Aku masih tidak enak dengan kejadian kemarin. Aku putuskan untuk bolos sekolah. Aku tidak siap bertemu dengan Will.
"Din, kamu kok belum mandi, sih? Jam berapa ini?" tanya Kak Doni yang melihatku masih nonton TV di ruang tengah. Sedangkan dia sudah bersiap akan berangkat Sekolah.
"Setengah 7,"ucapku santai sambil melirik jam di dinding.
"Kamu nggak masuk?"
"Enggak. Gak enak badan. Tolong kasih tau Bu Wulan ya, Kak, " pintaku masih menatap layar TV di depan.
Kak Doni mendekat, lalu memeriksa keningku.
"Hm ... Bukan sakit fisik, ya? Tapi hati?" tanya Kak Doni bermaksud meledekku sambil cengengesan.
Aku hanya menenggelamkan kepalaku ke dalam selimut yang masih ada di atas tubuhku.
Semalam aku tidur di ruang tengah, di kamarku terlalu berisik. Ita dan Dona tidur mendengkur keras sekali. Lagipula, Aku juga sedang ingin sendiri. Malas bertemu banyak orang dan ngobrol seperti biasanya.
"Apa aku telepon Will aja, ya," katanya sambil mengambil ponselku, dengan tatapan mengancam.
Nggak tau maksudnya apaan? Kenapa harus Will yang disebut.
"Eh! Sembarangan!" Segera ku rebut kembali benda pipih itu. Lalu menenggelamkannya di balik selimut, agar tidak ditemukan lagi olehnya.
"Kenapa sih, Din? Ada masalah apa kemaren?" tanya Kak Doni penasaran. Sambil terus menatapku.
Sepulang Sekolah kemarin memang aku banyak diam. Makan pun tidak selera. Kak Doni memang menyadarinya, hanya saja dia diam saja, menunggu sampai aku cerita lebih dulu. Mungkin karena aku tidak kunjung membahasnya dia akhirnya bertanya.
"Pasti soal, Will." Tebak Kak Doni.
Selama ini aku belum pernah dekat dengan seorang laki laki seperti kedekatanku dengan Will.
Bisa dibilang dia yang pertama.
Aku menghela nafas panjang, bingung, bagaimana menceritakan apa yang ku alami kemarin.
Setelah berfikir beberapa saat, perlahan aku menceritakan kejadian kemarin dari awal sampai akhir.
Tidak mungkin juga aku berbohong. Kak Doni juga sama seperti Will. Mereka bisa membaca pikiranku.
Setelah mendengar ceritaku,
Kak Doni menatap ke bawah seperti sedang berfikir.
"Ya udah, itu memang keputusan yang tepat, Din. Kakak dukung. Nanti Kakak coba jelasin ke Will, ya," katanya membuatku lega.
Mungkin memang Will harus mendengar penjelasan Kak Doni, Kak Doni itu kan lebih dewasa, dan pasti penjelasan nya akan lebih dimengerti Will sebagai sesama Pria.
****
Aku masih nonton TV sampai pukul 08.00. Rasa malas masih bergelayut manja di tubuhku.
Mandi pun enggan, hanya roti bakar dan s**u hangat saja sebagai pelengkap ku yang sedang bermalas malasan di rumah.
Beberapa pesan masuk ke ponselku.
NITA.
[Nggak berangkat, Din? Kenapa?]
[Nggak enak badan, Nit. Kak Doni udah bilang Bu Wulan belum ya?]
[Udah sih. Hmm... cepet sembuh, say]
[ ]
WILL
[Maaf soal kemaren. Kamu kenapa nggak masuk?]
[Nggak enak badan, Will. Maafin aku juga, ya. Aku harap kamu ngerti.]
[Nggak usah dipikirin, Din.]
[Ya udah, belajar dulu gih. Chatting mulu.]
[Aku sayang kamu.]
[I know.]
Aku juga sayang kamu, Will. Tapi cukup dengan doa saja. Karena mendoakan adalah cara mencintai yang paling rahasia.
=====
Pukul 13.30 aku masih nonton Tv, Mamah dan Budhe ku sedang keluar, membeli beberapa makanan untuk keperluan pengajian nanti malam.
Sedangkan Ita dan yang lain sudah pulang tadi.
Alhasil aku sendirian di rumah.
Di kamar Papa, aku mendengar seperti ada seseorang yang mondar mandir. Langkah nya terdengar jelas, bahkan bayangannya pun terlihat di bawah pintu.
Seperti sedang melakukan aktifitas seperti biasa yang Papa lakukan setiap hari dulu.
Aku biarkan saja.
Aku malas menanggapinya.
"Assalamualaikum," sapa Kak Doni.
Akhirnya pulang juga dia.
"Wa alaikum salam." Saat aku tengok ke belakang, ternyata Kak Doni tidak sendirian. Ada Nita, Apri dan Will juga.
Oh Tuhan, malah dibawa ke sini sih. Sengaja pengen menghidar malah dia yang nyamperin. Kak Doni mah gitu. huft. Runtukku dalam hati.
"Masya Allah, belum mandi juga, Din?Masih begini aja dari pagi?" tanya Kak Doni dengan nada mengejek. Dia kemudian duduk di sebelahku dengan tatapan risih, sambil memencet hidungnya sendiri.
Tak menghiraukan reaksi Kak Doni, aku malah memeluk Apri dan Nita. Mereka pun ikut duduk di dekatku.
Will yang sejak datang diam saja, lalu diajak Kak Doni duduk di depannya.
"Din, kamu sakit apa, sih?" tanya Apri.
Duh, sakit apaan yah? Sebenarnya aku memang tidak sakit.
Mau jujur, tidak mungkin, kalau bohong pun Kak Doni dan Will pasti tau.
"Sakit hati," canda Kak Doni. Karena aku tak kunjung menjawab pertanyaan Apri barusan.
Aku lempar dia dengan boneka yang ada di pangkuanku. Dia malah pergi ke kamarnya sambil tertawa cekikikan.
"Kamu udah makan, Din?" tanya Will membuat Nita dan Apri senyam senyum penuh arti.
"Belum."
"Aku bawain jus alpukat tadi." Will menyodorkan kantung plastik yang ada di tangannya.
Dia ini perhatian banget. Tapi, ah entahlah ... Aku pusing!
"Makasih, ya." Aku langsung membuka dan meminumnya.
Aku memang sedikit lapar. Tapi malas beranjak dari sofa ini. Benda ini sangat posesif. Huh.
Will memang tau kesukaanku.
Aku masih bingung dengan perasaanku, disatu sisi aku ingin bisa menjauh dari Will. Tapi disisi lain aku ingin selalu didekat Will.
Disaat aku menjauh, dia malah makin mendekat!
Oh ... Shittt!!
"Kenapa?" Tanya Will heran.
Lagi lagi aku lupa, dia kan bisa membaca pikiranku. Dia juga pasti tau perasaanku terhadapnya.
"Nita dan Apri, bantuin yuk, bikin minum,"ajak Kak Doni saat keluar kamar. Mereka bertiga melirikku penuh harap. Entah ngarepin apa.
Tanpa diperintah dua kali mereka langsung ke dapur dengan Kak Doni.
"Mereka sengaja ninggalin kita berduaan, ya?" tanyaku ke Will.
Will hanya tersenyum menanggapi. Ia berdeham, seperti sedang ada yang tersangkut di tenggorokannya.
"Kak Doni udah kasih tau semua ke aku. Maaf ya, kalau kemaren aku agak egois. Aku kesel denger kamu ngomong gitu ke Nita, tapi setelah Kak Doni jelasin tadi. Aku jadi ngerti. Aku hargai keputusan kamu. Aku cuma pengen kamu tau aja, kalau aku bener bener sayang sama kamu. Entah itu berbalas atau enggak."
Astaga, malah dibahas lagi. Tapi,
Hatiku senang mendengar kata kata Will. Rasanya seolah mendapat kado terindah hari ini. Tapi tetap aku mencoba bersikap santai.
"Eum ... Aku....." kalimatku tersendat sendat karena entahlah, aku harus merespons apa atas pengakuan Will.
Mau bilang sayang, tapi sulit.
"Kamu nggak perlu bilang apa apa, Din. Kalau memang kita berjodoh, suatu hari nanti aku pasti akan melamarmu!" katanya yakin.
"Will...," panggilku dengan melihatnya nanar. Dia hanya tersenyum lalu mengacak acak rambutku yang memang sudah berantakan.
"Mending kamu mandi dulu deh.. Bau asem tau!" Canda nya.
Kesan pertamaku dulu tentang Will ternyata salah besar.
Dia yang tadinya dingin, acuh, cuek nya level akut. Ternyata sangat hangat, lembut, dan manis. Satu lagi, caranya mencintaiku sungguh di luar dugaan. Untuk aku yang masih tergolong anak ingusan, anak bau kencur, yang baru menginjak bangku SMU, yang sangat baru dalam hal percintaan, dia adalah cinta pertama yang indah.
=============
Seperti dalam firman allah swt:
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu.dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal itu amat buruk bagimu.
Allah mengetahui sedangkan kamu, tidak mengetahui
(Qs al baqarah 216)