Chapter 12 - His word, his sword

1925 Kata
Pesta kecil di rumah keluarga Walton baru selesai hampir pukul 10 malam. Saat ini, pasangan itu berhadapan dengan tamu terakhir yang tampaknya enggan untuk meninggalkan lokasi. Tatapan Rod terlihat mengarah ke tangga melingkar yang berada di depannya. Menepuk bahu temannya, Alex mend*sah pelan. "Sudahlah, Rod. Gadis-gadis seusianya memang seperti itu. Apalagi saat ini Lorelai baru kehilangan figur ibu. Biarkan saja dulu dia bersama Lily. Lagipula, di sini ada Liliana kalau memang anakmu butuh teman bicara." "Tapi aku tetap khawatir, Alex. Sudah beberapa hari ini, anak itu kelihatan susah makan. Aku bahkan harus meminta Gregory jauh-jauh datang hari ini hanya untuk membawa makanan kesukaannya dari NY." Tampak pria muda di samping Rod mengulurkan sebuah bungkusan ke arah tuan rumah. "Paman Alex. Tolong berikan ini pada Lory. Aku sudah berusaha menemuinya tadi, tapi dia sama sekali tidak mau membuka pintu. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara memberikan makanan ini kecuali melalui dirimu." Menerima bungkusan itu, kening Alex tampak berkerut. "Lily tidak membuka pintunya?" "Aku tidak tahu apakah dia ada di dalam, paman. Aku hanya mendengar suara Lory yang menjawab." Memberikan bungkusan itu pada Liliana, terlihat raut khawatir Alex saat menatap isterinya. "Darling? Anak kita keluar malam lagi?" "Aku juga baru mendengarnya. Aku akan mengeceknya, sekalian memberikan ini pada Lory." Ketiga pasang mata itu mengikuti langkah kaki Liliana yang mengarah ke lantai dua. Saat sosok itu sudah tidak terlihat lagi, tampak Alex menatap lagi ke arah tamunya. "Kau jangan terlalu khawatir, Rod. Kami akan menjaganya." Menatap lagi tangga itu untuk terakhir kalinya, kepala pria gempal itu akhirnya mengangguk. "Kau benar. Kalau ada apa-apa, segera saja ketuk pintuku. Mumpung aku masih tinggal di sebelahmu." Kepala Alex mengangguk menenangkan. "Kapan kalian akan pindah?" "Kemungkinan 1 minggu lagi. Segera setelah selesai finishing renovasinya, kami akan pindah ke sana." "Kenapa kau mengambil lokasi yang jauh sih? Seharusnya, kalian tetap tinggal di kawasan ini." Baru menyadari kata-katanya, Alex segera menutup mulutnya. "Maafkan aku, Rod." Sorot sedih tampak di kedua mata Rod yang cokelat, tapi pria itu menggeleng pelan. "Tidak usah minta maaf. Memang aku yang masih belum bisa melepasnya, jadi lebih baik aku pindah dari rumah itu. Terlalu banyak memori di sana, Lex. Aku tidak sanggup harus menghabiskan hari-hariku hanya memutar kenangan-kenangannya saja. Aku memang harus pergi dari sana." Suasana sejenak hening, saat pintu depan rumah itu tiba-tiba saja terbuka dari arah luar. Tampak sosok kecil memasuki ruangan dan rautnya sangat terkejut saat baru menyadari kehadiran pria-pria di depannya. "Se- Selamat malam." "Dari mana kau, Liliana!?" Bentakan itu terdengar dari mulut Alex dan membuat tamu-tamunya terdiam. Baru kali ini, mereka melihat kemarahan pria itu pada puteri semata wayangnya. Menunduk takut, Lily sedikit mundur dan menjawab dengan suara bergetar. "Ma- Maafkan aku, papa. Ta- Tadi aku ke apotik sebentar. Aku membeli obat untuk Lory." "Obat? Obat apa?" Tangan Rod segera menyambar bungkusan kecil yang berada di tangan Lily dan memeriksanya. Di dalamnya terdapat beberapa butir pil dan juga sebotol vitamin. Pria itu menatap gadis kecil di depannya dengan tajam. "Apa saja ini? Kenapa banyak sekali?" "Itu-" Mengambil benda-benda itu dari tangan ayahnya, tampak Gregory mempelajarinya dan berkata datar. "Ini obat mual dan juga maag, dad. Sedangkan ini adalah multivitamin, untuk menambah daya tahan tubuh." Mata biru lelaki itu yang dingin seolah menembus kepala Lily yang terdongak menatapnya. "Lory masih mual-mual sampai sekarang?" Sedikit gemetar, kepala Lily mengangguk. Ia mulai mengepalkan kedua tangan kecilnya, sangat takut akan kemarahan mendadak lelaki di depannya. Tanpa sadar, kakinya mundur beberapa langkah ke belakang. "Ta- Tapi dia sudah mau makan sedikit roti, dan juga susu." Tatapan Gregory tampak terpaku pada belakang celana jins Lily yang kotor dan juga langkah kaki anak itu yang sedikit pincang. Tanpa berkata apapun, pria itu memasukkan semua benda tadi ke kantongnya kembali dan mengulurkannya pada gadis kecil di depannya. "Kenapa celanamu kotor, Red?" Suaranya terdengar kaku dan ada setitik kemarahan di dalamnya. Menyambar kantong itu, kepala Lily kembali menunduk. "A- Aku jatuh tadi di jalan." "Sudahlah. Sekarang naik ke atas, Liliana. Segera mandi dan masuk ke kamarmu. Kau mengerti?" Kepala gadis itu mengangguk menjawab perintah ayahnya. Ia berbalik dan segera naik ke atas. Setelah sosok itu menghilang, tampak Alex menepuk bahu Gregory yang masih menatap ke arah tangga. "Aku minta maaf, Greg. Sepertinya kau memang harus mendidiknya nanti." Memberikan tatapan mantap pada Alex, pria muda itu hanya menjawab dengan nada datar. "Tidak masalah, paman. Dengan senang hati aku akan melakukannya. Itu sudah menjadi tanggungjawabku." Ketiga orang itu masih bercakap-cakap sebentar, sampai akhirnya para tamu itu berpamitan. Selama beberapa jam, rumah besar itu berada dalam keadaan yang sunyi dan senyap sampai suatu teriakan yang membahana di tengah malam tiba-tiba saja membangunkan setiap orang. *** = Sekitar 15 menit sebelum kejadian. Jam 02.30, dini hari = Malam itu, tiba-tiba saja Lily terbangun dari tidurnya. Badannya terasa masih sakit. Sedikit mengerang, gadis itu mengelus bagian b*kongnya yang sepertinya memar dan tanpa sengaja menyentuh kasur di belakangnya. Menyadari kasur itu kosong, ia langsung duduk dan mata birunya jelalatan. "Lory?" Sadar tidak ada temannya dalam kamar, Lily langsung berdiri dan kakinya menendang sesuatu di lantai. Gadis itu berjongkok dan mengamati benda-benda yang terserak di bawahnya. Tahu kalau semua barang itu milik temannya dan tidak boleh terlihat orang lain, ia langsung memasukkan semuanya dalam sebuah kotak kecil dan menyimpannya jauh di bawah kolong tempat tidur. Bila Lorelai mencarinya, ia akan memberikannya nanti. Saat berdiri lagi, gadis itu tidak sadar ada satu benda yang masih tertinggal di sana. Perlahan, Lily membuka pintu kamarnya dan mengamati lorong cukup gelap di depannya. Situasi malam itu sangat sunyi dan tidak terdengar suara apapun. Gadis itu sebenarnya penakut dan gelisah kalau berada dalam tempat gelap, tapi rasa khawatirnya mendorongnya untuk mencari teman baiknya yang menghilang. Setelah menelan ludahnya berkali-kali, Lily mengambil ponselnya dan mengenakan sepatu karetnya yang ringan. Ia pun mengenakan mantelnya dan keluar dari kamar dengan langkah mengendap. Berjalan dalam rumah yang gelap, Lily merasakan bulu di tengkuknya sedikit berdiri. Ia telah tinggal di rumah ini semenjak bayi, tapi tetap saja tidak terbiasa bila berjalan-jalan di dalamnya tanpa penerangan cukup. Tangannya gatal ingin menyalakan sakelar lampu, tapi takut membangunkan kedua orangtuanya. Mereka pasti akan sangat marah bila tahu ia masih keluyuran malam-malam begini. "Lory? Kau di mana?" Gadis itu berbisik pelan dalam kegelapan, berharap dapat melihat sosok Lorelai. Hanya kesunyian yang menyapanya, membuat Lily semakin mengetatkan mantelnya. Meski saat itu musim panas, tapi tetap saja udara malam akan terasa dingin karena hampir memasuki musim gugur. "Lorelai? Kau di mana sih?" Tidak sabar, Lily mengarahkan lampu di ponselnya ke beberapa penjuru putus asa. Satu-satunya penerangan yang mantap hanyalah berasal dari lampu taman di halaman belakang. Membutuhkan sesuatu yang dapat meredakan ketakutannya akan kegelapan, gadis kecil itu langsung menuju ke pintu kaca ganda itu dan sedikit bersender di sana. Beberapa kali ia menghembuskan nafas dari mulutnya dan baru akan beranjak, saat matanya menangkap sesuatu yang aneh mengapung di tengah kolam. Semakin merasakan keanehan, Lily menempelkan hidungnya ke pintu kaca dan memicingkan matanya. Bola matanya perlahan membesar ketika ia menyadari hal yang dilihatnya. Panik, gadis itu membuka kuncinya dan langsung menghambur ke halaman kolam renang. "LORELAI!!!" Jeritannya di tengah malam segera membangunkan orang-orang. Tampak beberapa lampu mulai menyala di jendela-jendela yang tadinya gelap itu. Tanpa berfikir panjang, Lily langsung menyebur ke dalam kolam. Tidak sadar kalau kaki dan b*kongnya masih terasa sakit. Gadis itu segera berenang mendekati sosok yang terlihat mengapung di depannya dan sekuat tenaga menariknya ke tepian. Setelah susah-payah, ia berhasil mengangkat tubuh Lorelai ke atas dan segera menelentangkannya. Benaknya secara otomatis memposisikan gadis di bawahnya dalam posisi tertentu dan ia pun langsung memberikan pernafasan buatan beberapa kali. Menekan-nekan d*da Lorelai yang masih terdiam, Lily sekali lagi memberikan nafas buatan ke mulutnya. Gadis kecil itu mulai menangis ketika berusaha memompa jantung temannya yang terhenti. "LORY!? Oh, Tuhan... Please, Lore! Sadarlah!" Telinganya seolah tuli dan tidak mendengar apapun di sekitarnya. Ia juga hanya terdiam saat seseorang tiba-tiba mendorongnya hingga terjengkang ke belakang. Kedua mata birunya telah dibanjiri air mata dan ia mulai tergugu ketika sosok di depannya langsung mengangkat tubuh gadis yang telah lunglai itu. Refleks, Lily menangkap tangan besar di depannya dalam kondisi menangis dan tidak bisa berfikir jernih. "Lorelai! Dia masih hidup, kan?" Dorongan kuat dari lelaki di depannya kembali membuat gadis itu tersungkur. "Kau menghalangiku, Red! Aku harus membawa Lory ke rumah sakit sekarang!" Kedua matanya yang dipenuhi air mata hanya mampu memandang sosok itu berlari pergi meninggalkannya, sambil membawa tubuh temannya yang telah pucat. Sama sekali Lily tidak ingat bagaimana caranya ia ke rumah sakit. Ia hanya tahu, dirinya telah dibawa oleh orangtuanya ke sana dan tampak di lorong berbau obat itu, raut-raut cemas berseliweran ketika mereka harus menunggu keputusan dokter yang sedang memeriksa kondisi pasien di dalam. Saat sedang menunggu itulah, Rod tampak menatap temannya dengan penuh kemarahan. "Kau bilang akan menjaganya, Alex! Dan lihat sekarang hasilnya!?" Tidak tahu harus menjawab apa, Alex hanya mampu diam dan menunduk ke arah lantai. Suasana langsung berubah sunyi, sampai suara langkah kaki yang buru-buru terdengar di lorong itu. "Siapa orang itu, Red!?" Geraman rendah penuh kemarahan itu terdengar dari orang yang baru datang. Tampak Gregory memegang sesuatu di tangan kirinya dan rautnya terlihat bengis. "JAWAB AKU!? SIAPA ORANG ITU, RED!?" Berusaha melindungi puterinya, Alex menarik Lily dan membuatnya berdiri di belakangnya. "Apa maksudmu, Greg?" Menatap Alex dengan pandangan yang sedikit liar, Gregory menunjukkan test-pack yang ada di tangannya. Tampak garis dua tergambar di hasilnya. "Aku menemukan ini di kamar Lily! Aku yakin ini punya Lorelai, dan bukan miliknya! Aku benar kan, Red!?" "Kau menggeledah kamar anakku?" Suara Alex terdengar meninggi. Ia tidak suka orang lain mengacak-acak rumahnya seenaknya. "Alex darl. Aku yakin, Greg-" "Tidak, Liliana. Ini sudah keterlaluan! Meski kita bertetangga dekat, tapi hal yang dilakukan Gregory sudah kelewat batas! Dia tidak berhak melakukan itu pada anak kita!" "Tapi kau yang telah memberikan wewenang itu padaku, paman Alexander!" "Dan aku menyesalinya, Gregory! Sepertinya keputusanku salah!" Menarik tangan anak dan isterinya, Alex tampak akan pergi dari sana saat suara Gregory menggelegar lagi. "Siapa orang itu, Red!? Aku yakin, kau tahu siapa pria yang telah menghamili Lory!" Rod yang sejak tadi hanya mengamati situasi di depannya, mulai merasakan sesak di daerah d*danya. "Greg..." Pria gempal itu meraih bahu anaknya dan tubuhnya langsung melorot ke bawah. "DAD!?" Melihat situasi yang sudah sangat kacau, Alex berlari mencari dokter. Tampak setelahnya, beberapa orang membantu mengangkat tubuh Rod ke brankar dan melarikannya ke kamar lain. Pria itu bersama isterinya tampak menemani pria baya yang tengah dilarikan itu dan meninggalkan anaknya yang mematung di sana. Sosok Gregory yang besar tampak kaku dan terlihat sangat pucat. Pria itu mengalami kebingungan, apakah harus tetap menemani adiknya atau meninggalkannya dan menemani ayahnya di tempat lain. Tangannya yang besar gemetar saat ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Frederick! Kau ada di mana sebenarnya? Dad pingsan, dan Lorelai masih belum siuman!" Suara Fred terdengar teredam dan tidak jelas. "Aku dalam perjalanan, Greg. Sepuluh menit lagi sampai." "Cepatlah!?" Tidak menunggu jawaban saudaranya, Gregory mematikan sambungan itu dan langsung menatap Lily. Sorot mata lelaki itu adalah sorot yang tidak akan pernah dilupakan gadis itu seumur hidupnya. "Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai terjadi sesuatu pada Lorelai, Red. Kejadian ini dapat dicegah, kalau kau segera mengatakan mengenai kondisinya padaku sore tadi! Seharusnya kau bisa membalas budi baik orangtua angkatmu dengan tidak melibatkan mereka dalam masalah seperti ini!" Kaku, Gregory menjauh dan menghempaskan diri di salah satu kursi tunggu. Tampak lelaki itu menunduk dan menutupi wajahnya frustasi. Pria berusia 25 tahun ini sama sekali tidak tahu, kalau kata-katanya tadi akan sangat membekas dalam benak gadis kecil yang baru menginjak usia 14 tahun tepat di hari itu. Kata-kata itu membekas, karena itu pertama kalinya Lily mendengar mengenai statusnya di keluarga Walton.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN