Setelah pertemuannya dengan Silvia di lokasi konser Soul of Music, Andra tidak pernah lagi bertemu Silvia. Namun, ketenangan hidupnya mulai terusik untuk mencari tahu lebih jauh tentang gadis reporter cerewet. Ada sesuatu hal dalam diri Silvia yang mampu membuat Andra penasaran. Belum tahu apa hal yang menggelitik itu, jadi iseng-iseng berhadiah Andra mendadak jadi stalker.
Di waktu luangnya, Andra menyempatkan untuk mengecek akun i********: Silvia, berharap ada postingan foto terbaru di akun Silvia. Jika sudah melakukan kegiatan baru itu, Andra seperti sedang hibernasi dari kehidupan nyata. Silvia pun begitu, diam-diam juga melakukan seperti yang Andra lakukan. Namun, komunikasi mereka hanya sebatas itu. Tak satupun dari keduanya berinisiatif untuk meningkatkan jenjang komunikasi mereka.
Aktivitas baru Silvia itu membuat Geraldy menaruh perasaan curiga pada Silvia. Geraldy sering menatap kesal pada Silvia saat keduanya sedang menghabiskan waktu berdua di sebuah kafe tak jauh dari tempat kerja Silvia karena mereka janji ketemuan setelah Silvia menyelesaikan urusan di kantornya. Namun, gadis berambut ikal itu malah sibuk dengan ponselnya.
“Lagi chat sama siapa sampai senyum-senyum gitu?” tegur Geraldy saat merasa Silvia mulai mengacuhkannya.
“Lagi lihat postingan teman aku,” jawab Silvia sekenanya.
“Siapa? Coba lihat!”
Silvia segera menjauhkan ponselnya dari Geraldy. Kesal dengan sikap kekasihnya yang mencurigakan, Geraldy berdecak kesal lalu meneguk minuman bersodanya untuk meredakan emosi yang siap meluap kapan saja. Posesif yang menjadi sifat dasar laki-laki itu seketika muncul ke permukaan.
“Yank! bisa nggak kalau kita lagi quality time gini handphone kamu disimpan dulu? Pentingan mana aku daripada postingan teman kamu? Kan nanti bisa lihat di rumah aja waktu lagi nggak sama aku?”
“Iya, iya. Nggak usah sampe ngomel kesel gitu juga kali.”
“Enggak, aku nggak kesel. Aku cuma pengen menghabiskan waktu sama kamu tanpa gadget. Kita udah sepakat kan untuk menyimpan gadget dan pekerjaan di dalam tas masing-masing saat sedang berdua?”
“Oke, fine! Kamu yang bener dan aku yang salah, puas?” Silvia mendengkus pelan lalu memasukkan ponsel ke dalam tas ranselnya.
“Kok jadi balik kamu yang marah sekarang?”
“Aku nggak marah. Nih aku senyum pepsodent,” jawab Silvia lalu menyeringai terpaksa tepat di depan wajah Geraldy.
Geraldy hanya menggeleng beberapa kali sambil tersenyum. Bukan senyum kemenangan, tetapi senyum terluka. Geraldy memandang ke dalam mata Silvia. Pikirannya berputar ke dimensi satu setengah tahun lalu. Memori saat dia mengenal seorang gadis sederhana, lincah dan penuh semangat seperti Silvia.
Pertemuan mereka sederhana. Geraldy bertemu Silvia secara tidak sengaja. Benar-benar tidak terduga. Silvia berlari dari sebuah taman kota menuju trotoar dan terduduk di bangku taman. Punggungnya berguncang hebat. Wajahnya tertutup oleh kedua telapak tangannya. Geraldy yang kebetulan melintasi taman kota itu, tiba-tiba tergerak hatinya untuk menghentikan motornya. Setelah melepas atribut yang ia gunakan seperti helm dan jaketnya, Geraldy memberanikan diri menghampiri Silvia.
“Sore yang cerah nggak pantes diisi dengan hujan tangisan,” ujar Geraldy.
Silvia terhentak lalu menghapus aliran air matanya. Geraldy menyodorkan sapu tangan bersih yang selalu tersedia di dalam tasnya.
“Thanks,” jawab Silvia menolak sapu tangan tersebut. Dia lebih memilih mengeluarkan sebungkus tisu dari dalam tasnya sendiri.
Geraldy tersenyum lalu memasukkan kembali sapu tangannya ke dalam tas. “Kamu sendirian aja?” tanya Geraldy selanjutnya.
Silvia menggeleng, “tadinya rame-rame, tapi sekarang udah bubar,” jawab Silvia dengan suara parau.
“Perkenalkan, namaku Geraldy. Kamu?” Geraldy mengulurkan tangannya.
Silvia tidak serta merta menerima permintaan perkenalan yang diajukan oleh Geraldy. “Aku bukan ancaman. Aku bisa jadi teman kalau kamu mengizinkan,” ujar Geraldy tulus.
Merasa tidak enak akhirnya Silvia menyambut perkenalan Geraldy dengan senyum tipis. “Silvia,” jawabnya kemudian.
Geraldy yang sore itu hampir mati kelelahan karena harus mengurus pencairan kredit calon nasabahnya, mendadak mendapat nyawa baru setelah berjabat tangan dengan tangan Silvia yang sejuk. Senyum tipis Silvia menjadi relaksasi bagi tubuhnya yang hampir mati tegang akibat tujuh jam terakhir berada di atas motor mengukur panjang jalanan kota Jakarta.
Semenjak perkenalan itu, Geraldy berusaha mendekati Silvia. Bukan hal yang susah bagi seorang laki-laki seperti Geraldy mendapatkan hati Silvia. Dia memiliki segala hal yang diimpikan oleh banyak perempuan di luar sana, yang kadang tanpa sadar menelan salivanya saat menatap Geraldy dengan kemeja slim fit melekat pas di tubuh atletisnya, lengkap dengan celana bahan dan sepatu pantofel mengkilatnya.
Pendekatan yang dilakukan oleh Geraldy kepada Silvia tidak membutuhkan waktu yang lama. Sekali Geraldy mengungkapkan perasaannya, Silvia yang memang butuh sosok untuk mengisi kekosongan hatinya langsung menganggukkan kepala menerima pernyataan cinta dari laki-laki itu. Namun, masuk lebih jauh ke dalam kehidupan Silvia tidak semudah saat Geraldy melakukan pendekatan dan memenangkan hati gadis itu.
Hingga hubungan mereka hampir memasuki anniversary yang pertama, Silvia masih menutup diri tentang dirinya, tidak pernah bercerita tentang keluarganya dan tidak pernah memperkenalkan Geraldy pada salah satu teman maupun kerabat dekat Silvia. Membuat Geraldy berinisiatif untuk bersikap lebih posesif pada Silvia dan mencari tahu sendiri tentang Silvia dan kehidupannya yang penuh misteri menurut Geraldy. Sayangnya sikap itu malah membuat Silvia mulai merasakan ketidaknyamanan dalam hubungan mereka, terutama jika Geraldy memaksanya untuk memperkenalkan dia dengan Alvino. Bukan hal mudah bagi Silvia untuk mewujudkan keinginan Geraldy tersebut. Silvia masih menjadi misteri bagi Geraldy.
“Besok aku mau hunting foto. Kamu jadi ikut?” tanya Silvia di sela lamunan Geraldy.
Tak lantas menjawab, Silvia menggoyangkan tangannya di depan wajah Geraldy. Laki-laki itu gelagapan, “ya? Apa Yang?” tanyanya bingung.
“Besok aku mau hunting foto. Kamu jadi ikut?” malas-malasan Silvia mengulang kembali pertanyaannya.
“Iya jadi. Aku jemput ya?” Geraldy salah tingkah menanggapi pertanyaan Silvia.
Silvia mulai tak sabaran, berdecak cukup keras, “lagi ngelamunin apa sih? Kalau aku yang ngelamun pas kita lagi berdua kamu larang-larang,” begitu protesnya menanggapi jawaban Geraldy.
Geraldy menahan senyum melihat ekspresi Silvia saat ini. “Iya, iya..., maaf sayang. Trus gimana? Mau ya dijemput?” tanyanya lembut sambil menyubit pelan salah satu pipi Silvia.
“Nggak usah. Emmh ..., Kita ketemuan di tempat aja,” jawab Silvia ragu.
“Kenapa? Takut ketahuan abang kamu? Kita udah satu setengah tahun pacaran loh. Mau sampai kapan harus diam-diam kayak gini? Kita bukan sedang berada di usia abege labil yang pacaran aja backstreet, Via.”
Silvia menggeleng lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Masalahnya bukan itu, Ger. Waktunya lagi nggak tepat. Abang aku tuh kayak lagi penuh tekanan banget hidupnya. Aku takut aja dia lagi sensitif trus berimbas ke hubungan kita,” jawabnya lesu.
Pada akhirnya Geraldy mendesah pasrah, kali ini lagi-lagi dia mengalah menghadapi sifat keras kepala Silvia. “Ya udah, aku jemput di gapura kompleks aja,” jawabnya berdamai dengan keadaan.
Memang berat, tapi tetap harus kuat. Berjuang saat ini lebih penting daripada mengalah begitu saja pada keadaan. Geraldy berharap suatu saat nanti usahanya tidak akan mengkhianati hasil.
Silvia mengangguk setuju. “Gitu cakep. Sekarang kita pulang ya, udah mau jam sepuluh malam. Nggak enak sama abang aku.”
Geraldy mengangguk patuh. Keduanya lalu beranjak dan berjalan beriringan menuju parkiran motor yang letaknya berada di belakang kafe.
Di atas motor yang sedang melaju, Silvia lebih banyak diam. Hanya memeluk pinggang pacarnya itu, tapi tidak terlalu erat seperti biasanya. Perasaan Geraldy yang sensitif terusik dengan sikap Silvia yang hari ini aneh, menurutnya.
“Aku bau ya, Yang? Kamu kayak jaga jarak gitu boncengnya?” tanya Geraldy saat menghentikan laju motornya di sebuah persimpangan, karena lampu lalu lintas menyala merah.
“Enggak,” jawab Silvia lalu mengeratkan pelukannya. Geraldy tersenyum dan mengusap punggung tangan Silvia dengan telapak tangannya. Perlakuan sederhana itu mampu menghangatkan hati Silvia dan membuatnya kembali merasa nyaman bersama Geraldy.
Seperti yang sudah disepakati semalam, Geraldy sudah berada di samping gapura kompleks perumahan Silvia pukul tujuh pagi. Silvia bergegas keluar rumah dengan mengendap seperti maling, agar tidak mengganggu kenyamanan tidur abangnya, yang entah semalam pulang pukul berapa.
Sebenarnya Silvia sudah meminta izin pada Alvino sejak beberapa hari yang lalu, tentang acara Sabtu paginya yang di luar jam kerjanya ini. Namun, Silvia tidak memberitahukan ada acara apa dan dengan siapa ia akan berangkat dari rumah. Lagi-lagi alasan Silvia karena malas memberi penjelasan pada Alvino. Silvia masih belum begitu yakin memperkenalkan Geraldy sebagai kekasihnya. Sedangkan berbohong mengatakan Geraldy hanya temannya, tidak mungkin dia lakukan, apalagi mengingat jika selama ini teman-teman Silvia selalu berasal dari circle atau lingkungan yang sama dengannya, seperti teman sekolah, teman kuliah atau teman kerja. Sedangkan Geraldy bukan termasuk salah satu dari circle Silvia selama ini. Jelas Alvino akan menaruh curiga padanya.
Sesampainya di belakang motor Geraldy, Silvia melompat ke boncengan motor untuk mengejutkan Geraldy. Geraldy hanya tertawa seraya memberikan helm untuk digunakan oleh Silvia.
“Ranselnya taro depan aja, biar nggak sakit pundak kamu,” ucap Geraldy seraya menghidupkan mesin motornya. Silvia menyerahkan ransel hitam berisi kamera dan peralatan memotretnya.
“Beratnya ...,” komentar Geraldy. Silvia hanya tertawa lalu menepuk pundak Geraldy agar segera melajukan motornya.
Hari ini Silvia akan melakukan pemotretan foto pre wedding kenalan teman kantornya. Alasan itu yang juga tidak ia ungkapkan pada Alvino. Dia ingat betul bagaimana abangnya itu mewantinya agar tidak melakukan pemotretan semacam itu. Namun begitulah Silvia, gadis yang teguh dan keras kepala saat ingin melakukan hal yang berhubungan dengan passion-nya.
Sesampainya di tempat yang telah disepakati, Silvia dibantu oleh Geraldy mulai menyiapkan persiapan memotret yang dibutuhkan. Sejak menjalin hubungan dengan Silvia, otomatis Geraldy tahu sedikit banyak tentang kamera dan memotret yang menjadi hobi kekasihnya. Bagaimana tidak, jika setiap kali kencan yang dibicarakan oleh Silvia adalah kamera, memotret dan hal-hal yang berbau fotografi. Jika ada pameran fotografi, Silvia akan menggeret kekasihnya itu untuk menemaninya. Membuat Geraldy dipaksa tertular hobi fotografi juga seperti Silvia.
Sebenarnya bukan fotografi itu sendiri yang menarik perhatian Geraldy, tapi caranya Silvia jika sudah membicarakan soal fotografi. Mata gadis itu berkilat-kilat seperti flash kamera, penuh semangat, dan tentu akan membuat Silvia berbicara panjang lebar tanpa diminta. Dan Geraldy menyukai semua itu, binar mata Silvia, suaranya yang terkadang terdengar serak, terutama caranya berbicara, membuat Silvia terlihat seperti perempuan cerdas di mata Geraldy. Dibandingkan dengan perempuan-perempuan lain yang berlomba-lomba demi mendapatkan perhatian darinya.
Satu jam telah berlalu. Silvia meminta waktu untuk istirahat. Ia merebahkan tubuhnya di paha Geraldy yang terjulur di atas padang golf nan hijau. Tangan Silvia terulur ke atas untuk memotret langit yang begitu bersahabat hari ini. Warna biru langit bercampur dengan awan putih seperti kapas. Geraldy membelai lembut rambut Silvia yang selalu setia diikat kucir kuda.
“Nggak minum dulu?” tanya Geraldy menyodorkan sebotol air meneral pada Silvia.
Gadis itu beranjak, memposisikan dirinya duduk bersila di samping Geraldy, lalu menerima botol air mineral tersebut. “Makasih,” ujarnya setelah meneguk air dari dalam botol.
“Abis ini ke mana?” tanya Geraldy saat Silvia memerhatikan hasil pengambilan gambar hari ini.
“Take foto sekali lagi, terus pulang. Kenapa? Kamu ada acara lain setelah ini?”
“Enggak ada. Nonton yuk,” ajak Geraldy.
“Boleh, tapi aku nggak mau ya nonton horor!” ancam Silvia yang disambut tawa oleh Geraldy.
“Kamu tuh, biasanya ngeliput berita pemboman, pembunuhan, demonstrasi, masa cuma horor aja takut.”
Silvia mencebik lalu membalas ledekan Geraldy. “Kalau ngeliput doang kan nggak pakek instrumen musik mencekam, adegan mengejutkan, apalagi yang udah mati tiba-tiba hidup lagi. Nah kalau di film semua itu bisa saja terjadi. Bikin kagetnya itu yang nggak tahan, Ger,” jelas Silvia.
“Iya, iya. Kita nggak nonton horor kok. Kita nonton film kamu hari ini. Gih selesein motretnya, aku udah laper, kamu juga belum makan loh.” Silvia mengangguk cepat hinggak kucir rambutnya bergerak seiring anggukan kepalanya.
Silvia beranjak dari duduknya, melanjutkan kembali aktivitas yang mampu mengalihkan dunianya. Geraldy memandang gerak-gerik Silvia dari tempatnya duduk. Gestur tubuh Silvia menunjukkan seolah dia benar-benar menyatu dengan kamera yang berada di tangannya. Jika boleh memilih, rasanya ingin sekali Geraldy menjadi kamera yang selalu dipeluk, digenggam dan dirawat oleh Silvia. Geraldy sendiri terkadang tidak mengerti dengan dirinya sendiri yang bisa dikatakan begitu tergila-gila pada gadis itu. Sejujurnya, hati Silvia juga merasa nyaman, hangat dan terisi penuh oleh rasa cinta dan kasih sayang yang tak bisa ia dapatkan dari abang maupun mendiang orang tuanya setiap kali Geraldy tersenyum dan selalu berada di dekatnya, ditambah lagi karena kekasihnya itu sangat mendukung hobi dan pekerjaannya. Sebisa mungkin dia menepis rasa jengkel pada Geraldy atas sikap laki-laki itu yang menurutnya terkadang suka berlebihan dalam menghadapi setiap hal yang berkaitan dengan hubungan mereka.
Beberapa kali Silvia mengambil gambar dengan kameranya. Dia tersenyum puas saat melihat hasilnya melalui layar kamera. Kepalanya berputar mencari sudut lain untuk pengambilan gambar berikutnya hingga tatapan matanya bertemu dengan Geraldy yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Dia mendekat setelah mendapat lambaian dari Geraldy yang mengintruksi supaya mendekat padanya. Geraldy menyerahkan ponsel Silvia yang berdering sejak setengah jam yang lalu. “Bang Vino,” bisik Geraldy seraya menyerahkan ponsel Silvia.
Silvia menerima dan sedikit menjauh dari orang-orang salon yang sedang merapikan peralatan make up dan pakaian yang digunakan dalam kegiatan foto pre wedding. Geraldy tetap mengikuti pergerakan Silvia dan menunggui hingga gadis itu selesai dengan urusan teleponnya.
“Ya Bang? Nanti sorean pulangnya. Via lagi di Kebayoran, maen ke rumah temen.”
Silvia menghela napas berat setelah mengakhiri panggilan teleponnya. Geraldy yang sempat mendengar sepintas percakapan Silvia dengan abangnya itu tidak bisa hanya tinggal diam tanpa mengomentari sikap kekasihnya itu yang lagi dan lagi menutupi momen kebersamaan mereka dari Alvino.
“Kenapa nggak jujur aja sama abang kamu, Via?” tanya Geraldy setelah Silvia mengakhiri percakapannya dengan Alvino.
Silvia menggeleng. “Aku masih sayang sama kameraku. Cukup sekali bang Vino merusak kameraku gara-gara nggak suka lihat aku jadi juru foto wedding,” jawab Silvia lalu tersenyum masam. Geraldy tahu betul bagaimana air mata Silvia tidak berhenti mengalir saat menceritakan kamera kesayangannya yang dirusak oleh Alvino. Meski abangnya itu sudah menggantinya, bahkan dengan yang lebih baik dari yang sudah rusak, ternyata tidak cukup menghapus kesedihan dan rasa kehilangan yang dirasakan oleh Silvia.
Namun, bukan itu yang ingin dibahas oleh Geraldy saat ini. “Bukan soal aktivitas kamu sekarang, tapi kalau kamu sekarang lagi bareng sama aku. Kapan kamu mau jujur soal aku sama abang kamu?”
Geraldy mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang sudah-sudah. Kali ini diucapkannya pelan tapi tegas.
Silvia menunduk, memejamkan mata. Efek nada bicara Geraldy yang pelan tapi terdengar tegas cukup membuat jantungnya berdebar ketakutan. Detik berikutnya dia mengangkat kepala, kedunya matanya menatap Geraldy nanar. “Kapan kamu berhenti bertanya soal itu lagi?”
Geraldy menyingkir dari hadapan Silvia. Dia tidak lagi melanjutkan perbincangan soal sensitif itu lagi. Mungkin detik itu seharusnya dia bertekad untuk berdamai dengan kekasihnya dengan cara tidak membuat Silvia merasa terdesak setiap membahas hal yang berkaitan dengan Alvino, jika tidak ingin hubungannya dengan Silvia selalu diselimuti dengan pertengkaran dan kandas begitu saja karena terus-terusan meributkan hal yang sama dari waktu ke waktu.
~~~
^vee^