Chapter 12 : Tak Rela Kehilangan

2085 Kata
Siera segera merogoh saku jaketnya dan mengambil ponsel miliknya saat merasakan benda tersebut bergetar. Dia langsung tersenyum saat mengetahui orang yang saat ini sedang menghubunginya. Wanita itu berhenti sejenak, mencari tempat yang aman untuk mengangkat telepon. "Halo, Sa!" ucapnya. "Saski baik, aku juga baik kok. Maaf ya kemarin udah bikin kamu cemas," kata Siera menyesal. "Iya, Saski ternyata ngikutin temen kantor aku. Dikira dia itu Papanya." Saski tersenyum tipis. "Kami baik-baik aja, kok. Serius, kamu nggak usah kesini," ujarnya. Wanita itu melirik sekilas jam di tangan kirinya. Waktu Saski pulang sekolah hampir tiba. Siera pun beranjak dari posisinya, berjalan menuju ke sekolah Saski sambil berbicara dengan Elisa di telepon. "Kamu nggak perlu cemas, Sa. Nanti kalau aku butuh bantuan kamu, aku pasti langsung hubungin kamu, kok." Siera sampai di depan gerbang sekolah Saski. Saat melihat salah satu teman Saski sudah keluar dari sekolah, wanita itupun menyudahi acara teleponnya dengan Elisa. Dengan senyuman lebar Siera masuk ke dalam sekolah untuk menjemput putri sematawayangnya itu. Dia lega karena tidak sampai telat menjemput Saski lagi. Dari kejauhan Siera bisa melihat tubuh kecil Saski sedang duduk di salah satu ayunan di taman sekolahnya. Dan segera saja wanita itu beranjak menghampirinya. Namun saat berjarak sepuluh meter dari tempat Saski, wanita itu dibuat kaget. Ternyata anak itu tidak sendiri. Dia bersama seseorang yang kini sedang duduk bersila di bawahnya, menikmati es krim bersama. Siera mengerjap tak percaya. Bagaimana mungkin, pikirnya. "Pak Digo?" Pria yang tengah menjilat es krim itu langsung menoleh. Dia tersenyum lebar pada Siera. "Hai, Siera!" sapanya. "Pak Digo ngapain disini?" tanya Siera. Pria itu bangkit, menepuk celananya sekilas lalu membuang sisa es krim yang dimakannya ke tempat sampah. "Jemput Saski, emang mau apa lagi?" balasnya. Siera berdecak pelan. "Pak Digo nggak perlu jemput Saski. Saya bisa jemput anak saya sendiri," ujarnya kesal. Digo mengendikkan bahunya sekilas. "Nggak cuma mau jemput aja sih. Sebenernya aku mau ngajak Saski ke rumah." Siera mendelik kaget. "Ap-apa?" "Boleh kan, aku bawa Saski ke rumahku?" tanya Digo. Siera langsung menggeleng tak setuju. "Nggak bisa, Pak. Saski harus ikut saya pulang," tegasnya. "Hei, kenapa? Aku kan mau ngajarin Saski berenang," protes Digo. "Iya kan, Sweetheart?" Digo menoleh pada Saski. Anak itu mengangguk penuh semangat. "Iya, Bunda. Ayah mau ngajarin Saski berenang," ujarnya. "Ayah kan bisa berenang. Terus kolam renang di rumah Ayah juga gedeeee banget. Jadi nanti Saski bisa main mandi bola di kolam renang Ayah," ceritanya antusias. Siera terdiam. Dahinya berkerut saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh putrinya. "Ayah?" Saski mengangguk cepat. "Iya, Bunda. Ayah ini kan Ayah Saski," katanya sambil memeluk pinggang Digo. "Anak pinter," puji Digo. Siera mendesah kesal. "Siapa yang bilang Saski anaknya Om Digo?" tanyanya pada sang putri. Saski mengendikkan bahunya. "Siapa juga yang ngajarin Saski manggil Ayah?" tanyanya lagi. Saski terdiam. Anak itu langsung menciut saat mendengar nada keras yang diucapkan Siera. Dia langsung bergeser untuk bersembunyi di balik Digo. "Saski?" panggil Siera karena anak itu tidak menjawab pertanyaannya dan malah bersembunyi. "Saski!" Kali ini Siera membentak sambil melotot. "Siera!" seru Digo. "Slow down, Baby. Kamu buat Saski takut," ujarnya. Namun Siera tidak menggubrisnya. Wanita itu melangkah maju mendekati Digo lalu menarik putrinya dari pria itu. "Ayo kita pulang!" katanya. Saski menggeleng cepat. "Saski mau berenang, Bunda." "Nggak ada acara berenang. Kita pulang!" "Tapi Bunda..." "Kita pulang!" "Siera..." panggil Digo. "Ayo Saski, kita pulang!" Siera menarik lengan putrinya. Namun Digo menahannya. "Siera, tunggu!" "Lepas, Pak!" Siera menepis kencang tangan pria itu. "Biar Saski ikut aku. Aku udah janji mau ngajarin dia berenang. Boleh ya?" Siera menggeleng tegas. "Saski nggak perlu bisa berenang. Dia sudah cukup pintar dengan pelajarannya di sekolah," sergahnya. "Tapi Si..." "Ayo, Saski!" ajak Siera. Saski menolak. Anak itu menepis tangan Siera dan berbalik untuk memeluk Digo. "Saski mau berenang sama Ayah!" "Saski!" "Pokoknya Saski mau berenang!" bantah Saski. "Ayah... Saski mau berenang," pintanya pada Digo. Siera pun meradang dibuatnya. Ini adalah kali pertama Saski membantah ucapannya. Biasanya anak itu selalu menurut pada ucapan Sisi. Wanita itu maju mendekat, menarik Saski dari Digo. "Ayo kita pulang!" perintahnya. "Saski mau sama Ayah," jerit anak itu. "Dia bukan Ayah kamu!" bentak Siera marah. "Ayah kamu udah meninggal!" serunya sambil mendelik. Hening untuk beberapa saat. Tak lama terdengar isak tangis bocah kecil berkuncir dua yang tengah memeluk pinggang Digo tersebut. Siera terdiam, melihat wajah putrinya yang basah karena air mata tak pelak membuatnya sakit. Matanya pun ikut berkaca-kaca. "Saski..." ujarnya sambil berusaha menggapai bocah itu. Namun Saski menepisnya. Lalu bocah itupun berlari menjauh. Tasnya dia buang ke tanah begitu saja. "Saski!" panggil Siera. "Kamu disini aja!" tahan Digo saat wanita itu berusaha mengejar Saski. "Tapi, Pak..." "Biar aku yang bujuk dia, Siera." "Nggak perlu, Pak. Saya bisa-" "Bisa apa?" kata Digo kesal. "Bisa ngebentak dia kayak tadi?" Siera terdiam. Sementara air matanya terus turun tanpa bisa dicegah. "Saya akan susul Saski!" Sambil menangis dia kembali berusaha mengejar Saski namun Digo dengan sigap menahan lengannya. "Saski!" "Siera..." "Saski tunggu Bunda! Saski!" "Siera, berhenti!" "Saski!" "Siera, berhenti! Aku bilang berhenti, Si! Kamu dengar aku nggak sih!" sentak Digo. Pria itu menarik lengan Siera dengan kesal. Kemudian menekan pundak wanita itu, memegangi badan Siera yang sempat oleng sekilas. Siera seketika bungkam saat wajahnya berhadapan tepat dengan wajah Digo. Dia terpaku memandang pria itu. Menatap wajahnya yang dingin, matanya yang tajam, ekpresinya saat sedang marah, yang membuatnya teringat pada seseorang. Selama ini Digo selalu menampilkan ekspresi wajah jahil menggoda padanya. Dan Siera. ltidak mengira jika pria itu juga bisa memiliki raut wajah seperti saat ini. Raut yang sama persis dengan milik Andra. Dan itu membuat hatinya sakit. Karena mendadak kenangan sedih bersama Andra terbayang di hadapannya. "Biar aku yang susul Saski," ujar Digo. Nada suaranya kali ini melembut karena Siera tidak lagi melawannya. Air mata Siera kembali turun. Wanita itu mengangguk pelan. Dan membuat kemarahan Digo seketika musnah. Dia melepaskan wanita itu secara perlahan. Kemudian dia mengulurkan tangannya menggapai kepala wanita itu. Dan dengan lembut membelainya. "Kamu tunggu disini, oke?" Siera kembali mengangguk. Sehingga senyum Digo pun semakin lebar. Pria itu memberanikan dirinya mengelus pipi basah Siera dengan ibu jarinya. "Aku udah janji sama Saski mau ngajarin dia berenang. Janji adalah janji. Dan janji itu penting buat ditepati." Siera menangis, memandangi wajah tampan pria itu nanar. "Banyak yang berjanji tapi nggak ditepati. Karena itulah, sebuah janji menjadi nggak penting lagi," gumamnya lirih. Digo tersenyum kecil. "Tapi aku nggak kayak gitu, kan?" godanya. Pria itu sempat menggenggam tangan Siera sekilas sebelum beranjak menjauh, menuju ke arah Saski pergi. Siera memandang punggung tegap pria itu menjauh. Dia mengangkat kedua telapak tangannya yang barusan digenggam oleh Digo. Rasa hangat bekas tangan Digo masih terasa di telapak tangannya. Perlahan tangan Siera menutup, seperti tak rela karena kehilangan genggaman Digo. Untuk beberapa saat wanita itu terdiam. Sampai kemudian dia tersadar. Siera menggeleng pelan. Tidak, pikirnya. Dia tidak boleh terbawa perasaan. Karena jika tidak, mungkin dia bisa terjatuh ke dalam hati pria itu. *** Digo memelankan langkah kakinya saat menemukan sosok bocah berkuncir dua sedang duduk di dekat kolam ikan. Digo menghela nafas lega mengetahui keberadaan bocah itu. Untung saja anak itu tidak pergi jauh, masih di sekitar sekolah. Dihampirinya bocah yang tengah menangis itu perlahan. Sambil menggulung lengan kemeja panjangnya. "Saski," panggilnya. Anak itu tidak menjawab. Digo mengamatinya dari samping. Saski terus menangis sambil bersindekap. Rambutnya setengah berantakan. Wajahnya memerah dan basah. Namun dia tetap terlihat manis. Digo mendesah pelan. Dia mendekati anak itu, duduk di sampingnya. "Saski..." panggilnya lagi. Tapi anak itu masih tidak menyahut. Digo menyenggol badannya pelan. "Hei... jangan sedih," ujarnya. Anak itu masih tidak menjawab, meneruskan tangisnya. Digo mengelus rambutnya pelan. "Kita jadi berenang, kok. Ayah udah bilang sama Bunda kamu," kata Digo. "Jangan nangis lagi ya." "Bunda jahat," isak Saski pelan. "Bunda bentak-bentak Saski," lanjutnya. "Bunda nggak sengaja, kok." "Sengaja!" Digo menggeleng pelan. "Nggak. Bunda tadi lagi kesel. Makanya Bunda ngomongnya keras, bukan bentak Saski," ujarnya. Pria itu merapikan rambut Saski yang tertiup angin. "Lain kali Saski nggak boleh ngebantah Bunda lagi ya?" Anak itu memandangi Digo lalu mengangguk pelan. "Ayah bukan Ayah Saski ya?" tanyanya lirih. Digo terdiam, tidak tau harus mengatakan apa. Matanya yang hitam legam menatap wajah anak malang itu. Air mukanya saat sedang bersedih mengingatkannya pada Sisi. Pria itu mendesah pelan. "Tapi Saski mau jadi anak Ayah, kan?" "Mau!" Tanpa berpikir lama, anak itu mengangguk. Sehingga membuat Digo tersenyum senang. Yah, memang tidak ada yang bisa menolaknya kecuali Siera. Digo berdecak pelan saat memikirkan wanita itu. Sulit sekali baginya untuk mendekati Siera. Sikap wanita itu saat melihatnya, membuat Digo kesal. "Tapi Saski jangan nangis lagi ya?" Saski mengangguk patuh. Anak itu langsung menerima uluran tangan Digo dengan senyuman lebar. Lalu berjalan bersama dengan pria itu kembali kepada Siera. Sambil sesekali dia tertawa riang karena candaan Digo. *** "Bunda! Bunda! Saski bisa berenang!" Siera lebar, melambai pada sang putri yang kini tengah bergerak lincah di air sambil memegangi pundak Digo. Setelah adegan tangis-tangisan tadi, sekarang saatnya mereka bersenang-senang. Bahagia rasanya dia bisa melihat Saski tersenyum senang seperti saat ini. Ini pertama kalinya anak itu terlihat begitu bahagia. Diam-diam dia memandang orang yang menjadi sumber kebahagiaan dia dan putrinya saat ini. Siera ikut tertawa ketika melihatnya tertawa bersama Saski. Tak lama dia mendesah pelan. Dulu dia sempat memimpikan hari-hari ini. Hari dimana dia, Andra dan juga Saski tertawa bersama. Namun dia sadar jika hari itu tidak akan pernah datang. Tapi justru kini pria lain yang mewujudkan mimpinya. Pria yang berstatus sebagai bos di tempatnya bekerja, yang m***m bukan main dan suka seenaknya sendiri. "Siera!" panggil Digo. Siera segera menghentikan lamunannya. "Ya?" jawabnya. "Bisa tolong ambilin handuk aku nggak?" Siera menoleh, mengikuti arah tangan Digo. Wanita itupun mengangguk pelan lalu beranjak dan berjalan menuju ke tempat handuk Digo berada. "Ini, Pak," katanya sambil memberikan handuk tersebut pada Digo. Siera menoleh pada Saski yang kini sudah naik ke atas, dibantu oleh Utami, pembantu rumah tangga Digo untuk memakai jubah handuk. Lalu tiba-tiba Siera menjerit karena tubuhnya ditarik ke bawah. Dia terjatuh ke dalam kolam renang. Terkejut, sekaligus tidak bisa berenang membuatnya panik. Siera merasa ketakutan akan tenggelam dan mati jika saja dia tidak ditarik dengan cepat oleh Digo ke permukaan. Wanita itu terbatuk pelan, lalu menyapu wajahnya, menghilangkan tetesan air di mukanya dengan cepat agar bisa kembali bernafas. Dia seketika menjerit marah saat melihat Digo tertawa puas. Dengan geram dia melayangkan beberapa pukulan kepada Digo. Bukannya kesakitan, tawa pria itu justru semakin kencang terdengar sehingga membuat Siera makin kesal. Dia mendorong Digo ke tengah kolam lalu naik sambil merengut. Wanita itu menghampiri Utami dan juga Saski yang juga sedang tertawa. "Kalian jangan ikutan ketawa! Liat nggak baju saya basah gini!" omelnya. Utami sontak menghentikan tawanya. "Maaf Non," katanya. "Biar saya ambilin baju ganti ya, Non?" tawarnya pada Siera. "Emang ada, Mbak?" tanya Siera. "Ada kok, Non. Biar saya pinjemin baju saya aja, Non. Baru beli kok kemarin, belom saya pake sama sekali," jawab Utami. Siera mengangguk setuju. Wanita itu berjalan mengekori Utami setelah mencubit pelan pipi Saski."Saski, berhenti ketawa!" omelnya pada anak itu. *** Siera menerima handuk dan juga baju yang diberikan oleh Utami padanya sambil berterimakasih. Dengan sedikit menggigil karena lama menunggu Utami mencarikan baju untuknya. "Non gantinya di kamar Ibu aja gapapa, kan? Kamar saya berantakan. Kamar tamu juga pada dikunci. Saya males cari kuncinya," kata Utami pada Siera. Wanita itu mengangguk pelan. "Gapapa kok, Mbak. Tapi, apa nanti Ibu nggak marah kalo saya masuk ke kamarnya?" tanya Siera. "Ibu mah nggak bakal marah, Non. Apalagi sama calon menantunya," balas Utami sambil tersenyum jahil. Siera menggeleng pelan karena godaan wanita itu. Dia mengikuti Utami menuju ke kamar utama di rumah mewah tersebut. Dengan berhati-hati Siera membuka pintu lalu masuk ke dalamnya. Dia langsung terkesima melihat ruang kamar yang begitu luas melebihi rumah kontrakannya tersebut. Ditambah lagi perabotan mewah dan modern yang berada di dalamnya. Keluarga Digo memang sangat kaya. Baik Ayah maupun Ibunya termasuk ke dalam jajaran orang-orang terkaya di Indonesia. Yang Siera tau, almarhum Ayah Digo memiliki sebuah hotel dan mall di Jakarta dan Surabaya. Ibunya adalah pemilik salah satu brand kosmetik terlaris di luar negeri. Dengan kekayaan sebesar itu, pantas saja jika Digo maupun ibunya tidak sayang menghabiskan uang mereka yang mungkin tidak habis sampai tujuh turunan itu. Sambil melamunkan keluarga Digo, Siera mengganti pakaiannya. Lalu melipat pakaiannya yang basah tadi dan memasukkannya ke dalam kantong plastik yang diberikan Utami. Wanita itu berbalik, hendak keluar kamar setelah merapikan penampilannya. Namun mendadak dia terkejut karena melihat sosok Digo sedang bersandar di sudut ruangan. Siera menutup mulutnya syok, bahkan saking syoknya dia menjatuhkan kantong plastik yang dibawanya ke lantai. "P-Pak Digo?" ucapnya terbata. "Pak Digo sejak kapan ada disitu?" lanjutnya histeris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN