Chapter 11 - Hers in his fingers

1945 Kata
Di depan pintu kamar mandi di lantai dua itu, tampak sosok kecil yang sedang berdiri menunggu. Kedua tangannya yang mungil terlihat saling mer*mas gelisah. Menoleh ke kanan-kirinya, ia pun mengetuk gugup. "Lory? Masih lama?" Suara teredam terdengar dari dalam. "Sebentar lagi, Lils. Masih belum keluar. Tunggu di situ dulu ya." "Kenapa tidak di kamarku saja, sih? Biar lebih enak." "Tanggung, Lils. Biar ga' bolak-baik. Tinggal satu lagi. nih." "Cepetan ya!" "Iya! Iya!" Menghela nafasnya gugup, gadis kecil itu menunduk dan menatap kedua telapak tangannya yang memerah. Sedikit rileks, ia mengusap-usap tangannya sambil melamun. Selama beberapa saat, gadis itu masih asyik membersihkan jari-jarinya yang ternyata ternoda tinta di beberapa tempat. Ia sama sekali tidak sadar ada seseorang yang mendekat dari arah belakangnya. "Red?" Tidak menoleh karena panggilan itu, sebuah tangan terulur ke arahnya. Badan mungil itu terlonjak saat telapak besar itu menepuk pelan bahunya. "OH!?" Sangat terkejut, tubuh gadis kecil itu oleng dan tersandung ke belakang. Untungnya, sepasang tangan kuat langsung menahan bawah ketiaknya dan berada di samping kedua d*danya. Seperti melingkupinya. Dengan gugup, gadis itu menoleh dan langsung merasa lega. "Rory!" Pipinya bersemu warna merah jambu yang cantik. Tersenyum gugup hingga menimbulkan lesung dalam di kedua pipinya, Lily berusaha berdiri tegak dan menjauhkan diri. Tangan gadis itu merapihkan helaian rambut merahnya yang sedikit terlepas ke belakang telinganya, saat ia menyadari kalau telapak tangan besar lelaki itu ternyata masih berada di tempatnya tadi. Entah perasaannya saja atau tidak, Lily merasakan jari-jari panjang pria di belakangnya sedikit memberikan tekanan di samping d*danya dan membuat jantung gadis kecil itu mulai memompa darahnya lebih kencang. Ada sesuatu di sentuhan lelaki itu yang berbeda dan tidak ia mengerti. Jari-jari Gregory terasa mulai mendekati area yang terasa lebih sensitif di tubuhnya, membuat alarm di benak Lily bergema kencang. Ia teringat nasihat ibunya sejak kecil. Gadis mungil itu ingin kabur dan melepaskan diri, tapi tubuhnya seolah mematung dan tidak mampu bergerak. Bulu kuduknya mulai berdiri saat jari-jari hangat itu semakin mendekati bagian tengah d*danya dan membangkitkan sesuatu di dirinya. "Ro- Rory...?" Jari telunjuk dan jari tengah pria itu hampir saja melakukan pikiran kotor seorang lelaki, saat panggilan kecil itu tiba-tiba saja menghentikannya. Dengan cepat, Gregory menarik kedua tangannya yang sedang memeluk tubuh mungil di depannya. Pria itu mendorong punggung Lily menjauh dan membuatnya hampir tersungkur lagi bila tangan lelaki itu tidak segera menarik kerah baju gadis kecil itu. Sedikit kasar, Gregory membenarkan posisi tubuh Lily dan tampak berdiri menjauh. Suaranya yang rendah dan berat terdengar sedikit serak saat ia berbicara. "Mana Lory?" Antara terkejut dengan pengalaman tadi dan juga sikap kasar pria itu, rona di pipi Lily menghilang. Debaran aneh di jantungnya tadi pun langsung mereda, meninggalkan rasa hampa di hati gadis itu. Kegembiraannya karena bertemu lagi lelaki ini setelah sekian lama, terasa mulai pupus di dalam. "Ehm. Lo- Lory sedang di kamar mandi." Jari telunjuknya mengarah ke pintu kamar mandi yang tertutup. Raut pria di depannya tampak dingin dan tidak menatapnya sama sekali. Lelaki itu mendekati pintu kamar mandi dan mulai menggedornya cukup kasar. "Lory? Kau di sana?" Belum mendengar jawaban, ketukan pria itu mulai terdengar tidak sabar. "Lory, buka pintunya atau aku akan-" Pintu itu pun langsung terbuka lebar. Tampak sosok Lorelai keluar dari dalam dan ekspresinya tidak senang. "Kau kenapa, sih? Tidak sopan sekali!" Wajah Gregory tidak berubah dan pria itu langsung mencekal lengan atas Lorelai. "Dad mencarimu dari tadi siang. Ayo, kita pulang." "Aku tidak mau, Greg!" Gadis bongsor itu memberontak keras hingga cekalan itu terlepas. Ia mundur dan mendekati Lily yang masih mematung. Saat berdiri di sampingnya, tinggi Lorelai tampak menjulang. Ubun-ubun gadis mungil itu hanya mencapai batas telinga Lorelai. Melihat pertengkaran kakak-adik di depannya, gadis itu tidak berani ikut campur. Ia tahu teman baiknya tidak terlalu menyukai Gregory yang dianggapnya kaku dan tukang mengatur. "Aku mau menginap di rumah Lily." Helaan nafas kasar terdengar dari hidung Gregory yang lurus. Tatapannya menajam. "Lory. Dad khawatir dengan keadaanmu. Lebih baik kau pulang dulu, biar dad-" "Aku tidak mau pulang! Aku baik-baik saja, Greg!" Jeritan Lorelai yang tidak disangka-sangka cukup mengagetkan dua orang yang sedang memandanginya. Pria itu terdiam sejenak tapi kedua alisnya yang tebal tampak mulai berkerut curiga. "Lorelai? Kau-" "Aku baik-baik saja! Aku akan menginap di rumah Lily malam ini!" Tanpa menunggu jawaban kakaknya, gadis itu berbalik dan langsung menghambur ke kamar Lily yang ada di tengah lorong. Suara debaman kencang terdengar ketika Lorelai membanting pintunya. Keheningan tidak mengenakkan terjadi di tengah lorong lantai dua itu. Ragu-ragu, Lily menatap Gregory yang masih berdiri sangat kaku dan ekspresinya mengeras. Pria itu masih belum menatapnya. "Ehm... Kalau ada apa-apa dengan Lory, aku janji akan segera mengabari kalian. Kamu tidak usah khawatir." "Dia punya pacar?" "Huh?" Kepala lelaki itu menoleh dan menatapnya penuh tuduhan. Tatapan yang tidak pernah ia dapat sebelumnya. Sekian lama mengenal Gregory, mereka cukup jarang bertemu terutama sejak pria itu kuliah dan pindah ke NY. Kenangan Lily bersamanya hanyalah kilasan-kilasan masa kecilnya ketika lelaki itu masih remaja dan sering mengusap kepalanya. Ini adalah pertama kalinya mereka berdua bicara, tanpa kehadiran orang lain. "Dia punya teman lelaki yang dekat, kan? Dua bersaudara itu?" Lily menelan ludahnya sangat sulit. Ia tidak bisa berbohong, tapi Lorelai telah membuatnya berjanji. Tidak mungkin ia mengkhianati temannya, meskipun itu untuk Gregory. Tahu kebohongannya akan terbongkar, gadis mungil itu mulai menghindari tatapan pria di depannya yang jelas-jelas curiga padanya. "A- Aku tidak tahu." Gugup, Lily berusaha melewati Gregory untuk menuju kamarnya tapi tangan pria itu tiba-tiba saja menahan dan mendorongnya ke arah dinding. Bahunya ditahan kencang dan wajah lelaki itu mulai mendekat padanya. Bayang-bayang gelap perlahan menaungi gadis itu yang jauh lebih kecil. Kepalanya terpaksa mendongak tinggi untuk menatap lelaki yang memepet di hadapannya. "Ro- Rory. Lepaskan aku." Gadis kecil itu dapat merasakan aliran udara panas dari mulut Gregory saat pria itu bertanya rendah. "Siapa orang itu, Red? Salah satu dari mereka?" Membuang mukanya, Lily berusaha bertahan. "Aku tidak mengerti maksudmu, Greg." Salah satu tangan Gregory mencengkeram pipinya dan memaksanya menatap padanya. Kedua pasang mata biru itu saling memandang beberapa saat. Satu menatap tajam dan lainnya bertahan, sampai akhirnya tatapan pria itu mulai turun dan memandang ke titik yang berbeda. Teralihnya perhatian lelaki itu, membuat Lily sejenak merasa lega dan mengerjapkan matanya cepat untuk mengusir kegugupannya. Baru kali ini, Lily bertatapan dengan Gregory dalam jarak yang sangat dekat. Ia dapat mengamati struktur wajah dan kulit pria itu yang sempurna di depannya. Kulit lelaki itu halus dan tidak bernoda, berbeda dengan kulitnya sendiri yang berbercak cokelat di daerah hidung dan pipinya. Seringkali gadis kecil itu tidak percaya diri dengan keadaan kulitnya yang tidak semulus gadis-gadis lain di sekolahnya. Meski teman dekat Lorelai, tapi hati Lily sebenarnya dipenuhi rasa iri. Lorelai Harrington adalah gadis yang sangat cantik. Tubuhnya semampai, dan lekuknya mulai terbentuk di usianya yang beranjak 15 tahun. Rambutnya panjang, dan berwarna pirang. Tidak heran bila di usianya yang masih belia, gadis itu sudah terkenal di sekolah dan berhasil menjadi anggota tim cheerleader. Sedangkan di tempat lain, gadis mungil itu hanya bisa gigit jari saat pendaftarannya ditolak karena masalah tinggi badan. Tidak jarang, banyak orang yang membandingkannya dengan temannya yang jauh lebih superior secara fisik. Selama bertahun-tahun, Lily berjuang untuk mengatasi rasa rendah dirinya. Ia berusaha meningkatkan tinggi badannya melalui olahraga renang yang ditekuninya sejak berusia 10 tahun. Ia juga berupaya mengalihkan perhatian orang-orang dari fisiknya yang mungil pada kemampuan otaknya yang memang encer. Ia cukup berhasil tapi tetap saja, rasa rendah diri itu ada terutama saat dirinya semakin beranjak remaja. Di saat banyak remaja lelaki mulai mendekati Lorelai, perlahan gadis mungil itu merasa tersisih dan tidak berguna. Beberapa kali Lily ingin menjauhi Lorelai. Ia merasa temannya tidak membutuhkannya lagi, dan tidak mau dianggap benalu serta menumpang popularitasnya saja. Tapi saat ingat Gregory, ia menjadi tagu-ragu. Lamunannya terhenti saat ia merasakan usapan pelan di daerah mulutnya. Tatapannya naik dan jantungnya kembali berdebar-debar. Menatap mata pria di depannya, ia dapat melihat kedua pupil lelaki itu membesar dan hampir menutupi iris matanya yang berwarna biru muda. Cuping hidungnya yang sempit pun terlihat melebar dan bercak merah muncul di tulang pipinya yang tinggi. Pria itu terlihat memandangi mulutnya. Lelaki itu seperti sedang demam, karena Lily dapat merasakan hawa panas mulai menguar dari tubuhnya. "Rory?" Panggilan pelan itu membuat kedua mata biru Gregory mengerjap cepat dan lagi-lagi, pria itu mendorongnya kasar dan membuat punggung Lily membentur dinding di belakangnya. Ekspresi pria itu tampak penuh kebencian saat memandangnya. Rahangnya mengeras dan jelas, ia sedang menggertakan giginya kencang di dalam. Dengusan terdengar dari lubang hidungnya yang mengembang. "Suruh Lory pulang ke rumah malam ini, Red. Atau aku akan menjemputnya paksa nanti." Setelah mengeluarkan ancaman yang membuat tulang Lily dingin, lelaki itu berbalik dan meninggalkannya begitu saja di lorong. Kedua mata birunya masih menatap punggung Gregory yang tampak menghilang di sudut belokan. Menatap nanar ke arah lantai lorong, mata gadis itu mulai memanas. Entah perasaan apa yang ada dalam diri Lily tapi d*danya terasa sangat sakit saat mengingat tatapan pria itu tadi. Gadis itu tahu kalau Gregory tidak akan pernah melihat padanya, tapi tidak satu kali pun ia bermimpi akan mendapat tatapan penuh kebencian itu dari idolanya sendiri. Ia hampir saja meneteskan air matanya saat pintu kamarnya terbuka perlahan dari dalam. "Lils? Greg sudah pergi?" Suara serak Lorelai membuat Lily mendongak. Tampak temannya terpaku saat menatapnya dan langsung mendekatinya. Ia memegang kedua bahu temannya yang mungil. "Lily? Apa yang dia lakukan padamu? Dia menyakitimu?" Segera sadar dari rasa shock-nya, kepala Lily menggeleng pelan. "Tidak. Tidak. Aku tidak apa-apa." "Tapi kau seperti mau menangis! Aku akan bilang papa untuk menghukumnya!" Lorelai tampak akan beranjak pergi dengan marah, saat tangan Lily menahannya. "Lory! Sungguh, aku baik-baik saja. Tadi aku hanya kaget dengan kata-katanya. Itu saja." Mata cokelat Lily memicing tidak percaya. "Kau yakin? Kau bohong, kan?" Mencubit pahanya sendiri tidak terlihat, mata Lily yang besar mengerjap cepat. "Aku tidak bohong, Lory. Aku sumpah." Untuk bagian itu, dia memang tidak berbohong. Menghela nafas dalam, tubuh Lorelai akhirnya berbalik dan menghadap temannya. "Oke. Kalau begitu, apa yang dia bilang tadi? Sampai kau shock begitu?" "Dia bilang akan menjemput paksa dirimu, kalau kau tidak pulang malam ini." "Itu saja?" "Itu saja." Kening Lorelai berkerut dalam. "Tidak ada yang aneh dengan itu. Tapi kenapa kau-" Tiba-tiba saja Lorelai terdiam dan pipinya tampak menggembung. Gadis itu menutup mulutnya dan lari menghambur ke arah kamar mandi. Tubuh Lily membeku di depan pintu tertutup itu dan ketika temannya menongolkan wajahnya dari dalam, suara lembut gadis mungil itu terdengar sangat kaku dan tajam. "Lorelai? Bagaimana hasilnya?" Pertanyaan itu hanya dijawab dengan tatapan Lorelai yang menyedihkan dan isakan yang mulai muncul. Langsung memeluk tubuh temannya yang jauh lebih tinggi dan tengah menyurukkan wajah ke lehernya, Lily menghela nafas dan memandang ke arah lorong tempat Gregory pergi tadi. Pikirannya mulai dipenuhi bayangan liar kalau pria tadi sampai mengetahui hal yang sedang terjadi pada adiknya ini. Fred mungkin hanya akan marah-marah dan menghajar orang yang betanggungjawab. Tapi reaksi Gregory sama sekali tidak bisa dibayangkannya. Pria itu dapat melakukan sesuatu yang lebih gila. Ia dapat menjadi sangat kasar dan bisa berbuat nekat. Gadis itu sangat takut bila sampai hal yang dikhawatirkannya terjadi dan kejadian beberapa tahun lalu terulang lagi. Mencengkeram lengan atas Lorelai, Lily menarik gadis itu ke kamarnya. "Ayo. Lebih baik kita bicara di dalam." Sementara itu di waktu yang sama, terlihat Gregory menuruni tangga melingkar yang mengarah ke lantai satu. Wajah pria itu sangat kaku dan saat berada di salah satu sudut ruangan, ia menarik nafas dalam dan menyenderkan punggung ke dinding di belakangnya. Tampak ia menutup matanya erat dan akhirnya menunduk, menatap telapak tangan kirinya yang membuka. Pandangannya terlihat melamun sambil mengamati jari-jarinya yang saling mengusap. Bulu kuduk pria itu mulai meremang saat ia mengingat sensasi yang barusan dirasakannya. "Gregory?" Kepala pria itu terdongak dan bibirnya yang tadinya kaku membentuk senyuman samar. "Dad."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN