Episode 9 : Dipecat!

1503 Kata
“Kalau dipikir-pikir, Pak Edward ini aneh. Masa dia alergi wanita sampai segitunya? Seolah-olah, dia itu lahirnya jatuh dari langit, ‘tebluk’ begitu? Memangnya, ibu Pak Edward bukan perempuan? Enggak mungkin juga yang lahirin Pak Edward justru bapaknya, atau malah Pak Edward justru lahir dari ‘gedebog’ (batang) pisang yang dibelek,” batin Embun yang kembali fokus membuat adonan semen dan pasir. Kini, tak sama dengan sebelumnya, ia membuatnya secara manual, tak lagi menggunakan molen. “P-pak, Edward … maaf!” Danang berusaha menjelaskan. “Kenapa Embun sampai ngomong, sih? Kan sudah dibilangin kalau Pak Edward ini anti wanita!” sesalnya dalam hati dan merasa kecolongan atas kecerobohan yang Embun lakukan. Edward langsung mengalihkan tatapannya kepada Danang dengan begitu cepat tak ubahnya kilat. Tatapannya kelewat tajam lantaran ia kecewa kepada pria paruh baya bertubuh jangkung tersebut. “Maaf, Pak Edward!” Danang menunduk takut dan sungguh memohon. Pria berkulit sawo matang tersebut menjadi gemetaran hebat lantaran tatapan Edward kelewat tajam melebihi ketajaman mata elang yang sampai membuat Danang lupa bernapas untuk beberapa saat, terlepas dari Danang yang sampai tidak berani menatap Edward. Karena meski Edward anti wanita, tapi jika Edward sudah murka, Edward tak ubahnya tokoh Rahwana yang teramat angkara murka. “Saya tidak harus menjelaskan apa yang pernah saya jelaskan, kan?” tegas Edward masih menatap bengis Danang. Rasanya, ia ingin menelan pria tersebut hidup-hidup. Apalagi karena kecerobohan Danang, ia nyaris kehabisan napas layaknya sekarang. Danang yang tak sengaja melirik Edward dan mendapati tatapan bengis itu, refleks mundur teratur, ketakutan. “Maafkan saya, Pak. Ampun!”  Bulu roma Danang kompak berdiri saking takutnya Edward akan langsung mengusir Embun atau malah dirinya yang justru dipecat. Meski Danang terlihat sangat ketakutan, Edward telanjur kesal. Tak ada kata maaf apalagi kesempatan! “Kasihan, Pak. Dia tetangga saya dari kampung. Anaknya rajin, kok. Kelewat rajin malah. Adiknya banyak, masih kecil-kecil. Sedangkan ibunya juga sedang sakit,” ujar Danang yang bertutur sambil gemetaran. Danang bahkan masih belum berani menatap Edward. “Terus, masalahnya sama saya, apa? Masalah dia dengan saya apa? Saya ini bukan panti sosial, ya!” bentak Edward dengan nada yang masih terdengar lirih dan memang sengaja berjaga agar pekerja lain termasuk Embun yang sedang mereka ributkan, tidak sampai mendengarnya. “Dia butuh pekerjaan, Pak. Butuh banget! Apalagi di rumah lagi musim paceklik, kasihan dia enggak ada pekerjaan, adik-adiknya sampai jadi puasa rutin karena enggak ada makanan yang bisa dimakan! Lagi pula, asal dia rajin kerja, dan dia juga enggak makan gaji buta, semuanya oke, kan?” Danang masih berusaha menawar demi Embun si wanita teladan yang sudah sangat banting tulang. “Tapi dia wanit-ta!” Edward tak kuasa melanjutkan kata-katanya ketika Embun yang sedang mereka bahas, Edward dapati tengah mengangkat satu sak semen dengan sangat enteng. Embun menggendong semen tersebut di punggung dan membawanya ke tempat pengadukan semen berikut pasir. “Dia … dia sekuat itu? Dia segolongan sama nona Arina?” batin Edward tak percaya mendapati seorang Embun yang begitu perkasa. Tenaga Embun menyaingi pria bahkan mungkin lebih! Gilaa! Melihat Edward yang tampak begitu syok, mulut berbibir berisi pria itu sampai menganga, Danang yakin bosnya mulai percaya Embun memang pekerja keras. “Ya Alloh, Mbun … doakan Uwa biar bisa tetap kasih kamu kerjaan, ya. Biar Pak Edward izinin kamu kerja di sini!” batin Danang yang sungguh akan berusaha meluluhkan hati seorang Edward. Danang berdeham, mengatur suaranya sedemikian rupa agar lebih tertata. “Ini sudah siang menuju sore, tenaganya sudah mulai loyo. Asal Pak Edward tahu, kalau masih pagi, biasanya Embun kuat angkat dua sak semen sekaligus!” bisik Danang. Mendengar itu, Edward langsung mengernyit cepat disertai ia yang langsung menatap tajam Danang dengan sangat cepat. “Maksud kamu apa berkata seperti itu? Sudah tahu saya anti wanita! Kamu mau saya pecat juga?!” sergahnya tegas layaknya apa yang selalu Zack lakukan ketika bos besarnya itu sedang emosi. Deeeg! Danang langsung mengkeret. Nyalinya benar-benar hilang tak ubahnya kerupuk yang tersiram air panas. Apalagi, di hadapannya, wajah mereka hanya berjarak satu jengkal. Edward masih menatapnya dengan sangat tajam. Di mana, napas Edward terdengar sangat memburu, menandakan pria itu sungguh murka dan tak akan pernah mengampuninya. “Pecat dia sekarang juga!” tegas Edward yang sengaja mempercepat ucapannya ketika Danang membuka mulut dan ia yakini akan melakukan penawaran. “Kalau kamu tidak mau memecat dia, kamu yang akan saya pecat! Karena gara-gara dia,” ucap Edward yang sudah merasa semakin sesak. Tangan kirinya yang tidak menggenggam ponsel, refleks meremas dadaa lantaran di sana mendadak terasa sangat sesak. Seolah tak ada lagi stok oksigen yang tersisa. Edward sadar, pertemuannya dengan Embun membuat dadanya kembali terasa sangat sakit seiring napas bahkan stok oksigen di tubuhnya yang seolah semakin menipis. Belum lagi, buih keringat juga sampai bermunculan di sekitar kening kemudian berlinang membasahi pipi bahkan lehernya.  Keadaan Edward kini sangat berkeringat melebihi pekerja proyek yang sedang bekerja keras. Melihat Edward yang sampai pucat dan berkeringat hebat, Danang menjadi takut. Apalagi, tangan kanan Edward sampai menahan d**a kuat-kuat, selain Edward yang sampai mendadak membungkuk loyo, seolah-olah, Edward menahan sakit mendalam di sana. Edward menyeringai menahan sakit luar biasa di dadanya bersama napasnya yang semakin pendek. “Pak Edward, Bapak baik-baik saja?” tanya Danang hati-hati. Ia sampai agak menunduk demi memastikan keadaan wajah Edward yang kian menunduk dalam. Edward tak lagi bersin-bersin, tapi pria itu masih cegukan dan tampak mulai menggigil. “Lima menit. Lima menit dari sekarang, tolong hubungi saya. Pilih mana, kamu pecat dia, apa saya pecat kamu!” Edward berlalu di tengah kenyataannya yang terseok-seok sambil membungkuk. Kedua tangannya masih menahan d**a.  Tak hanya Edward yang kesakitan hanya karena mendapati Embun sungguh seorang wanita, terlepas dari Edward yang sampai tidak berani menatap Embun lagi. Sebab pilihan yang Danang dapatkan dari Edward juga membuat Danang gamang.  Bagaimana mungkin Danang tega memecat Embun, sedangkan Embun memiliki beban ekonomi sangat pelik? Namun, jika Danang tidak memecat Embun, Danang juga terancam dipecat! “Ya Alloh Gusti … ‘kepriwe kiye’ (bagaimana ini)?” gumam Danang yang jadi uring-uringan sendiri.  Danang bahkan sampai berkaca-kaca ketika pandangannya dipenuhi sosok Embun yang tengah bekerja sangat keras. Buih keringat Embun berjatuhan seiring kesibukan Embun mencampur adonan semen dan pasir. Edward yang masih terseok-seok berpikir, ia harus segera ke rumah sakit dan menjalani opname agar sakit yang ia rasa tidak semakin parah apalagi menyebar. Hanya saja, ketika Edward tak sengaja menatap kunci mobilnya untuk membuka mobil, saat itu juga Edward teringat sosok Embun.  Ketika Edward menoleh ke belakang untuk memastikan keadaan Embun, wanita itu masih mengaduk campuran semen dan pasir dengan sangat perkasa. Kedua tangan menahan gagang cangkul, sedangkan kaki yang dilindungi sepatu boot, kerap turut mengumpulkan campuran yang keluar dari tempat adukan. *** “A-aku, di … dipecat, Wa?” Embun melolotot tak percaya.  Topi yang awalnya Embun gunakan untuk mengurangi rasa panas sekaligus gerah dan dikipas kipas-kipaskan di depan leher, Embun jatuhkan begitu saja. Seperti dugaan Danang, Embun tak hanya syok, melainkan terpukul atas pemecatan yang baru ia sampaikan. “Mbun … Mbun. Sabar, ya. Sore ini mending kamu pulang saja. Uwa kasih tambahan pesangon.” Embun menggeleng cepat seiring air matanya yang seketika berlinang. “Enggak mungkin, Wa. Aku enggak mungkin pulang soalnya hutangku banyak. Aku harus kerja.” Melihat Embun yang terlihat sangat bingung sekaligus sedih, membuat hati Danang terasa teriris. “Mbun …?” “Memangnya Pak Edward beneran enggak bisa terima aku kerja di sini, Wa?” Embun menatap Danang penuh harap. Berharap, Danang masih bisa mengupayakan keputusan yang lebih baik agar Embun tidak sampai dipecat. Danang memalingkan wajah dan tampak begitu frustrasi. Tentunya, Embun juga tidak bisa memaksa Danang karena ia yakin, jika ia melakukannya, Danang akan berada di posisi sulit. “Ya sudah, Wa … enggak apa-apa aku dipecat. Aku mau langsung cari kerja ke tempat lain saja.” “Cari kerja ke mana?” “A … ngelamar kerja di proyek depan, kira-kira boleh enggak, ya?” Keputusan Embun sukses membuat Danang syok. “Jangan! Kalau kamu kenapa-napa gimana apalagi kamu enggak kenal mereka? Di sini itu banyak orang nakkal, jahat, Mbun!” Balasan Danang membuat Embun gundah gulana. Kedua jemari tangannya sibuk memilin kaus lusuh warna hitam yang sudah dipenuhi adukan semen dan pasir mengering.  “Gimana, yah?” gumam Embun benar-benar bingung. Saking bingungnya, ia membiarkan air matanya terus berlinang bahkan sampai dilapkan oleh Danang. “Enggak apa-apa, Wa. Sore ini juga aku mau langsung cari kerja. Kerja apa saja asal halal setimpal sama gaji. Tapi itu, Wa, tolong jangan lupa transferin uang aku ke kampung, ya. Soalnya tiga hari lagi, Ibu harus kontrol jalan.” Kini bukan lagi Embun yang menangis, melainkan Danang yang sampai terisak-isak tak tega. “Ya ampun, Wa … kenapa Uwa malah nangis. Duh, jangan gini, dong, Wa ….” “Maaf, Mbun. Wa beneran minta maaf.” “Lho, kenapa Uwa minta maaf? Sudah, Wa … sudah. Aku enggak apa-apa, Wa. Serius ….” Akankah Embun bisa menemukan pekerjaan yang bisa membuatnya tetap bertahan dan mampu mencukupi kebutuhan keluarganya? Atau, inilah awal kisah Embun dengan Gandra dan Gladia? Bersambung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN