3. Benci dan Cinta Beda Tipis

2172 Kata
Pertemuan Andra dengan Silvia memang berawal dari kejadian yang kurang menyenangkan. Mereka bertemu sekitar tujuh bulan lalu saat Silvia mendapat tugas meliput sebuah acara festival kesenian di Jember. Malam itu tanpa sengaja, Silvia menabrak sepeda motor yang dikendarai oleh Kiara. Meskipun Kiara tidak menderita luka serius dan Silvia bertanggung jawab atas kelalaiannya, entah kenapa Andra jadi sangat tidak menyukai gadis yang menyebabkan kakak perempuannya kecelakaan. Bahkan di pertemuan pertama mereka malam itu, Andra sampai berharap tidak dipertemukan lagi dengan Silvia dalam situasi dan kondisi apa pun. Sebenarnya Andra tidak sampai membenci Silvia, tapi Andra merasa bahwa gara-gara Silvia, dia telah menjadi adik yang lalai. Andra terus menyesalkan dirinya yang tidak amanah pada janjinya menjemput Kiara pulang kerja saat malam kecelakaan terjadi. Ditambah, Silvia juga melontarkan kalimat penuh tuduhan yang memojokkan Andra malam itu. “Lagian kamu ke mana aja? Punya kakak perempuan kok bisa dibiarin naik motor sendiri, tengah malam pula, mana kondisi jalan lagi hujan. Kamu tuh sebenernya yang nggak becus jadi adik!” Kalimat itu cukup melukai harga diri seorang Andra sebagai laki-laki. Mungkin hal itu juga membuat Andra hilang respect pada Silvia. Padahal secara fisik, Silvia bisa dibilang sangat layak untuk membuat hati seseorang tertarik pada pandangan pertama. Silvia memiliki tubuh sedikit lebih tinggi dari Kiara. Warna kulitnya memang setingkat lebih gelap dari jenis warna kulit kuning langsat pada umumnya, karena sehari-hari dia harus bekerja di lapangan, tapi penampilan dan wajah Silvia cukup menarik dan tidak membosankan. Namun, ciri-ciri fisik yang dimiliki oleh Silvia tidak lantas meluluh lantakkan hati Andra yang memang sekeras batu. Pagi ini seperti biasa saat Silvia membuka mata, hal pertama yangg dia periksa adalah ponsel yang senantiasa ia letakkan di samping bantalnya. Sambil menunggu adzan Subuh berkumandang, Silvia memeriksa notifikasi yang masuk ke media sosia pribadinya. Silvia menahan tawa saat mendapati ternyata akun i********: milik Andra sudah membubuhi tanda suka pada salah satu foto yang pernah dia unduh di akun i********: miliknya. Dengan usilnya, Silvia mengikuti akun i********: milik Andra, lalu mengirimkan pesan i********: yang berisikan ungkapan terima kasih karena sudah memberi tanda suka pada fotonya. Beberapa menit kemudian pesan dari Silvia dibalas oleh Andra dengan perasaan jengkel dan malu sekaligus. Untungnya mereka berjauhan, entah apa yang terjadi kalau mereka sedang bertemu. Sama-sama, tapi itu nggak sengaja. Begitu jawaban pesan yang dikirimkan oleh Andra. Sengaja juga gak apa2. Cuma nggak perlu dihapus juga kali likenya. Silvia tertawa terpingkal setelah mengirimkan pesan tersebut. Abangnya menggedor pintu kamar Silvia cukup keras saat mendengar adiknya itu membuat suara gaduh di pagi buta dengan suara tawanya yang menggema hingga ke seluruh penjuru rumah. Silvia yang mendengar gedoran itu langsung diam seketika. Dengan perasaan was-was, Silvia keluar dari kamar dan melihat Abangnya sedang menyandarkan bahunya pada kusen pintu kamar. Pakaiannya masih sama seperti terakhir yang Silvia lihat saat melihat Alvino keluar rumah tadi malam. Ketika hendak menyusul Abangnya yang kesulitan menemukan kunci kamarnya, langkah Silvia kalah cepat karena Alvino sudah lebih dahulu menutup pintu kamar dengan setengah membanting. Gadis itu hanya menghela napas panjang lalu kembali masuk ke kamarnya sendiri. Bahkan untuk mengajak Alvino solat subuh berjamaah pun Silvia tidak punya nyali. Jantungnya masih menyisakan debar ketakukan karena terkejut dengan gedoran yang cukup keras tadi. *** Andra tidak banyak bicara saat mobil telah melaju membelah kota Jember yang masih sepi dan agak berkabut pagi ini. Kiara sampai bingung dengan keanehan yang terjadi pada adiknya. Tidak biasanya Andra diam seribu bahasa saat berkendara dengan Kiara, ada saja hal menarik yang bisa dijadikan topik pembicaraan diantara keduanya. “Kamu keberatan Mbak mintain tolong, Dek?” tanya Kiara saat mobil baru saja melintasi terminal Tawang Alun Jember. “Enggak kok. Kenapa, Mbak?” Andra bertanya balik. Kali ini nada bicaranya sudah dibuat senormal mungkin supaya Kakaknya itu tidak berpikiran Andra keberatan. “Kok sumpek gitu kayaknya? Kurang tidur ya?” “Masa Mbak? Biasa aja kok,” kilah Andra. “Oya, mas Dastan sama siapa aja dari Jakarta?” tanya Andra mengalihkan pembicaraan tadi. “Sama orang tuanya aja. Adiknya nggak bisa ikut. Ada urusan kuliah.” “Oh ..., ya wes. Soalnya aku cuma booking dua kamar hotelnya. Tapi kalau mau nambah masih bisa sekarang.” “Nggak usah, dua aja cukup.” Andra hanya mengangguk paham. “Adiknya mas Dastan yang nabrak Mbak waktu itu bukan?” tanya Andra di sela konsentrasi menyetirnya. “Bukan. Itu Silvia adik sahabatnya Dastan. Kalau adik kandungnya masih kuliah sekarang.” “Oalah, kirain cewek itu,” jawab Andra santai. “Kenapa? Berharap Silvia adiknya Dastan atau seneng karena Silvia bukan adiknya Dastan?” Pertanyaan Kiara menggoda Andra. Kiara tahu betul kalau Andra memang kurang suka dengan perempuan yang masih memiliki hubungan darah dengan laki-laki yang sedang mendekati kakak perempuannya. Kata Andra, kalau sampai itu terjadi, keluarganya tidak bisa berkembang, berkutat di pusaran yang sama. Kiara sih iya-iya saja. Karena Andra terkadang memang suka membuat prinsip-prinsip yang aneh dalam hidupnya. Sebenarnya ada hal yang mengganggu pikiran Andra sepanjang perjalanan ke Surabaya. Apa yang diguyonkan oleh Riki soal foto di dalam dompet memang benar adanya. Sudah beberapa hari ini, Andra kembali dengan kebiasaan yang sudah tidak dia lakukan sejak tiga tahun yang lalu, menatap foto lamanya dengan Nessa ketika dia sedang merindukan kehadiran kekasihnya. Foto yang masih tersimpan di dalam dompetnya itu berhasil meningkatkan rasa penasaran Andra pada alasan Nessa memutuskan hubungan mereka. Dulu, saat masih terikat dalam hubungan asmara dengan Nessa, Andra selalu menjadi pacar siaga. Saat jaman SMA, Andra tidak pernah absen mengantar dan menjemput Nessa sekolah, ekstrakurikuler, bahkan les tambahan di luar jam sekolah. Andra rela meninggalkan aktivitasnya demi bisa menjadi pacar yang baik buat Nessa. Andra memang slengek-an dan cuek abis orangnya, tapi dia tahu caranya memerhatikan dan menyayangi kekasihnya. Teman-temannya dulu sering menyindir dan mengatakan kalau Andra sudah dibodohi dan dibutakan oleh cinta Nessa, tapi Andra tidak peduli sama sekali. Dia justru senang dan bahagia saat menghabiskan waktu bersama Nessa. Beranjak kuliah, Andra memilih kuliah di Bandung, sedangkan Nessa di Malang. Meskipun jarak memisahkan, Andra masih tetap mempertahankan Nessa. Andra tidak pernah mencoba main hati selama kuliah. Meskipun cewek-cewek Bandung cukup menggoda iman, tapi hatinya tetap ia jaga untuk Nessa. Itulah yang membuat Andra kadang berpikir keras 'aku tuh salah apa?'. Namun, Andra sama sekali tidak pernah mau mencoba memberanikan dirinya untuk bertanya langsung pada Nessa. Sebenarnya, Andra lebih ingin menjaga perasaannya sendiri. Andra tidak ingin pada akhirnya nanti malah jadi balik membenci Nessa jika tahu alasan sebenarnya gadis yang memiliki karakter manja dan lemah lembut itu memilih mengakhiri hubungan yang sudah terjalin sekitar tujuh tahun lamanya karena Andra sadar kalau benci dan cinta itu memiliki perbedaan yang tipis. Hingga tiga tahun berakhirnya hubungan mereka pun, Andra masih dihantui rasa penasaran. Terlebih kalau boleh jujur masih ada rasa tertinggal di hati Andra untuk Nessa. Entah itu rasa sayang atau sekadar penasaran. Masih ambigu bagi Andra untuk mengambil keputusan yang tepat bagaimana cara menyikapi pertemuan ulang mereka di masa kini. Hari ini tepat sepuluh hari setelah pertemuannya dengan Nessa. Andra menyempatkan diri mampir ke Golden Bank untuk mengecek kondisi mobil yang akan dia masukkan ke bursa mobil hari ini. Terselip harapan di hati kecilnya, Andra bisa bertemu dengan Nessa di tempat kerja gadis itu. Showroom-nya yang bertempat di sekitaran jalan Gajah Mada Jember dia tutup sebelum pukul lima sore. Langit Jember sore itu juga sangat berpihak pada Andra, terang dan hangat khas sore menjelang senja di wilayah timur pulau Jawa. Semesta seolah sedang memberi dukungan pada pertemuan Andra dan Nessa. Di pos satpam Andra berbincang dengan security bank. Iseng-iseng berhadiah, dia bertanya soal Nessa kepada security bernama pak Tarman tersebut. Andra yang memang pada dasarnya pandai bergaul bisa dengan mudahnya menggali informasi dari pak Tarman yang terlihat serba tahu soal karyawan Golden Bank. Dengan senang hati pria berkumis tebal itu memberi informasi yang Andra butuhkan, seperti siapa yang mengantar dan menjemput Nessa ke kantor setiap harinya, bagaimana sikap Nessa di kantor, bahkan pak Tarman sampai tahu di mana tempat tinggal Nessa, karena kebetulan pernah mengantar Nessa pulang saat mendapat giliran lembur di hari Sabtu. Dari perbincangan tersebut, Andra akhirnya tahu kalau rumah Nessa sudah pindah. Saat pertemuannya dengan Nessa tiga tahun yang lalu, rumah Nessa masih di sebuah perumahan elite di pusat kota Jember. Namun, sekarang Nessa tinggal di sebuah perumahan bersubsidi di daerah Kaliurang, tidak terlalu jauh dari lokasi kantor Nessa. “Nessa sudah nikah ya, Pak?” tanya Andra makin penasaran. Bisa jadi Nessa pindah rumah ikut suaminya, begitu pikir Andra pasrah. “Belum Mas. Mbak Nessa tinggal sama orang tuanya. Motornya ngadat waktu itu, pas saya tanya nggak ada yang bisa dimintai tolong jemput, dia bilang Papanya lagi sakit. Saya tanya lagi, pacar atau suaminya Mbak. Eh, dia malah ketawa trus bilang, saya jones, Pak. Gitu, Mas.” Andra mencoba menahan senyum mendengar penjelasan pak Tarman. Padahal saat ini Andra rasanya pengin jingkrak-jingkrak kegirangan dan nyanyi sambil joged-joged waktu tahu kalau Nessa ternyata jomlo seperti dirinya. “Hari ini kayaknya mbak Nessa nggak bawa motor sendiri, Mas. Soalnya tadi pagi dia datangnya bareng bu Esti,” imbuh pak Tarman. Entah siapa bu Esti itu, Andra tidak mencari tahu lebih jauh lagi. Rasanya Andra ingin sujud syukur karena semesta seperti mempermudah jalannya untuk kembali mendekati Nessa. Tepat sepuluh menit setelah perbincangan Andra dengan pak Tarman, Nessa muncul dari balik pintu kaca kantornya. Andra yang menyadari bahwa perempuan yang baru keluar tersebut adalah Nessa, langsung beranjak dari kursi kayu di samping pos satpam. “Pak, saya permisi dulu. Makasi ya tumpangan duduknya,” ujar Andra riang sebelum pergi menemui Nessa. Nessa melihat laki-laki bertubuh tinggi yang ia kenal baik itu sedang berjalan tenang mendekat ke arahnya. Senyum laki-laki itu mengembang setelah semakin dekat dengan posisi Nessa berdiri. Meskipun Nessa terkejut akan kehadiran laki-laki itu, Nessa tetap membalas senyum manis seorang Andra yang tak mampu Nessa lupakan begitu saja. “Kamu ngapain di sini, Dra?” tanya Nessa dengan menyunggingkan senyum lembut yang bikin lutut Andra lemas. Andra batuk kecil sebelum berkata, “mau ketemu kamu,” jawabnya lirih. Nessa hanya menjawab hanya dengan membulatkan kedua bibir mungilnya tanpa bersuara. “Kamu pulang sama siapa?” Andra bertanya, pura-pura tidak tahu kalau Nessa pulang sendiri sore ini. “Sendiri kalau nggak dapet tebengan,” jawab Nessa sambil tertawa kecil. “Bareng aku aja ya,” ajak Andra to the point. Memang itu kan tujuan dia datang kemari. Andra itu memang pemarah, tapi dia bukan tipekal laki-laki yang suka basa basi busuk membuat waktu jadi terbuang dengan sia-sia. Nessa terlihat berpikir dan menimbang-nimbang akan menerima tawaran Andra atau menolaknya. Kalau dia menerima tawaran Andra, itu artinya nanti Andra jadi tahu tempat tinggalnya saat ini, dan tentu Andra akan bertanya lebih jauh soal rumahnya yang sekarang. Namun, jauh di lubuk hatinya, Nessa sangat ingin menerima tawaran dari Andra. “Nggak ngerepotin?” Nessa mencoba membuat Andra mengubah tawarannya. “Enggaklah, yuk.” Andra mempersilakan Nessa untuk melangkah terlebih dahulu tanpa menunggu jawaban lanjutan dari Nessa. Sesampainya di dalam mobil Andra, Nessa bingung harus memulai dari mana untuk mengatakan kalau dia sudah pindah. Syukurlah Andra cukup tahu bagaimana bersikap jika hendak mengantar pulang kawan lama, tanpa membuat kawan lama tersebut mengetahui kalau dirinya sudah mencari tahu lebih dulu soal kehidupan kawan lama tersebut. “Rumah kamu tetep yang dulu?” tanya Andra, meski dia sudah tahu dimana tempat tinggal baru Nessa. Nessa menggeleng lalu menyebutkan nama perumahan yang Andra tahu lokasinya di mana, karena salah satu temannya ada yang mengontrak rumah di daerah sana. Tidak banyak yang mereka obrolkan selama di jalan. Nessa hanya bertanya kabar Mama dan Kakak perempuan Andra yang kebetulan Nessa kenal juga. Selebihnya hanya suara Armand Maulana yang mengisi perjalanan keduanya. “Masih suka Gigi?” tanya Nessa saat mobil Andra memasuki gerbang perumahan. “Iya masih. Kenapa?” “Masih suka nonton konsernya?” “Iya, tapi nontonnya nggak seru, soalnya sama makhluk-makhluk berjakun. Berasa banget jonesnya,” ujar Andra seraya tertawa lepas. Entah bermaksud bercanda atau melempar kode saat mengatakan hal itu. Nessa sebenarnya ingin tertawa mendengar jawaban asal bunyi dari Andra, tapi dia mengurungkan niat itu, karena nasibnya sekarang pun juga tidak ada bedanya dengan Andra, sama-sama Jones. Kalau dia menertawakan Andra, itu artinya dia juga menertawakan dirinya sendiri. Akhirnya Nessa memilih tersenyum merespon kelakar Andra. Mobil Andra berhenti tepat di depan sebuah rumah mungil dengan pagar warna hitam, yang tingginya hanya sebatas d**a Andra. “Besok aku jemput lagi boleh?” tanya Andra saat Nessa hendak keluar dari mobil. Nessa diam tak langsung menjawab. Dia tidak tahu mesti bersikap bagaimana menghadapi kejutan terindah dari Tuhan yang tak pernah ia minta sebelumnya. “Nggak boleh ya? Udah dijemput cowoknya?” tanya Andra tidak sabar menunggu jawaban Nessa. “Eh, enggak kok. Aku takut ngerepotin kamu, nanti pacarmu marah,” jawab Nessa lirih saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Andra hanya tertawa kecil. “Besok mau dijemput jam berapa?” tanyanya kemudian. “Aku berangkat dari rumah biasanya jam 7 lewat 10 menit.” “Oke sebelum jam segitu aku udah sampek sini.” “Hati-hati ya, Dra. Makasih udah dianter.” Pamit Nessa lalu bergegas menutup pintu mobil Andra. Andra tidak langsung melajukan mobilnya kembali. Dia menunggu sampai Nessa benar-benar masuk rumah. Andra terus memandang punggung Nessa yang menghilang di balik pintu rumahnya. Andra hanya menggeleng sambil menghela napas panjang. Hanya dengan cara ini, Andra berharap bisa mendapat jawaban atas pertanyaan yang mengganggu pikirannya selama tiga tahun, mendekati Nessa kembali. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN