Andra memenuhi janjinya pada Febian bahwa akan mengisi untuk acara dalam konser Soul of Music. Andra sampai Jakarta pagi hari tanpa Kiara. Kakaknya itu benar-benar tidak bisa dibujuk supaya mau ikut ke Jakarta. Dari sStasiun, Andra mencari alat transportasi sendiri menuju tempat penginapan yang lokasinya berada tidak jauh dari tempat konser diadakan. Febian sangat menyesal tidak bisa menjemput Andra di Stasiun dikarenakan ada pekerjaan penting yang menuntut untuk segera diselesaikan di kantornya.
Menebus rasa bersalahnya itu, Febian sudah memesankan penginapan terbaik dan ternyaman untuk Andra selama berada di Jakarta. Jadi Andra tidak perlu repot-repot mencari tempat penginapan. Setelah istirahat sebentar, siang menjelang sore hari Andra diajak oleh Febian untuk mengikuti acara GR. Teman-temannya yang lain sudah menunggunya di lokasi acara. Mengobrol sebentar seputar acara konser musik Soul of Music sekaligus membicarakan beberapa lagu yang akan mereka bawakan nantinya, Andra langsung diajak ke panggung untuk melakukan sound check.
“Lo mau battle nggak, Dra?” tanya salah seorang panitia acara yang juga teman kuliah Andra, menawarkan untuk bermain drum bersama drummer band-band papan atas.
“Jangan lah. Emangnya aku siapa?” jawab Andra merendah, duduk di sebuah kursi kecil menghadap set drum dan mulai memutar-mutar stik drumnya.
“Serius gue. Mau ya? Sama Yoyo dan Hendi. Satu lagu aja. Okey?” Temannya itu menyebut nama-nama drummer favorit Andra.
Andra berpikir sejenak. Dia merasa rendah diri jika harus satu panggung dengan idola-idolanya itu. “Oke lah boleh. Tapi aku minta maenin satu lagu ya, seperti yang aku bilang di chat kemaren,” jawabnya diiringi senyum tipis khas Andra.
Irfan, temannya itu hanya mengacungkan jempol, lalu melaporkan pada panitia hasil diskusinya dengan Andra. Sepeninggal Irfan, Andra langsung menggebuk drumnya membentuk irama intro sebuah lagu. Beberapa orang yang berada di lokasi tak jauh dari Andra sedang menggebuk drumnya sampai terheran-heran dengan permainan drum Andra yang permainannya tidak kalah bagus dari drummer-drummer papan atas tanah air. Andai saja Andra melanjutkan karir bermusiknya, mungkin seluruh Indonesia telah mengenalnya sebagai drummer yang diperhitungkan.
Ketika turun dari panggung, Andra melihat seorang perempuan sedang celingukan di tenda-tenda yang disediakan khusus untuk para artis pengisi acara. Andra berdeham pelan kemudian bertanya ramah. “Cari siapa Mbak?”
Perempuan yang ditegurnya tidak juga menoleh apalagi menjawab pertanyaan Andra. “Mbaknya cari siapa? Mungkin bisa saya bantu.” Andra menegur sekali lagi.
Perempuan tadi menoleh, menghentakkan kaki kanannya dengan penuh kekesalan. “Berisik tau. Ganggu orang lagi kerja aja!”
Andra memundurkan wajahnya dengan kening berkerut. “Emang mbak lagi cari tendanya artis siapa?” tanyanya terus karena penasaran akibat gelagat aneh perempuan berkucir kuda yang kembali membelakanginya.
“Ck, saya mau wawancara artis pendukung acara ini. Siapa aja deh, terutama Rossa. Emangnya situ mau bantuin saya dengan gantiin kerjaan saya? Enggak 'kan? Ya udah diem aja, nggak usah ganggu-ganggu, apalagi kepoin urusan saya. Sana, jauh, jauh!”
Andra hanya bisa membuka mulutnya tanpa mampu berkata apa-apa mendengar perempuan di hadapannya ini nyerocos sepanjang rel kereta api.
Belum sempat Andra mencerna apa yang baru saja didengarnya, perempuan tadi berbalik badan, menghadap pada Andra sepenuhnya dan mendesiskan nama Andra. Gadis itu lantas menangkup mulutnya sendiri dengan telapak tangannya. “Andra? Kamu Andra kan?” tanyanya sekali lagi.
Sadar siapa yang sedang menyebutkan namanya dengan suara cukup kencang, kedua bola mata Andra terbelalak lebar. “Silvia.” Ucap Andra lirih sambil berdecak sebal karena dia masih sangat mengingat dengan baik nama gadis yang pernah membuatnya kesal tanpa alasan itu.
Saat Andra membalikkan tubuhnya untuk bergegas meninggalkan Silvia, beberapa teman bandnya berjalan tergesa mendekatinya.
“Ini dia Andra. Lo ke mana aja? Abis jiar ngilang.”
Andra menggeleng tanpa menjawab sepatah katapun. Pikirannya terlalu penuh memikirkan hari buruk seperti apa yang akan Andra lalui jika bertemu dengan Silvia di sini.
“Oya, Dra. Ini mbak dari stasiun tv swasta yang mau wawancara kita. Oya, mbak ini teman kita yang mencetuskan tema acara konser musik ini menjadi Musik Untuk Sahabat. Silakan kalau mbaknya mau wawancara dia.”
Febian mempersilakan Silvia masuk ke dalam tenda yang sedari tadi diintip oleh Silvia. Dengan berat hati, akhirnya Andra mau diwawancara oleh Silvia. Gadis itu tetap tersenyum ceria, meski Andra menatapnya dengan tatapan siap mencekiknya. Semakin sebal Andra, Silvia semakin tertarik untuk mengenal lebih jauh karakter orang yang tidak menyukainya tanpa alasan itu. Selesai wawancara, Andra bergegas keluar dari tenda. Entah kenapa ruangan seluas apa pun bisa menjadi terasa begitu sesak jika dia harus berhadapan apalagi berdekatan dengan Silvia.
“Andra! Tunggu!” teriak Silvia sambil berlari kecil mengikuti langkah panjang Andra.
“Kamu kenapa segini alerginya sih sama aku? Aku tuh jadi ngerasa kayak penyakit yang bisa menular hanya melalui udara buat kamu. Aku salah apa sama kamu, Dra?”
Andra mendengus kesal lalu duduk menyandar pada pilar besi panggung. Silvia masih terus mengikutinya. Dia tidak akan berhenti sampai Andra memuaskannya dengan memberi jawaban yang bisa diterima oleh akal sehatnya.
Seingat Silvia dia sama sekali tidak pernah bermasalah serius dengan Andra. Namun sikap Andra saat menghadapinya seolah di masa lalu Silvia itu telah membuat kesalahan terbesar dan tak termaafkan.
“Mending kamu jauh-jauh. Jakarta 'kan luas, kenapa juga mesti ketemu kamu di sini,” Andra mendecak sebal lalu membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya dengan ujung sepatunya. Andra menggumam tidak jelas di akhir kalimatnya. Membuat Silvia harus mendekatkan posisi duduknya untuk bisa mendengar dengan jelas gumaman Andra.
“Kamu ngomong apa, Dra?” tanya Silvia dengan wajah bingungnya.
“Bukan urusanmu. Udah sana kamu wawancara artis atau siapa kek. Ngapain masih di sini?”
Silvia menggeleng dan memilih tetap bertahan duduk sampai Andra bisa diajak berbicara baik-baik. Ada pertanyaan yang sedari tadi ingin ia tanyakan pada Andra tapi kurang pantas kalau harus dijadikan konsumsi publik. Jadi Silvia memutuskan mengajukan pertanyaan itu di luar acara wawancara.dan tidak direkam tentunya.
“Urusan kita belum selesai, Dra,” ujar Silvia dengan tegas.
“Urusan apa? Aku nggak pernah merasa ada urusan sama kamu.”
“Terus kenapa kamu bawaannya kesel terus tiap kali lihat aku.”
“Siapa bilang? Ge-er kamu!”
Andra membuang muka tidak melanjutkan bertatap mata langsung dengan Silvia. Dia masih kesal pada gadis itu setiap kali teringat kalimat penghinaan yang diucapkan oleh Silvia beberapa waktu yang lalu. Kalimat sederhana dari Silvia yang ditujukan padanya telah memperkecil kesempatan berdamai dengan Silvia.
“Kalau temen kamu pernah meninggal karena sakaw, berarti ada kemungkinan kamu juga pernah nyoba 'makek' dong, Dra?” tanya Silvia tiba-tiba, saat tercipta jeda diantara mereka. Silvia tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia bahkan tidak peduli jika nantinya Andra akan semakin kesal padanya.
Andra menoleh, menatap Silvia yang melontarkan pertanyaan mengejutkan itu dan ketar-ketir menunggu jawabannya dari Andra. Silvia kira laki-laki itu akan marah besar karena tersinggung. Nyatanya Andra malah mengangguk pelan. “Iya pernah makek,” jawabnya dingin lalu beranjak pergi.
Silvia kembali mengikuti Andra. Dia tidak akan lelah sebelum Andra menjawab setiap pertanyaan yang diajukannya untuk Andra. “Itu sebabnya kamu mau ikut mengisi event musik ini?” Silvia meraih tangan Andra agar laki-laki itu menghentikan langkahnya.
“Tujuan aku cuma pengen mengenang mereka yang telah mendahului kita. Juga menyampaikan pada generasi muda kalau n*****a itu jahat dan membunuh. Aku nggak peduli meski nggak dibayar sekalipun dalam event ini. Yang penting aku bisa menyuarakan pesan moralku di sini, yang pasti akan ditonton oleh ratusan bahkan ribuan anak muda. Kamu butuh informasi apa lagi untuk berita komersial kamu?”
Andra menatap Silvia dengan tajam hingga gadis itu ketakutan lantas melepas pegangan tangannya di pergelangan tangan Andra.
“Siapa teman-teman yang ingin kamu kenang dan membagi kisah mereka di event musik bergengsi ini?” tanya Silvia.
“Mereka tiga sahabatku yang telah meninggal karena n*****a. Semuanya berasal dari keluarga kalangan menengah ke atas. Anak pejabat, anak pengusaha sukses, dan anak pejabat tinggi sebuah perusahaan BUMN. Mereka meninggal sebelum usianya mencapai 20 dan 30 tahun. Yang dua orang meninggal tepat di depan mataku, yang satu lagi aku cuma dapat informasinya dari temanku yang kebetulan masih kontak sama aku.”
Setelah menjawab pertanyaan terakhir dari Silvia, Andra meninggalkan Silvia yang masih diliputi rasa terkejut karena mendengar kalimat terpanjang yang pernah Andra ucapkan padanya. Dari cara Andra menyampaikan perasaannya tadi, Silvia bisa merasakan rasa kehilangan yang begitu mendalam dalam tatapan Andra. Kehilangan sahabat untuk selama-lamanya rasanya sama menyakitkannya dengan kehilangan salah satu anggota keluarga.
Malam harinya, Andra dan teman-teman bandnya tampil dengan menyanyikan sebuah lagu dari Tipe X yang berjudul Selamat Jalan sesuai permintaan Andra untuk mengenang sahabat-sahabatnya. Silvia masih bertahan di tempat konser, selain karena memang tugasnya belum selesai dan dia juga ingin melihat penampilan Andra.
“Lagu ini kami persembahkan untuk sahabat kami, Bobby, Harqi, dan Fero. Tiada hal lebih indah selain saat kita berada dalam canda dan tawa, sedih dan luka yang kita lewati bersama. Semoga kalian tersenyum di atas sana untuk kami,” ucap vokalis band, lalu musik mulai melantun.
Di layar proyektor besar di atas panggung menampilkan foto-foto kenangan teman-teman Andra yang nama-namanya disebutkan oleh vokalis tadi. Ada juga foto-foto yang menunjukkan bagaimana kesadisan n*****a dalam merusak masa depan anak bangsa. Siapa pun yang mendengarnya pakai hati, pasti bisa merasakan ada emosi yang besar di setiap gebukan drum yang dimainkan oleh Andra.
Turun dari panggung, Silvia kembali menghalangi langkah Andra yang hendak masuk tenda. Andra menoleh malas. Lewat tatapan mata, Andra ingin menyampaikan pada Silvia untuk tidak mengganggunya lagi. Silvia mengatupkan kedua bibirnya, ingin menyampaikan suatu hal tapi ragu.
“Apa lagi?” Andra bertanya dengan suara rendah tanda dia sudah sangat malas menghadapi Silvia. Andra benar-benar sangat lelah saat ini dan dia tidak ingin berinteraksi dengan siapa pun, apalagi Silvia yang memang sumber utamanya.
“Bisa nggak kita berteman? Aku rasa kita nggak punya masalah besar yang membuat kita mesti musuhan, Dra. Toh mbak Kiara nggak kenapa-kenapa 'kan? Malah kata abangku mbak Kiara akan melangsungkan pernikahan dengan bang Dastan beberapa bulan lagi.”
“Berteman? Kenapa kamu mau berteman dengan seseorang seperti aku? Aku cuma orang asing buat kamu. Memangnya kamu nggak takut punya teman kayak aku?” ucap Andra setelah terdiam beberapa saat. Apa yang dikatakan Silvia ada benarnya juga. Seharusnya Andra tidak perlu lagi mengenang suatu hal yang berdampak buruk pada perasaannya sendiri. Semakin dia merasa kesal pada Silvia, itu artinya memberi kesempatan pada otak dan perasaannya untuk memikirkan gadis itu.
“Kenapa aku mesti takut? Kamu nggak kelihatan seperti orang jahat,” jawab Silvia tulus.
Andra tersenyum sinis lalu menjawab, “aku pernah menyentuh n*****a dan alkohol,” jawab Andra lirih lalu dia membuang muka.
“Hal itu nggak membuat kamu tampak hina atau semacamnya,” jawab Silvia, menunjukkan bahwa dia sungguh-sungguh ingin berteman dengan Andra.
“Yakin hal itu nggak akan jadi masalah buat kamu kalau nantinya kita berteman?”
Silvia menggeleng lalu menyodorkan tangan kanannya diiringi senyum tulus yang terlukis di pipinya. Tepat di saat Andra hendak menyampaikan jawaban setuju untuk berteman dengan Silvia, ponsel yang berada di saku celana jeans-nya bergetar. Sebuah panggilan telepon dari Nessa. Membuat Andra harus sedikit menyingkir dari hadapan Silvia untuk menerima panggilan telepon tersebut.
Di telepon, Nessa hanya ingin memastikan Andra tidak sedang melakukan hal menyimpang seperti waktu sekolah dan kuliah dulu. Nessa dihantui perasaan resah ketika Andra berpamitan akan pergi ke Jakarta untuk mengisi acara dalam festival musik. Musik dalam benak Nessa berarti tak jauh-jauh dari n*****a dan minuman keras. Nessa sangat khawatir Andra khilaf lalu mencoba kembali hal-hal yang sudah ditinggalkannya beberapa tahun yang lalu.
Selesai menerima panggilan telepon, Andra kembali ke tempatnya tadi berbicara dengan Silvia. Dia merasa bersalah karena sudah membiarkan seorang perempuan menunggunya. Namun, gadis itu sudah tidak ada di tempat. Andra bertanya pada beberapa panitia yang berada di sekitar tempat tadi mereka mengobrol, ternyata Silvia sudah meninggalkan lokasi acara bersama kru televisinya.
~~~
^vee^