Andra memukul-mukul kemudi mobilnya dengan kencang. Dia marah, sedih, kecewa dan syok begitu mendengar kabar yang disampaikan oleh tim dari kepolisian yang menyelidiki kasus kecelakaan Risa.
Pria itu sama sekali tidak menyangka jika Risa ternyata bisa berbuat nekat. Kecelakaan yang dialaminya dengan Siera memang karena suatu kesengajaan.
Tapi itu bukan berarti Siera yang mencelakai Risa. Namun Risa memang berniat bunuh diri. Hal itu bisa dibuktikan dengan laporan medis yang berhasil didapatkan oleh kepolisian dari psikiater yang selama ini didatangi oleh wanita itu.
Dari hasil otopsi juga ditemukan fakta bahwa Risa mengkonsumsi pil anti depresi. Dan hal itu dibenarkan oleh sang psikiater jika wanita itu sudah mengkonsumsinya sejak dua tahun terakhir.
Dan sepertinya dirinyalah yang menyebabkan Risa seperti itu. Andra tau bahwa Risa depresi berat karena perbuatannya.
Andra berteriak kencang di dalam mobil berkecepatan tinggi yang melintas di jalanan ibukota tengah malam itu. Menyetir mobil seperti orang kesetanan, Andra berniat menuju ke tempat dimana Risa mengakhiri hidupnya.
Sampai disana, di tepi sebuah jurang yang dalam, pria itu bersimpuh di tanah. Memohon ampun atas dosa-dosa yang dia lakukan pada Risa.
"Risa, maafkan aku. Seandainya malam itu aku mau mengalah. Pasti kamu nggak akan menderita karena aku," tangisnya.
"Aku memang egois, Risa. Maafkan aku."
Andra menangis sedih saat mengingat kesalahannya dua tahun lalu. Kesalahan yang terus menghantui hidupnya sehingga selama dua tahun pernikahannya dengan Risa, tidak sedikitpun terselip rasa bahagia.
Suara dering ponsel menghentikan tangisnya. Dengan segera dia merogoh kantongnya untuk mencari ponsel pintar miliknya. Nama yang tertera di benda pipih itu membuat tenggorokan Andra tercekat.
Siera, wanita itu...
Dialah segala sumber masalah di hidupnya. Dia akar mimpi buruk yang ditemui Andra tiap malam.
Tangan Andra menggeser layar untuk mengangkat telepon dari istrinya tersebut. "Halo, Mas. Kamu dimana?" Suara lembut yang terselip nada cemas itu membuatnya terdiam.
Seandainya Siera...
"Mas, kenapa kamu belum pulang?" Begitu halusnya suara Siera membuat Andra lagi-lagi mengutuk dirinya saat tersadar jika wanita itu juga ikut menanggung dosa-dosanya selain Risa.
"Mas..."
"Siera..." Suara serak Andra menyebut nama sang istri yang selama ini dia sia-siakan. "Aku ceraikan kamu."
Hening. Tidak ada sahutan dari Siera.
"Siera Inara, aku ceraikan kamu."
"Mas..." Suara bergetar Siera membuat Andra meneteskan air mata, beryukur karena untuk terakhir kalinya dia bisa mendengar suara istrinya sebelum ajal menjemput.
Andra menangis. Seandainya saja dia tidak menghamili Siera, tentu ini tidak perlu terjadi.
***
"Siera... Aku ceraikan kamu."
Siera seperti bermimpi saat mendengar ucapan itu dari ponsel yang digenggamnya. Sakit sekali rasanya. Lebih sakit dibanding saat dia kehilangan bayinya dua tahun lalu.
Dia tidak percaya bahwa Andra mampu mengucapkan kata-kata itu padanya. Dia bahkan sangat yakin jika dia sedang bermimpi jika saja air matanya yang jatuh tidak menjadi bukti. Bahwa Andra menjatuhkan talak padanya.
"Mas..." isaknya lirih.
"Siera Inara, aku ceraikan kamu."
Siera menangis tersedu begitu Andra menutup sambungan telepon bahkan sebelum dia sempat menjawab.
Setega itu Andra padanya. Setelah semua pengorbanan yang dia lakukan, inikah balasannya?
"Mas Andra..." lirihnya pilu. Tubuhnya jatuh merosot ke lantai. Kakinya tidak mampu lagi berpijak. Dunianya serasa runtuh.
Pria itu, pria yang sangat dia cintai sepenuh hati, kembali mengukir luka di hati Siera untuk yang kesekian kalinya.
Lama wanita itu menangis, meratapi nasib dan jalan hidupnya yang begitu buruk. Pantaskah ini dia dapatkan? Adilkah Sang Maha Pencipta pada dirinya?
Suara tangis bayi dari dalam boks mengalihkan perhatiannya. Dengan langkah gontai dia berjalan untuk menghampiri bayi cantik yang menjadi sandaran hidupnya tersebut.
Diciumnya pipi mulus dan bulat si bayi dengan penuh kasih sambil menangis. Hancur hatinya kala memikirkan nasib bayi itu selanjutnya.
Siera sudah diceraikan. Itu artinya dia tidak lagi berhak ada disana. Dia harus meninggalkan bayi itu.
Padahal bayi itu adalah satu-satunya alasan Siera bertahan hidup hingga saat ini. Dia tidak ingin kehilangan bayi itu seperti dia kehilangan bayinya dulu.
Tidak lagi. Jangan lagi Ya Allah, jeritnya dalam hati.
Siera melangkah perlahan keluar kamar dan turun ke lantai bawah untuk menemui mertuanya.
Wanita yang dia yakini sangat membencinya itu seketika memasang wajah sinis begitu melihat Siera. Dia tidak menjawab saat Siera memanggil namanya. Wanita itu hanya bergeser sedikit dari duduknya tanpa mau mengalihkan pandangannya dari majalah yang sedang dia baca.
"Ma..." Siera memberanikan diri untuk kembali memanggilnya.
"Mas Andra menceraikan Siera, Ma." Nada suara lirih penuh luka itu akhirnya mengantarkan Siera pada keputusan akhir hidupnya di rumah itu. Rumah besar yang selama ini dia tinggali bersama orang-orang terkasih.
Tanpa Siera duga, wanita itu seketika menoleh, merespon cepat ucapan Siera barusan.
"Apa kamu bilang?" tanyanya pada Siera. Wajahnya memancarkan rasa penasaran dan tidak percaya.
"Mas Andra mentalak Siera, Ma. Di telepon," isak Siera sambil memeluk Saski.
"Oh... bagus dong. Jadi akhirnya anak saya bisa keluar dari neraka."
"Ma..." lirih Siera sambil menggeleng lemah. Tidak ada yang memihaknya di rumah ini. Suami dan mertuanya sama-sama membencinya.
"Ya udahlah kamu cepet keluar ya dari sini. Bawa sekalian itu anak haram Adik kamu."
Siera menangis tergugu di tempatnya berdiri. Sementara bayi yang berada di gendongannya memeluknya sambil terisak. Seolah tau kesedihan ibunya, bayi itu memeluk Siera dengan kedua lengan mungilnya.
"Ma... Saski bukan-"
"Ya...ya.. Terserah kamu deh. Yang pasti saya nggak akan mengakui anak itu sebagai cucu saya," tukas Eva.
Wanita itu menutup majalah di pangkuannya lalu bangkit berdiri dan dengan gaya congkak, berjalan menghampiri Siera. "Segera tinggalkan rumah ini. Sebelum Andra pulang dan menyeret kamu keluar dari rumah ini."
Eva tersenyum senang kemudian menaiki tangga. "Akhirnya Andra sadar juga sekarang. Lega rasanya," gumamnya penuh suka cita.
***
Siera hendak mengangkat koper besar miliknya, saat tangannya ditahan oleh Sri. "Biar saya yang bawakan, Bu."
Siera mengangguk pelan. Dengan wajah basah dan mata sembab dia turun ke lantai bawah mengikuti Sri yang turun lebih dulu sambil membawa kopernya.
Saat melangkah melewati tangga, wanita itu masih sempat memandangi sekeliling rumah yang menjadi tempat tinggalnya selama setahun terakhir itu. Dia pasti akan merindukan rumah itu, beserta penghuninya.
Langkahnya terhenti saat tiba di depan pintu kamar Eva. Diketuknya pintu besar di depannya itu. Namun tidak ada jawaban. Beberspa kali Siera mencoba memanggil Eva agar keluar dan dia bisa berpamitan, namun Eva tidak menjawab sekalipun.
"Bu, sudah. Lebih baik ibu berangkat. Sudah malam, Bu. Kasihan Saski." Suara Sri yang memperingatkan, membuat Siera mengangguk. Wanita itu menghapus air matanya lalu berjalan bersama Sri ke arah pintu.
"Sri, tolong jaga rumah baik-baik ya. Kalau ada apa-apa, tolong telfon saya."
Sri mengangguk. "Ibu yang sabar ya. Semoga nanti Bapak bisa terbuka pintu hatinya untuk Ibu."
Siera mengangguk cepat sambil menangis. Ya, dia tidak bisa melakukan apapun saat ini selain pergi. Dia sudah diceraikan. Jadi dia tidak berhak lagi ada di Siera Andra.
Toh, selama bersama Andra, tidak pernah sedikitpun kebahagiaan diberikan oleh pria itu. Hanya sakit dan air mata yang sehari-hari didapatkan Siera saat menjadi istri Andra.
Siera memasuki taksi yang sudah menunggunya di luar rumah dengan berhati-hati, takut Saski terbangun dari tidurnya. Air matanya kembali jatuh saat taksi yang dia tumpangi bergerak meninggalkan rumah besar tersebut. Akhirnya, setelah semua usaha dan pengorbanannya, dia harus pergi juga dari sana.
***
"Astaghfirullah, Si. Tega banget suami kamu itu," ungkap Elisa sambil meletakkan teh hangat di hadapan Siera.
"Makasih Sa," ucap Siera sambil menggeser cangkir teh ke arahnya.
"Kan aku udah bilang dari dulu, tinggalin Andra. Kamu sih, ngeyel."
Siera diam, tidak menjawab. Diseruputnya sedikit teh hangat yang dibuatkan oleh Elisa. Berharap pusingnya sedikit terobati dengan minuman hangat itu.
"Kok bisa ya, dia ceraikan istri dari telfon gitu. Kejam banget," Siera masih tidak menggubris komentar-komentar Elisa tentang Andra.
Diliriknya sang putri yang sedang bermain dengan Uci, asisten rumah tangga Elisa. Wajah bayi itu terlihat lebih bersinar dibanding saat di rumah tadi. Demamnya juga sudah berangsur turun sejak tiba di rumah Elisa.
Bayi itu, yang dia miliki saat ini. Hanya untuk saat ini, karena Siera tau Andra akan mengambilnya. Dan Siera mungkin tidak bisa menghalangi, karena Saski adalah anak kandung si mantan suaminya itu. Andra lebih berhak atas Saski dibanding dirinya.
Siera tersenyum kecil saat mendengar suara ocehan Saski. Dia berniat bangkit dan menghampiri bayi itu. Namun terhalang karena mendengar suara dering ponselnya.
Dia mengambil benda berwarna emas yang dia letakkan di meja tersebut. Seketika keningnya berkerut saat mendapati jika Sri yang menghubunginya.
Cepat-cepat digesernya layar ponsel pintar itu untuk mengangkat telepon dari Sri. "Assalamualaikum, Sri?" ucapnya.
"Bu... Bapak meninggal."
Mata Siera sontak membulat seketika mendengar kalimat yang diucapkan oleh Sri. "Ap-apa Sri?"
"Bapak kecelakaan, Bu. Bapak meninggal."