Claire berangkat saat hari masih gelap. Setiap pagi Claire akan berangkat menggunakan kendaraan umum. Claire berangkat pagi-pagi betul karena tidak ingin berdesakan dengan orang-orang yang juga ingin berangkat bekerja menggunakan kendaraan umum. Kadang kalau ia beruntung ia akan bertemu dengan anak tetangganya yang akan memberikan tumpangan karena arah mereka sama.
Dan sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan Claire. Claire bertemu dengan Tony, anak dari keluarga Browns, tetangganya. Tony sendiri memiliki usaha bengkel karena pria itu menyukai bidang otomotif. Tony berusia dua tahun lebih tua dari Claire. Claire pernah bertemu dengan teman-teman Tony dan Tony memperkenalkan Claire sebagai adiknya dan Claire tidak keberatan dengan hal itu.
“Ayo berangkat bersama,” Tony berucap sambil memberikan helm cadangan miliknya pada Claire.
Claire tentu tidak menolak rezeki. Ia pun dengan luwes menaiki motor yang sudah sering ia tumpangi itu. Claire dan Tony sesekali terlibat dalam percakapan kecil sebelum keduanya sampai di gedung tempat Claire bekerja selama beberapa tahun belakangan ini. Claire pun mengucapkan terima kasih dan melihat tingkah malu-malu Claire, Tony mengacak pelan poni rambut wanita yang sudah ia anggap sebagai adik itu. “Aku berangkat dulu, adik kecil."
Tony pergi dan Claire masuk ke dalam gedung kantornya. Claire berjalan santai masuk seperti biasanya menuju lantai tempatnya bekerja saat kantor masih sangat sepi. Alasan Claire berangkat pagi-pagi karena ia harus membereskan banyak hal berkaitan dengan kebutuhan Dean sebelum jam kerja dimulai.
Claire sampai di meja kerjanya lalu ia mempersiapkan apa yang harus ia kerjakan hari ini lalu ia masuk ke dalam ruang kerja bosnya untuk mempersiapkan meja kerja atasannya itu. Selesai dengan rutinitas paginya, Claire pun memutuskan menuju toilet untuk merapihkan diri dan saat wanita itu sudah selesai, ia keluar hendak kembali kemeja kerjanya dan Claire mengerutkan alisnya melihat seseorang pria berdiri menghadap meja kerjanya.
Perlahan Claire mendekati pria itu dan matanya membulat menyadari Reinaldy Algantara yang kini sedang berada di hadapannya. “Selamat pagi, Pak Reinaldy... Ada yang bisa saya bantu?”
Reinaldy tiba-tiba salah tingkah. Pria itu menggaruk tengkuk kepalanya sendiri dengan sebelah tangannya yang bebas, “Pagi Claire...”
Claire mengerutkan alisnya sedikit melihat tingkah Reinaldy, “Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Reinaldy meletakkan segelas kopi yang ia bawa di meja kerja wanita itu, “Saya minta maaf. Saya sudah memikirkan semuanya... Saya benar-benar menyesal atas apa yang saya lakukan dimasa lalu. Saya salah. Tidak ada pembenaran atas kelakuan saya di masa lalu. Saya harap sekarang kita bisa jadi rekan kerja yang baik karena bagaimana pun saya dan Dean akan banyak berinteraksi yang artinya kamu juga akan sering beremu dengan saya. Saya enggak mau hubungan kita jadi awkward karena masa lalu jadi saya harap kita bisa mulai dari awal. A fresh start as a work colleague.”
Claire awalnya mengerutkan alisnya pelan mendengar awal kalimat Reinaldy, ‘Sampai kapan orang ini mau bahas soal masa lalu sih?!’ Batin Claire kesal melihat pria dihadapannya saat ini sambil mendengarkan dengan seksama keseluruhan kalimat pria itu untuk mencari maksud dari kedatangan pria itu dan wanita itu menghela nafas perlahan dan mengangguk, “Baik, Pak.”
Reinaldy tersenyum lebar. “Kalau begitu semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, rekan kerja.” Reinaldy mengulurkan tangannya mengajak Claire bersalaman.
Claire memasang wajah datarnya mendengar ucapan Reinaldy, ‘Perlu banget kayak gini?’ Namun Claire sadar bahwa menolak akan membuat semuanya menjadi semakin rumit sehingga Claire memutuskan mengikuti keinginan pria itu saja. Claire menyambut uluran tangan itu dan setelah mendapatkan apa yang ia mau, Reinaldy pun meninggalkan Claire kembali seorang diri.
Claire pun memandangi secangkir kopi yang pria itu bawa dan letakkan diatas mejanya lalu menghela nafas berat. Claire hanya tidak ingin kejadian di masa lalu terulang. Claire sudah belajar. Mengabaikan keinginan pria itu hanya akan membuat pria itu semakin berusaha masuk ke dalam dunianya yang tenang. Claire saat ini hanya perlu mengikuti apa yang Reinaldy inginkan tapi tentu selama ia masih menolerir apa yang pria itu inginkan.
Claire tetap pada prinsipnya. Ia hanya ingin memiliki rutinitas pekerjaan yang tenang dan selama ini Claire berhasil menciptakannya dengan semua berjalan sebagaimana mestinya. Claire bekerja, melakukan apa yang harus ia lakukan dengan kemampuannya lalu menunggu gajinya cair. Kehidupan pribadinya sudah berantakan dengan segudang masalah. Mamanya yang tukang judi, hutang yang menumpuk, ia harus membayar kebutuhan mereka sehari-hari dan juga memikirkan bagaimana membayar flat yang ia dan mamanya tempati itu.
Claire hanya berusaha memiliki kehidupan yang tenang dan berusaha waras ditengah-tengah kehidupan pribadinya yang sangat-sangat menguras kewarasannya. Kini setelah beberapa tahun Claire merasa ia mulai bisa menjalani ini semua, Reinaldy kembali hadir sehingga Claire takut. Apa yang sudah ia usahakan bisa hancur berantakan karena ulah pria itu untuk kedua kalinya.
***
“Papa kamu dan Papa aku berencana fokus di bidang konstruksi, Rei. Menurut kamu bagaimana?” Dean bertanya dengan wajah serius sambil menatap Reinaldy.
Reinaldy menyandarkan punggungnya. “Everest Construction terlihat menjanjikan. Aku juga sudah membaca hasil evaluasinya. Manajemen lamanya cukup kaku. Orang-orang lama terlalu nyaman dan malas berinovasi. Mereka pikir dengan membangun gedung apartemen dan perkantoran sudah cukup padahal mereka memiliki kapasitas membangun infrastruktur. Untuk apa punya alat berat tapi tidak dimaksimalkan.”
Dean mengangguk membenarkan. “Aku pikir Everest cukup menjanjikan.”
“Tapi tantangan akusisi ini cukup besar. Menjadikan Everest menjadikan bagian dari Reins artinya Everest harus berubah. Manajemen yang lama tidak bisa lagi dijadikan patokan karena kalau tidak Reins akan terseret. Investasi bodong namanya, memberikan suntikan dana tapi tidak mendapatkan hasil sedangkan untuk mendapatkan hasil Everest harus berubah dan kalau tidak sama saja ikut mati bersama dengan perusahaan yang sudah diambang kematian.”
Dean mengangguk membenarkan ucapan Reinaldy, “Kamu benar dan aku pikir kamu cocok untuk tugas ini––”
“Kak! Aku baru join di Reins, masa mau ditendang ngurusin perusahaan lain aja.” Reinaldy protes atas ucapan pria yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri itu..
Dean Alfarezi memang anak dari Ghandi Alfarezi. Dean memang mendatangi Ghandi saat pria itu sudah cukup besar namun semua itu tidak menghapuskan kenyataan kalau Dean adalah anak kandung Ghandi Alfarezi. Ghandi dan petualangannya menghasilkan Dean dan Ghandi memilih untuk tetap dengan hidupnya yang sudah berjalan dengan tambahan Dean yang harus ia hidupi. Ghandi menebus waktunya yang terlewat dengan Dean dan berakhir dua pria itu hidup bersama hingga saat ini dan Reinaldy satu-satunya yang selalu bersama dengan Dean hingga mereka terpisah karena Reinaldy harus belajar ke Indonesia.
“Kamu bisa, Rei... Lagi pula sebenarnya ini project pribadi papa kamu. Papaku hanya memberikan saran saja. Papaku sudah terlalu lelah mengurusi akuisisi dan segala problematika di dalamnya tapi tidak dengan kamu. Aku sendiri sudah nyaman dengan posisi ini. Aku pikir dengan apa yang aku jalani sekarang saja sudah cukup menyita perhatianku. Aku tidak ingin membuat hidupku tambah pusing dengan urusan akuisisi.”
Reinaldy memandang sinis pria yang duduk dihadapannya kini, “Kalau kamu pusing, memangnya aku enggak, Kak? Aku ini baru join lho. Baru adaptasi terus kamu mau jorokin aku ke perusahaan baru buat ngurusin perusahaan itu jadi besar? Mabok kamu, Kak?”
Dean tertawa mendengar ucapan sewot Reinaldy barusan. “Kami yakin kamu mampu, Rei... Pikirkanlah dulu. Probability kamu sukses cukup besar kalau melihat kapasitas dan kemampuan kamu.”
Reinaldy merotasi bola matanya dan berdiri keluar dari ruangan Dean. Reinaldy keluar dengan wajah kusut dan menyesal karena memenuhi undangan datang ke ruangan Dean nyatanya malah membuatnya harus mendengarkan rencana gila yang melibatkan dirinya. Ini sama saja ia dijorokin untuk melakukan sebuah operasi mendadak menyelamatkan orang yang nafasnya sudah sesak dan diambang kematian. Masalahnya Reinaldy selama ini hanya mengurusi proyek-proyek kecil dan manajemen kecil-kecilan bukannya merombak manajemen sebuah perusahaan dan jelas harus berkonfrontasi langsung dengan orang-orang di dalamnya.
Claire yang sedang duduk di meja kerjanya mengerutkan alisnya begitu melihat Reinaldy keluar dari ruangan Dean dengan wajah kusut dan pria itu nampak kesal. Pria itu berjalan lurus menuju lift tanpa menoleh sekali pun. Claire tidak masalah dengan hal itu namun hal itu menjadi perhatian Claire karena ia khawatir sesuatu sudah terjadi dan mempengaruhimood atasannya lalu berefek padanya yang seharian akan mendapatkan bos resek yang membuatnya kesal sendiri karena jadi serba salah.
Claire pun memandangi pria yang sudah masuk ke dalam lift itu dengan pandangan sengit, Awas saja kalau pria itu berani-berani mengganggu mood bosnya!
“Claire! Tolong masuk ke dalam!”
Panggilan dari Dean melalui interkom yang terdengar jelas membuat Claire langsung melakukan apa yang bosnya perintahkan. Selain tidak mau membuat bosnya menunggu, Claire juga penasaran dengan apa yang sudah terjadi. Mungkin mendatangi bosnya akan membuatnya mendapatkan sedikit clue.
“Claire, tolong hubungi Robert dan katakan kalau saya mau makan siang dengan Reinaldy. Anak itu main pergi begitu saja karena kesal dan saya rasa saya harus bicara lebih lanjut.”
Oh... jadi atasannya yang sudah membuat pria itu berwajah seperti tadi, Claire pikir malah sebaliknya karena mengingat tingkah menyebalkan pria itu. Claire pun mengangguk mendengar ucapan Dean lalu melakukan apa yang atasanya itu perintahkan dengan segera.
***
Reinaldy memasuki ruangan private yang sudah dipesan Claire dengan wajah tertekuk diikuti oleh Robert yang masuk mengekori atasannya. Reinaldy duduk dengan wajah kesal membuat Dean mengulum senyum. “Kamu sudah tiga puluh tahun, Rei. Jangan bersikap seperti ini. Kamu enggak mau aku perlakuin kayak anak-anak, kan?”
Reinaldy memandang Dean dengan tatapan malas, “Kalau kamu ajak aku makan Cuma buat ngeledek mending aku pergi. Makan sendiri lebih nikmat dari pada dengerin ocehanmu tentang rencana gila akuisisi Everest, Kak.”
Dean tertawa mendengar ucapan sinis Reinaldy, “Ayolah, Rei. Anggap ini sebagai tantangan diusia kamu. Saat seusia kamu, aku sudah berhasil menaklukan United Mining masuk menjadi bagian dari Reins ––”
“Kamu sedang berusaha memancing instingku dalam berkompetisi, Kak?”
Dean tertawa, “Come on, Rei. Kamu terlalu sensitif seperti perempuan yang akan mendapatkan tamu bulanan...” Dean menghentikan ucapannya ketika Reinaldy membulatkan matanya dan memberi kode melalui lirikan ke arah wanita yang ada di samping Dean. Dean pun langsung menoleh dan menatap Claire dengan tatapan tidak enak hati, “Sorry, Claire. Saya keceplosan. Saya dan Reinaldy memang terbiasa berinteraksi seperti ini jadi kalau ada omongan saya dan Reinaldy yang kelewat batas tolong dipahami. Itu cara kami berkomunikasi... Termasuk kamu juga Robert.”
Claire dan Robert pun kompak mengangguk. Claire dan Robert makan dalam diam membiarkan kedua atasannya saling berbicara karena bos mereka mengajak mereka makan bersama padahal makan sendiri diluar jauh lebih nyaman dari pada harus ikut makan dengan atasan mereka. Walau makanan yang dimakan rasanya enak tapi karena suasana canggung, kadang rasa makanan enak pun mendadak terasa hambar.
Dean sedang pergi ke toilet dan Robert sedang menerima panggilan telepon. Claire terjebak berdua bersama Reinaldy dengan situasi canggung. Beruntung ada panggilan yang masuk ke ponsel pria itu membuat Claire sendiri memilih diam menatap cangkirnya karena ia takut dianggap tidak sopan kalau memaikan ponselnya tanpa alaasn sementara ia dan Reinaldy hanya berdua di dalam ruangan itu.
“Apa cangkir itu begitu menarik sampai kamu terus memandanginya sedari tadi?”
Pertanyaan Reinaldy spontan membuat Claire mengangkat wajahnya dan menatap pria yang memiliki posisi yang lebih tinggi darinya secara jabatan hirarki. “Eh...”
Reinaldy mengulum senyum melihat keterkejutan Claire yang tidak berubah, “Maaf, mengejutkan kamu. Rasanya sepi sekali dan ternyata kamu sedang sibuk memandangi cangkir.”
Claire tersenyum formal, “Maaf, Pak.”
“Tidak perlu minta maaf, Claire. Kamu sudah lama bekerja dengan Dean?”
Claire mengerutkan alisnya, “Bukannya bapak sudah baca data diri saya dari HR? Bapak kan memiliki nama Algantara. Apa di dalam data diri saya yang mereka miliki itu tidak tertulis mulai kapan saya bekerja disini?”
Harusnya Reinaldy kesal dengan jawaban Claire. Jawaban wanita itu begitu ketus dan terdengar nyinyir. Namun alih-alih kesal, Reinaldy malah tertawa dengan jawaban Claire. “Maaf...” Reinaldy berusaha menahan tawa dan Claire mengerutkan alisnya,
‘Emangnya ada yang lucu?’ Claire berucap dengan nada heran dalam batinnya sendiri melihat tingkah Reinaldy.
“Kamu tahu? Kamu mati-matian menyangkal kalau kamu Claire yang aku kenal dulu tapi sikap kamu tidak berubah sedikit pun Claire. Kamu selalu berucap dengan nada ketus dan sinis dan tidak lupa memilih kata-kata paling tajam yang mampu menusuk lawan bicara kamu hanya dengan satu kalimat yang keluar dari mulut kamu.”
SKAKMAT! Reinaldy benar. Claire memang seperti itu. Terlebih pada orang yang sangat sangat tidak ia sukai dan dalam konteksnya saat ini adalah Reinaldy. Alih-alih menjawab pertanyaan pria itu, Claire memilih kalimat paling kejam demi membuat pria itu bungkam dan sialnya bukannya bungkam, pria itu malah tertawa berderai-derai seakan dia ini badut pasar malam yang layak ditertawai.
Reinaldy berusaha menyudahi tawanya lalu menatap Claire lekat-lekat, “Kamu tahu, Claire... Sepertinya aku bersemangat untuk memulai semua dari awal sehingga kita bisa menjadi rekan kerja yang baik...”