Episode 7 : Antara Kenaikan Gaji dan Kompensasi

1664 Kata
“Apakah menghadapi Pak Edward lebih sulit dari membuang semen yang mengering di kulit, dan tak jarang membuat kulit gatal bahkan gudikan?” Episode 7 : Antara Kenaikan Gaji dan Kompensasi **** Edward menghela napas pelan sambil menatap siaga Zack. Bos besarnya itu tengah menatap saksama setiap tumpukan laporan yang ia berikan. Zack duduk sambil menyandar pada sandaran kursi megah yang bisa diputar sesuka hati. Gaya Zack terbilang santai, menandakan pria itu puas dengan kerja keras Edward. “Semakin hari, pengeluaran kita semakin kecil khususnya untuk urusan proyek,” ucap Zack sambil terus menatap saksama setiap keterangan yang ia baca. “Jika memang bisa lebih untung, kenapa tidak, kan, Bos?” balas Edward masih siaga. “Tapi jangan sampai ada pihak yang merasa dirugikan.” Zack meletakan map yang isinya baru saja ia periksa, di hadapannya dengan cukup melempar. Kini, ia memfokuskan tatapannya kepada Edward. “Biar bagaimanapun, sebagian dari rezeki kita merupakan hak mereka. Tuhan menitipkan rezeki tersebut untuk kita bagikan. Entah melalui usaha sekaligus lapangan kerja, atau justru amal, sodakoh!” tutur Zack penuh pengertian. “Ini si Bos kenapa, ya? Salah minum obat, apa kesambet lelembut? Kok mendadak alim gini?” pikir Edward yang menjadi bingung sendiri. Tatapannya yang menjadi goyah, kerap memastikan apa yang terjadi pada Zack. Pria itu masih memperhatikannya, dengan sangat serius. “Lalu, apa yang harus saya lakukan? Bos ingin saya melakukan apa?” tanya Edward tak mau berlama-lama dihakimi Zack. Karena meski hanya diam memandanginya, cara Zack memperhatikannya membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Zack tak lantas menjawab. Ia menunduk dan merenung, memikirkan apa yang kiranya harus ia lakukan. “Kita sudah mendapatkan banyak keuntungan. Jadi, daripada kita jauh-jauh mengamalkan keuntungan kita ….” Mendengar penjelasan Zack, Edward yang deg-degan dan refleks tersenyum, memilih menunduk. “Naik gaji … Bos bakalan kasih aku kenaikan gaji!” batinnya tak sabar. “Naik gaji!” tegas Zack kemudian. “Yes!” batin Edward langsung girang dan refleks menatap Zack dengan senyum lepas. “Jadi,” ucap Zack yang sampai menarik punggungnya kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Edward. Edward sampai menahan napas lantaran tidak sabar mendengar kabar baik yang akan Zack sampaikan mengenai kenaikan gaji. “Semua bahan proyek tetap bahan terbaik, kan?” tanya Zack memastikan. “Iya, Bos!” balas Edward sambil mengangguk mantap. “Ya sudah. Berikan kenaikan gaji kepada pekerja proyeknya. Uang lembur juga harus ditambah apalagi jika melihat kinerja mereka, luar biasa banget, lho, Ed!” ucap Zack. Edward mengangguk. “Sudah, Bos. Saya sudah memberikan mereka kenaikan gaji!” “Oh, iya? Enggak sangka aku. Luar biasa! Berapa?” Zack tersenyum lepas, semakin bangga kepada asisten sekaligus sekretaris pribadinya itu. “Dari yang dua ribu menjadi tiga ribu, Bos!” “Hah …? Dari dua ribu menjadi tiga ribu? Itu uang apa? Kenaikan parkir apa masuk toilet umum?” Zack terbengong-bengong bingung. Mendengar balasan Zack, Edward juga tak kalah bingung. “Ya … yang kenaikan gaji, Bos!” balasnya dengan kedua tangan masih bergandengan sopan di depan tubuhnya yang bidang. Zack semakin bingung. Tanpa terkecuali mengenai pemikirannya yang menangkap maksud kenaikan gaji dari Edward yaitu sebesar dua ribu menjadi tiga ribu. “Benar … dari dua ribu jadi naik tiga ribu? Itu maksudnya kenaikan gaji yang kamu berikan kepada pekerja proyek langganan kita?” Zack masih bertutur sabar penuh wibawa. Edward mengangguk sopan, membenarkan anggapan sang atasan. “Y-ya ampun, Edward! Koret banget kamu!” Zack benar-benar syok. “Ko-koret?” Edward tergagap bingung. “Iya. Koret itu pelit, Edward. Kamu koretnya kebangetan!” balas Zack yang kali ini mengomel. Edward menunduk pasrah seiring wajahnya yang menjadi pias. “Ingat, semua yang kamu lakukan termasuk mengenai kenaikan gaji juga membawa nama baik perusahaan,” tambah Zack yang menjadi sibuk menghela napas demi meredam rasa kesalnya. “Ya Tuhan … bisa-bisanya. Aku yang enggak tahu apa-apa dan memang baru tahu, jadi malu sendiri!” uring Zack yang semakin membuat nyali Edward menciut. “Ya sudah, kapan kamu mau cek proyek lagi?” lanjut Zack. “Lusa, Bos.” Edward kembali siaga. Zack mengangguk-angguk paham. “Tapi jangan lupa, naikkan gaji mereka minimal lima puluh ribu. Duh, jangan-jangan selama ini kita sudah terlalu memeras keringat mereka. Ya sudah, Ed. Kalau begitu, kasih bonus tambahan masing-masing pekerja lima ratus ribu!” tegas Zack yakin dengan keputusannya. Edward langsung terdiam bingung. “Terus, naik gajinya jadi, Bos?” “Ya jadi … naik gaji sama bonus, kan?” Zack menatap santai Edward. “Oh emji … rugi parah dong?” batinnya yang kemudian berkata. “Rugi dong, Bos …?” “Rugi gimana? Itu hak mereka karena kita sudah memeras keringat mereka.” “Tapi dalam bisnis tidak begitu, Bos. Mereka kerja, kita ya kasih sesuai pekerjaan mereka.” “Edward, berani kamu protes, saya justru bisa memberimu kompensasi karena selama ini kamu sudah terlalu kejji dalam memberi mereka gaji!” Zack sengaja mengancam Edward agar pria bermata sipit di hadapannya tak lagi berkomentar mengenai kenaikan gaji sekaligus bonus yang baru saja ia tetapkan. Dan Edward sungguh tak kuasa melawan dan mau tidak mau menuruti titah sang atasan. “Serius, ini, cuma mereka yang dapat kenaikan gaji sekaligus bonus? Aku enggak?” batin Edward yang ingin bertanya, tapi takut pertanyaannya justru membuatnya diharuskan membayar kompensasi. Ketika suara pintu terbuka, detik itu juga jantung Edward berdetak sangat kencang seiring perasaan pria itu yang menjadi buruk. “Hai Edward!” Itu suara Arina yang seketika membuat Edward sibuk bersin sekaligus sesak napas. Bengek. Arina yang baru datang bersama dua pengawal wanitanya, langsung menunduk lemas. “Yah … bengek lagi, bengek lagi,” ucap Arina sebal sambil melangkah pasti mendekati Zack. Zack menggeleng tak habis pikir sambil memperhatikan Edward yang buru-buru pamit meninggalkan mereka. “Kenapa kamu ke sini? Enggak istirahat di rumah saja?” tanya Zack sambil meraih salah satu pergelangan Arina yang ia tuntun untuk duduk di kursi kerja kebanggaan Zack. *** Sore harinya, di tempat berbeda, senyum bahagia terus bermekaran menghiasi setiap wajah pekerja proyek yang mendapat amplop tambahan, dan dikata Danang selaku penyebar gaji, merupakan uang tambahan untuk mereka dari bos besar. Tentunya, kebahagiaan mereka tak sampai di situ. Sebab kenaikan gaji yang terbilang fantastis, juga membuat amplop mereka lebih tebal dari biasa. “Rezekimu, Mbun. Kamu datang ke sini, langsung dapat kenaikan gaji bahkan bonus!” ucap Danang. Di tengah rasa lelah yang mendera, Embun mengulas senyum sambil menerima kedua amplop pemberian Danang selaku upah sekaligus bonusnya bekerja selama satu minggu terakhir. Iya, setelah susah payah meyakinkan Danang berikut pekerja lain mengenai ia yang bisa bekerja keras di proyek layaknya pekerja lain, inilah gaji pertama yang Embun dapatkan. “Berarti Bos Edward orangnya baik, dong, Wa. Enggak seseram yang kalian ceritakan?” tanya Embun sambil menatap Danang yang tak langsung menjawab pertanyaannya dikarenakan pria berkumis tipis itu tengah menenggak segelas kopi hitam yang baru disuguhkan oleh salah seorang pria pekerja proyek. Danang menggeleng pahit. Menatap Embun dengan tatapan menentang. “Enggak, Mbun. Apa yang kami ceritakan mengenai bos Edward yang alergi wanita dan bisa sakaratul maut mendadak hanya karena mencium aroma wanita itu benar!” tegasnya yang kemudian menjadi bingung sendiri dengan perubahan Edward. “Tapi mengenai kenaikan gaji sama bonus ini, memang terbilang aneh, sih. Apa jangan-jangan, kepala bos Edward habis disengat tawon raksasa makanya dia jadi ngenesmia?” Apa yang baru saja Danang sampaikan sukses membuat Embun bingung. “Ngenesmia itu apa, Wa?” “Ngenesmia ya itu, Mbun. Penyakit lupa ingatan!” balas Danang sambil mengangguk yakin. “Oalah, Wa … yang penyakit lupa ingatan namanya bukan ngenesmia, tapi insomnia!” balas Embun tak kalah yakin. “Oalah gitu? Insomnia toh, namanya? Oh … ya ya … mungkin memang gitu.” Danang mengangguk-angguk paham. “Iya, Wa. Ya sudah, Wa. Nanti kalau Wa mau transfer ke kampung, saya sekalian titip, ya?” balas Embun. Danang yang hendak kembali menyeruput kopinya, segera menyanggupi. “Besok, ya. Besok siang Wa mau transfer ke bank biar sekalian.” “Iya, Wa. Kesuwun banget!” “Sama-sama, Mbun! Eh, tapi ingat. Besok Bos Edward datang. Ingat, kamu harus jaga-jaga. Jangan sampai dia tahu kamu wanita. Kalau bisa, bernapas pun, besok kamu harus atur, ya. Soalnya nyium aroma wanita saja, Bos Edward bisa langsung bengek. Penciumannya lebih tajam dari anjjjing pelacak!” tambah Danang. Embun yang baru saja melepas topinya segera mengangguk sambil mengulas senyum. Memikirkan Edward yang memiliki kepribadian langka sekaligus unik, pria gagah yang digosipkan alergi wanita, juga, pria super perhitungan bin pelit, membuat Embun menjadi penasaran. Seperti apa pria unik itu yang juga teramat ditakuti oleh semua pekerja. “Apakah menghadapi Pak Edward lebih sulit dari membuang semen yang mengering di kulit, dan tak jarang membuat kulit gatal bahkan gudikan?” pikir Embun. Semenjak menjadi pekerja proyek bangunan, masalah tersulit yang harus Embun hadapi hanyalah gatal-gatal akibat semen. Embun tak menyangka, kulitnya yang tidak pernah gatal bahkan meski berulang kali terjun ke sawah, langsung bermasalah gara-gara semen. “Semoga besok aku aman. Selamat. Apalagi kerja di sini juga gajinya lumayan. Tentunya, aku enggak harus terus dihantui bayang-bayang mas Rustam yang dikit-dikit disangkut-pautkan denganku!” batin Embun yang berangsur memasuki bedeng kecil di sekitar proyek. Bedeng tersebut merupakan bedeng tempat tinggalnya. Ia tinggal bersama istri Danang yang kebetulan menjadi juru masak di sana. Safitri selaku istri Danang, menyambut Embun dengan hangat. Apalagi, Embun yang kelewat rajin dan selalu membantunya tanpa diminta, membuat kinerjanya semakin mudah. Bahkan, beberapa masakan yang diracik oleh Embun, dikata semuanya memiliki rasa jauh lebih enak. Terhitung selama satu minggu terakhir semenjak Embun ada, masakan jualan Safitri selalu ludes terjual. “Aku mandi dulu, Wa.” “Iya, Mbun. Itu tadi Wa beliin salep sama hand body buat kamu, biar tangan sama kakimu enggak terlalu gatel. Biasanya sih yang pakai salep sama hand body cocok.” “Oalah ... makasih banyak, Wa. Jadi ngerepotin ....” Mengenal Danang dan istrinya membuat Embun paham, tak selamanya ikatan darah menjadi penentu kekentalan hubungan seseorang. Buktinya, Danang dan istrinya begitu baik kepadanya tanpa sedikit pun perhitungan. Berbeda dengan Purnama apalagi Inggit.  Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN