengendus leherku. Napas serasa tertahan, pandanganku kian memburam. Horor memenuhi pikiran hingga membuatku berasa lumpuh. Tolong hentikan— Dada kiriku diremas keras. Sakit. Lenganku mengepal erat, tetapi enggan untuk bergerak sesuai dengan yang kuperintahkan. Ingin rasanya kutonjok gigi tonggos itu. Siapa pun, tolong— Pemuda b******k satunya lagi tiba-tiba jatuh tersungkur. Seseorang memukulnya dari belakang. Tidak, bukan satu orang saja. Aku melihat belasan orang berpakaian dinas anti huru-hara berjejer dengan baton dan tongkat pemukul. Bajingan yang sedang meremas dadaku tiba-tiba saja berkeringat dingin. Seribu penjelasan dari dirinya tak akan sedikit pun menjamin akan datangnya ampunan. Hal berikutnya yang kutahu, tubuhnya terkapar di atas aspal, digebuki oleh satu regu polisi anti huru-hara. Aku belum bisa mencerna apa yang terjadi. Siapa orang-orang ini? Mereka semua mengenakan masker yang menutupi sebagian wajah. Helm dengan visor hitam membuatku tidak bisa mengenali satu pun di antara mereka. Beberapa dari mereka mengantarku sampai di rumah. Detik itu barulah misteri langsung terpecahkan. “Ardian, Mama ‘kan sudah ngasih kamu senter itu. Kenapa tidak dipakai?” “Senter?” Aku memeriksa senter hitam bertuliskan SWAT di sana. Rupanya benda itu bisa berfungsi juga sebagai taser. Sengatan listriknya cukup untuk melumpuhkan pria dewasa hingga tak sadarkan diri. Jadi orang-orang yang melindungiku itu pesuruh dari ayahku? “Kenapa?” Ayahku tertawa terbahak-bahak, “Sekarang kamu sadar, kan? Hidup sebagai perempuan itu serba tidak aman.” “Aaahhhh.” Jadi begitu rupanya. Semua ini diatur oleh Bapak. Caranya memberikan pelajaran itu ekstrim sekali. Terima kasih. Mulai sekarang aku jadi takut untuk keluar rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN