“Kalau lo masih mau kerja di sini, kerja yang bener!”
Senna menunduk dalam, tak berani melawan meski Jefan memarahinya di depan semua pegawai Humas. Tak hanya itu, Jefan juga menoyor kepala Senna berkali-kali hingga Senna termundur beberapa langkah ke belakang.
Jefan membuang napas kasar, dia berdecak dan menatap Senna penuh kesal. “Ini alasan gue nggak suka sama pegawai yang enggak berpendidikan, kerjanya selalu nggak becus!”
Kejam. Senna telan hinaan pahit itu dalam-dalam. Terlalu sering dijatuhkan membuat Senna semakin sulit untuk tumbang.
BRAK !!!
Jefan masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu sebagai penutup amarahnya.
Senna menghela napas panjang. Perlahan kepalanya mendongak, menatap satu per satu pegawai yang sama sekali tak bergeming di tempatnya. Dia mendapati Selly yang bangkit dari kursi, hendak menghampirinya, namun dengan cepat Senna melangkah pergi.
Tangga darurat yang sepi menjadi tempat Senna menumpahkan tangisannya. Dia meremas dadanya yang terasa sesak. Terlihat kuat bukan berarti Senna baik-baik saja, menangis menjadi cara Senna untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Senna menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Air matanya merembes deras tanpa mampu dia kontrol. Selama ini Senna selalu mencoba untuk menjadi pegawai yang baik, berusaha bekerja di luar batas kemampuannya agar potensinya dilihat oleh Jefan, tapi apa yang dia dapatkan? Tidak lebih dari makian dan kata-kata yang selalu meruntuhkan semangatnya untuk bekerja.
“Ibu..,” Senna melirih. Disaat-saat seperti ini kadang Senna butuh pelukan Ibunya untuk menguatkan.
Tangisan Senna berhenti, gadis itu terpekik kaget saat pundaknya ditepuk pelan oleh seseorang. Senna lantas membuka matanya, mendapati sebuah sapu tangan abu-abu berada tepat di depan wajahnya. Perlahan kepala Senna terangkat, mata gadis itu hampir terbuka sempurna mendapati Arya yang ternyata pemilik sapu tangan itu.
Senna menegakan badannya dan menunduk hormat ke Arya.
Melihat itu, Arya terkekeh pelan. Ia memberikan sapu tangan miliknya ke Senna secara paksa. Lalu berkata;
“Kalau sudah selesai nangisnya, hapus air mata kamu pakai ini.”
Senna mengulum bibir, gugup. “Terimakasih, Pak,”
Arya mengangguk kecil, tangannya terulur mengusap pucuk kepala Senna dan mengusapnya pelan. “Silakan dilanjut lagi nangisnya, saya enggak bakal ganggu,” katanya kemudian berlalu pergi.
Sejenak waktu seperti berhenti, Senna terpaku atas apa yang terjadi. Arya... mengelus kepalanya?
Wajah Senna perlahan bersemu, senyum gadis itu terlukis halus. Bagaimana tidak, Arya adalah pria yang diam-diam Senna kagumi selama ini. Menurut Senna, meski Arya tidak sepopuler Dhaffi, tapi pria itu tidak kalah tampan dan yang penting Arya lebih manusiawi daripada Dhaffi.
“Lo di sini ternyata!” Selly datang mengagetkan Senna. “Gue cariin ke mana-mana,” imbuh Selly tampak gurat khawatir.
Dengan cepat Senna menghapus jejak air matanya. “Kenapa, Mbak?”
Yang ditanya mencibir. “Habis nangis lo ya?” tuduhnya.
Perlahan bibir bawah Senna mempout. Pertahanannya runtuh lagi setelah ditanya seperti itu.
“Sayang.., udah cup cup cup!” Selly memeluk Senna dan menepuk-nepuk pundak gadis itu menenangkan.
Kali ini Senna tak menangis lama, dia agak malu juga menangis di depan orang lain.
“Sejak kapan lo bawa sapu tangan?” tanya Selly saat mengurai pelukan dan melihat Senna yang menyeka air matanya menggunakan sapu tangan.
Senna terdiam, memandang benda di tangannya yang menjadi sumber rasa penasaran Selly.
“Ini dikasih tadi sama..” kalimat Senna menggantung. Haruskan dia memberitahu ke Selly? Tapi gadis itu pasti tidak akan percaya kalau sapu tangan ini milik Arya.
“Sama siapa? Bapak-bapak ya? Apa ibu-ibu?” tebak Selly, ya, jaman sekarang siapa lagi yang membawa sapu tangan kalau bukan orang tua?
“Pak Arya, Mbak.”
Rahang Selly langsung terjatuh. “Pak Arya?!!!”
* * *
“Mam—ma..,”
Sudah lebih dari tiga jam Kenzie menangis, dan selama itu juga Dhaffi belum berhasil membuat anaknya terdiam. Memberi Kenzie s**u, mengajak Kenzie bermain, hingga membawa Kenzie jalan-jalan ke mall, sayangnya tangisan Kenzie belum juga berhenti.
Dhaffi mengusak rambutnya kesal, dia berada di dalam mobil bersama Kenzie dan Minah, menuju arah pulang karena membawa Kenzie jalan-jalan nyatanya tidak membuahkan hasil. Terjebak di kemacetan bersama tangisan Kenzie bukan hal yang bagus. Kepala Dhaffi pusing dibuatnya.
“Sudahlah Ken.., memangnya kamu enggak capek nangis terus?” ujar Dhaffi sambil melirik ke car seat di belakang. Pemandangan Kenzie saat ini jauh dari kata menggemaskan, anaknya itu malah tampak menyedihkan dengan mata sembab dan hidung yang memerah karena terlalu lama menangis.
“Kasihan Kenzie, Pak, dia nyari Mbak Senna,” lirih Minah menatap Kenzie cemas.
Dhaffi memejamkan matanya. Mengingat Senna membuatnya kesal. Iya, dia marah karena Senna menolak tawaran yang ia berikan, jujur saja itu membuat Dhaffi tersinggung.
Bisa-bisanya gadis kampung seperti Senna menolak menjadi babysitter Kenzie. Dia yang membuat Kenzie nyaman, tapi dan juga yang meninggalkan Kenzie begitu saja. Kehadiran Senna hanya membuat masalah di dalam hidup Dhaffi.
“Kalau sudah capek nangis Kenzie bakal tertidur, Bi,” jawab Dhaffi kembali fokus ke jalanan di depanya. Secara halus Dhaffi menolak untuk mempertemukan Kenzie dengan Senna.
“Tapi ini sudah lebih dari tiga jam Kenzie nangis, Pak,” sahut Minah. “Kenzie sampai seksekan,” lanjutnya khawatir. Tidak tega melihat Tuan Muda-nya sesak napas.
Dhaffi kembali melirik ke kursi belakang, lantas memejamkan matanya. Batinnya merasa tidak tega ke Kenzie, tapi otaknya mementingkan rasa gengsi.
Dhaffi membuang napas panjang, dia membuka matanya dan langsung membanting stir ke arah lain.
“Oke, kita ke rumah Senna!” Putus Dhaffi pada akhirnya.
Diam-diam Minah tersenyum, dia menatap Kenzie dan mengusap lembut d**a anak itu. “Sudah ya nangisnya, Kenzie mau ketemu sama Mama, ‘kan?”
Kenzie menoleh ke Minah, tangisnya berhenti sejenak. “Mam—Mma.”
Minah tersenyum lebar, “Iya, kita ke Mama, ya,” balasnya sembari mengusap rambut Kenzie penuh sayang.
* * *
Selly: jangan lupa dandan yang cantik, Nna!
Cantik? Senna jauh dari kata itu. Setelah Senna melakukan penelitian terhadap dirinya sendiri, alasan kenapa sampai sekarang dia tidak memiliki pacar karena dia tidak menarik.
Ya, Senna tidak menarik.
Kulitnya berwarna kuning langsat, sementara kebanyakan selera cowok di negeri wakanda ini suka cewek yang berkulit putih, rambutnya badai dan tinggi semampai. Sementara Senna..,
Oke, stop membandingkan dirinya dengan orang lain!
Senna melempar ponselnya asal, dia bangkit dari ranjang dan berlalu masuk ke dalam kamar mandi. Setelah membersihkan tubuhnya dan memilih pakaian terbaik, Senna segera duduk di depan meja rias.
Senna terdiam, memandang dirinya dari pantulan cermin. Wajahnya mulus, walaupun tidak terlalu putih, yang penting sehat dan tidak berjerawat. Ah, rambutnya juga halus dan terawat, tidak ketombean apalagi kutuan, dan juga.., berat badan Senna ideal, tidak terlalu kurus atau pun terlalu gemuk. Ya, setidaknya menyadari kelebihan dirinya sendiri dapat menyurutkan sedikit rasa insecurenya.
Senna memaksakan senyum. Baiklah, Senna harus percaya diri! Dengan mantap Senna mulai merias wajahnya, memakai make-up apapun yang dia punya.
Tiga puluh menit Senna habiskan waktu untuk mempercantik wajah. Hasilnya, almost perfect! Meski tidak bisa menyandingkan dengan kecantikan Ariel Tatum, tapi Senna jadi lebih enak dipandang.
Tok! Tok! Tok!
Senna tertegun, dia segera bangkit dan berjalan menuju pintu utama. Gadis itu terpekik kecil saat mendapati Dhaffi dan Kenzie yang berdiri di depan pintu rumahnya.
Dhaffi tidak langsung bersuara, pria itu seakan terbius dengan penampilan Senna yang jauh berbeda dari yang biasa dia lihat. Dengan gaun vintage dan rambut yang tergerai badai, Senna seperti memunculkan versi lain dari dirinya.
“Pak Dhaffi?” tegur Senna menyentak Dhaffi dari lamunan. Pandangan Senna beralih ke Kenzie, dia lantas meringis sedih melihat penampakan Kenzie saat ini.
Siapa yang tega membuat mata Kenzie sampai sebengkak itu?
“Ekhm!” Dhaffi berdehem. “Maaf saya datang tanpa bilang-bilang ke kamu,” imbuh Dhaffi.
“Gakpapa, Pak,” Senna menjawab seadanya. Meski tak ayal dia begitu terkejut dengan kedatangan Dhaffi.
“Well, Kenzie nangis nyariin kamu. Jadi saya tidak punya pilihan lain selain datang ke sini,” ujar Dhaffi sembari menatap Kenzie yang berada di dalam gendongannya. Saat ini anak itu sedang memberontak untuk segera diberikan ke Senna.
Senna merengut sedih, dia mengambil Kenzie dari gendongan Dhaffi. “Sayang, kenapa nangis?” tanya Senna dengan nada sedihnya.
“Bapak ke sini berdua aja?” tanya Senna, pandangannya menoleh ke mobil Dhaffi yang terparkir.
“Iya. Bi Minah harus saya turunkan dijalan karena dia harus segera pulang,” jawab Dhaffi. “Kalau kamu tidak keberatan, bisa kamu tolong tidurkan Kenzie?”
Sepasang alis Senna terangkat. “Di sini?”
Dhaffi menatap ke dalam kamar kosan Senna yang hanya sepetak, bahkan dia dapat melihat ranjang tidur Senna dari sini.
“Ya, tidak masalah. Setelah Kenzie tertidur, saya akan bawa dia pulang.”
Senna manggut-manggut. Dia melirik jam dipergelangan tangannya. Tidak masalah, masih ada waktu satu jam.
“Bapak, mau masuk?” tawar Senna. Meski dia tahu kalau Dhaffi akan menolaknya, dia juga cuma basa-basi saja.
Dhaffi menggeleng. “Saya tunggu di sini,” jawabnya. “Ini botol susunya,” ujar Dhaffi sembari memberikan tas kecil berisi perlengkapan milik Kenzie.
Senna mengangguk dan menerima tas mungil itu. Lantas ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Sesuai dengan perintah Dhaffi, Senna langsung meletakkan Kenzie ke ranjang dan memberikan anak itu s**u. Tampaknya Kenzie memang sudah mengantuk. Sambil bersenandung kecil dan mengusap-usap punggungnya, Senna mencoba meniduri Kenzie.
Hanya butuh dua puluh menit hingga Kenzie tertidur pulas di dalam dekapannya.
Senna tersenyum kecil, dia menjatuhkan kecupannya di kening Kenzie. Mumpung tidak ada Dhaffi jadi dia bisa mencuri kesempatan yang sudah lama ia idam-idamkan.
Senna menggendong Kenzie dengan hati-hati keluar dari kamar. Setelah membuka pintu, terlihat Dhaffi yang masih berdiri di depan teras kosannya sembari bermain ponsel.
“Sudah tidur?” tanya Dhaffi yang langsung memasukan ponselnya ke dalam saku celana.
Senna mengangguk dan berjalan mendekat, memberikan Kenzie ke pada Dhaffi.
“Sudah, Pak,” jawabnya sembari mengunci pintu kosan dari luar.
Melihat Senna yang sepertinya hendak pergi, Dhaffi jadi penasaran kemana gadis itu pergi dengan penampilan secantik itu?
“Kamu mau pergi ke mana?”
Senna menatap Dhaffi dan menjawab. “Saya ada janji kencan malam ini, Pak,” jujur sekali Senna Ragnala. Ini kencan pertamanya, jadi sesekali pamer tidak apa-apa.
Dhaffi terdiam dengan rahang perlahan mengeras. “Bisa kamu jaga Kenzie lebih lama lagi? Saya takut dia terbangun dan mencari kamu.” Tidak, Dhaffi tidak menghalangi kencan Senna, dia hanya mengkhawatirkan anaknya.
Ya, pura-pura percaya saja.
Senna menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Duh, gimana ya Pak, tapi saya sudah janjian.”
“Kamu enggak kasihan sama Kenzie?”
“Bapak enggak kasihan sama saya?” Senna mengembalikan pertanyaan Dhaffi. “Ini kencan pertama saya, Pak,” imbuh Senna mengais iba.
Dhaffi menghembuskan napas panjang. “Oke, kamu boleh pergi. Terimakasih sudah membuat Kenzie tidur,” putus Dhaffi dengan berat hati.
Senna melukis senyum tulusnya. “Sama-sama, Pak, kalau begitu saya pamit.” Seperti biasa, Senna menunduk kecil sebagai rasa hormatnya.
Tatapan teduh Dhaffi mengantar kepergian Senna. Ada rasa kesal yang masih mengepul di dalam d**a pria itu. Jangan-jangan Senna tidak mau jadi babysitter Kenzie karena gadis itu sibuk berkencan?
Dhaffi mendengus. Dia segera masuk ke dalam mobilnya dan mengikuti taksi yang membawa Senna pergi.