"Mas Andra?" ujar Siera kaget begitu melihat Andra berlari-lari kecil menghampirinya. Badan pria itu basah karena menerobos hujan.
Siera sontak berdiri dari kursi begitu Andra sampai di depannya. "Kamu kok kesini, Mas?" tanyanya.
Andra mengangguk. "Aku mau jemput kamu."
"Kan aku udah bilang mau bareng Elisa."
"Kan lagi hujan, Si. Masa hujan-hujanan naik motor," ujar Andra sambil tersenyum pada Siera.
Tetapi mata pria yang tadinya berbinar, mendadak menyipit tak suka saat melihat pakaian Siera hari ini. Andra menghela nafas pelan.
Dilepasnya jaket hitam miliknya yang sedikit basah terkena hujan. Lalu dipakaikannya pada tubuh ramping gadis itu. "Kan aku udah bilang, baju yang udah sempit jangan dipakai lagi."
Siera melihat ke arah kemeja pink bermotif bunga yang dipakainya hari ini. Kening gadis itu berkerut. "Ini nggak sempit kok, Mas. Masih muat dipakai," balasnya.
"Tapi kamu jadi dilihatin orang."
Siera mengerucutkan bibirnya. "Kenapa harus kuatir sama pandangan orang. Yang penting kan aku nyaman, Mas."
Andra menggeleng tak setuju. Dia membantu Sisi menarik resleting jaket miliknya lalu merapikan rambut Siera yang sedikit berantakan karena terkena angin.
"Tapi aku nggak suka kamu diliatin orang, Si," ujar Andra "Jangankan diliatin orang. Kamu diliatin cicak aja, aku nggak rela."
Siera membuka matanya tiba-tiba. Suasana temaram kamar tempatnya berada pun menyambutnya. Wanita itu bangun dari tidurnya lalu menyalakan lampu utama.
Begitu cahaya lampu menerangi kamar, matanya sontak mencari sosok bayi mungilnya yang kini sedang terlelap di dalam boks samping ranjangnya.
Siera beranjak menghampirinya, membenarkan letak selimutnya lalu mengelus kepalanya sejenak. Kemudian dia duduk di pinggir ranjang, memandangi wajah manis percampuran antara wajah adiknya, Risa dan juga almarhum suaminya, Andra.
Siera tanpa sadar menjatuhkan air matanya saat teringat Andra. Sudah tujuh hari sejak kematian mantan suaminya itu, namun hingga kini dia masih tidak percaya jika pria itu sudah tiada.
Siera masih ingat betul sosok pria itu, dilihatnya tengah ditutup kain putih. Terbujur kaku di kamar mayat sebuah rumah sakit umum di daerah Bogor.
Siera tiba-tiba terisak. Sakit hatinya, benar-benar sakit. Jadi setelah menceraikannya, pria itu memutuskan untuk pergi menyusul Risa.
Dia mengabaikan Siera dan juga putrinya. Untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Jalan hidup yang tidak diridhoi oleh Sang Maha pencipta. Jadi seperti itulah akhirnya. Setelah mencintai Siera selama bertahun-tahun, pria itu justru berpaling pada Risa di akhir hidupnya. Dia lebih memilih pergi dengan Risa dari pada membesarkan Saski.
Rupanya Andra lebih mencintai Risa dari pada Siera, bahkan Saski yang adalah putri kandungnya. Jadi kini Siera tidak lagi memiliki perasaan yang bisa dia pertahankan untuk pria itu.
Siera menoleh ke arah nakas, tempat dimana dia meletakkan pigura bersisi foto Andra. Memandangi foto itu lama. Membatin, menerka-nerka isi hati pria yang sangat dia cintai itu.
Kenapa begitu mudah bagi Andra untuk membuang Siera dari hatinya? Hanya begitu sajakah perasaannya? Lantas kemana janjinya dulu? Janji sehidup semati dengan Sisi.
Kenapa justru sekarang dia memilih untuk sehidup semati bersama Risa? Semudah itu hati Andra berubah? Bahkan setelah semua yang terjadi, setelah pengorbanan yang dia lakukan demi pria itu, rupanya Siera tetap tidak berharga bagi Andra.
Siera bangkit dan berjalan menuju ke tempat pigura itu berada. Diusapnya pigura tersebut dengan perlahan. Air matanya jatuh tepat di atas foto Andra yang sedang tersenyum lebar.
Foto itu di ambil saat Andra baru masuk kuliah. Andra saat itu bersikeras untuk minta foto bersama Siera. Tapi Siera menolaknya. Dia ingin punya foto Andra saat sendiri, tidak bersamanya.
Sudah banyak foto mereka bersama. Tapi Siera tidak punya satupun foto Andra saat sedang sendiri. Karena itu dia ingin mengambilnya satu sebagai kenangan. Kenangan yang dia kenang hingga kini. Bahkan setelah pria itu pergi untuk selamanya.
"Jangan lagi, Mas. Sudah cukup," bisiknya pada foto tersebut. "Jangan lagi muncul di mimpiku. Aku sudah melepaskan kamu. Aku sudah ikhlas," lanjutnya.
"Aku akan menjaga Saski dengan baik. Kamu bisa pergi dengan tenang," ujar wanita itu. Kemudian dimasukkannya pigura tersebut di laci dan menguncinya.
Siera menarik nafas panjang. Sudah waktunya dia melanjutkan hidup. Andra harus menjadi masa lalunya. Kini dia tidak boleh lagi merindukan pria itu. Tidak boleh sama sekali.
***
"Aku berangkat ya Sa," ucap Siera setelah memasukkan koper terakhirnya ke dalam taksi.
Elisa menghela nafas panjang. "Kamu beneran harus pindah kesana, Si? Nggak sebaiknya kamu tetep disini aja?"
Siera menggeleng pelan. "Aku harus pergi, Sa."
"Tapi disini juga ada banyak kerjaan yang lebih baik, Si. Nanti aku bisa minta temenku buat-"
"Sa..." potong Siera segera. "Ini bukan cuma tentang pekerjaan. Kamu tau aku harus pergi."
Elisa menghela nafas berat begitu melihat mata Siera yang berkaca-kaca. Wanita itu pun mengangguk paham. Memang bukan masalah pekerjaan. Tapi ada yang lebih penting.
Siera butuh melupakan Andra. Melupakan pria yang dia cintai sejak masih duduk di bangku sekolah menengah hingga kini. Pria yang banyak memberikan kenangan untuk Siera. Entah itu kenangan baik ataupun buruk.
Dan mungkin keputusan Siera untuk pindah keluar kota adalah ide bagus. Dia bisa memulai hidupnya yang baru disana. Tanpa Andra dan segala yang berhubungan dengannya.
Ya, hidup tanpa Andra. Berusaha melupakan Andra dan kenangannya. Tapi Andra lupa bahwa dia membawa bagian dari diri Andra bersamanya, putrinya. Yang mungkin justru akan membuat pria itu terus tinggal bersamanya, selamanya dalam hatinya.
"Hati-hati, Si. Tolong hubungin aku segera kalau ada apa-apa. Aku janji, aku pasti ak-" Ucapan Elisa terhenti karena Siera memeluknya tiba-tiba.
"Makasih, Sa. Makasih banyak," ujar Siera sambil meneteskan air mata, terharu akan kebaikan sahabatnya itu.
Elisa mengangguk pelan. Wanita itu mengelus kepala Saski yang tertidur nyenyak dalam gendongan Siera. "Sehat-sehat ya, Nak. Cepet besar biar bisa jaga Bunda."
"Aku pergi, Sa!"
Elisa mengangguk pelan. Gadis itu melepaskan kepergian sang sahabat dengan tangisan. Berharap saat di kota nanti Siera akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.
Siera melambai pada Elisa dari kaca jendela mobil sembari berlinang air mata. Dia pergi meninggalkan kota kelahirannya dengan genangan air mata yang henti mengalir menyertai kesedihannya.
Wanita itu mengelus pipi tembam sang putri yang mengingatkannya pada adiknya yang juga adalah mantan istri suaminya. Dalam hatinya dia membatin, seandainya saja Risa masih hidup, tentu bayi itu tidak akan menderita bersama Siera. Dia pasti akan bahagia diasuh oleh ibu kandungnya sendiri, juga ayah yang bisa mencintainya.
Namun apalah dayanya, harapan hanya tinggal harapan. Kini dia harus melanjutkan tugas Risa untuk membesarkan putrinya dengan baik dan menjaganya hingga maut menjemputnya.