Chapter 11 : Ayah Saski

1928 Kata
Siera berjalan dengan terburu-buru menyusul Digo. Tangannya dengan sigap menarik taplak meja berbahan kain yang dia lihat dan melilitkannya ke tubuhnya. "Pak Digo!" serunya sambil mendorong pintu kamarnya yang ditutup oleh Digo. Dilihatnya sang bos di kantornya tersebut sedang membaringkan diri di ranjang kamar Siera, terlentang dengan kedua tangannya dilipat dibawah kepalanya, digunakan sebagai bantal. Lalu memejamkan matanya tanpa menghiraukan Siera. "Pak, saya minta Pak Digo keluar sekarang!" Digo tidak bergerak, tidak bicara ataupun membuka matanya barang satu detik. Dia berbaring nyaman di samping Saski. Padahal Siera tau pria itu tidak tidur. "Pak... Ini namanya nggak sopan. Pak Digo tiduran disini tanpa seizin saya," keluh Siera. Digo masih juga diam sehingga wanita itu berdecak frustrasi. Dia memutuskan mendekat dan menarik tangan Digo. "Pak Digo, keluar!" suruhnya. Sekuat tenaga wanita itu menarik Digo, tapi rupanya badan Siera terlalu kecil untuk menggeser badan tinggi dan gagah pria itu. Sehingga badan Digo tidak bergerak barang satu sentipun. "Pak..." ujar Siera putus asa, hampir-hampir menangis karena merasakan hatinya bergetar saat menggenggam tangan pria itu. "Kelu-" Siera tidak sempat melanjutkan ucapannya karena dia dikejutkan oleh Digo yang mendadak membuka mata dan menariknya tiba-tiba. Siera membulatkan matanya begitu tubuhnya terjatuh tepat di atas Digo. Seketika lidahnya terasa kaku saat wajah cantiknya beradu tepat dengan wajah tampan sang bos. "Iya deh aku pergi. Nggak usah nangis gitu." Satu kalimat lembut yang keluar dari bibir Digo membuat hati Siera luluh sehingga air matanya meleleh seketika. Digo yang sempat terkena air matanya pun tidak tinggal diam. Pria itu langsung mengulurkan jemarinya untuk menyingkirkan butiran bening tersebut dari mata Siera. "Kenapa sih kalau ngeliat aku selalu nangis? Emangnya muka aku kayak bawang?" tanyanya. Siera terus diam dengan air mata yang mengalir, tak pernah surut. Sama seperti cintanya yang tak pernah surut untuk pria berwajah sama persis dengan orang yang ada di depannya sekarang. "Kenapa? Hm?" tanya Digo sembari menyapukan jemarinya di pipi halus Siera. "Karena kamu mirip banget sama seseorang," jawab Siera sambil terisak. Digo mengerutkan keningnya. "Really? Siapa dia?" "Mas Andra." Digo mendengus pelan. "Dia lagi," kesalnya. "Nggak ada orang lain gitu yang lebih mirip sama aku dibanding dia?" Wajahnya merengut karena jengkel. Namun meski begitu tangannya tetap berada di pinggang Siera, mencegah wanita itu menjauh darinya. "Namanya aja kampungan gitu. Orangnya pasti jelek deh, cupu." Siera menggeleng pelan. "Nggak, dia mirip banget sama kamu. Bahkan sejak awal kita ketemu aku kira-" "Sssttt.... nggak usah dilanjutin oke." Digo meletakkan jari telunjuknya ke bibir Siera. "Mulai sekarang nggak ada mirip-miripan lagi! Digo ya Digo. Nggak ada hubungannya sama si Andra-Andra itu, ngerti?" Siera mengangguk kaku. "Maaf, Pak." Digo mendesah pelan. "Hm," jawabnya singkat. Siera menghapus air matanya. Kemudian bergerak, berniat turun dari atas Digo. Namun rupanya dia terhalang oleh sepasang lengan keras Digo yang melingkari pinggangnya. Siera melirik tangan nakal pria itu yang berada di pinggangnya. Kemudian dia menoleh ke arah Digo yang sedang mengerling padanya. "Pak Digo..." ujarnya sambil berusaha melepaskan tangan Digo. "What?" tanya Digo tanpa rasa bersalah. Dia hanya cengar-cengir saja saat Siera berusaha menyingkirkan tangannya. Siera mendesah pelan. "Pak lepasin saya!" Digo menggeleng tak setuju. "Kenapa aku harus ngelepasin kamu?" godanya. Mendengar itu Siera mendelik tajam. "Pak Digo cepet lepasin saya dan keluar dari rumah saya segera!" kesalnya. Digo menggeleng lagi. Kali ini sambil bersiul-siul kecil. "Kenapa saya harus keluar dari rumah kamu? Kenapa juga saya harus ngelepasin kamu?" ujarnya. "I like this place. I like this position. And I like you," bisiknya pada Siera. Wanita itu menyipitkan matanya jengkel. Dengan sekuat tenaga dia melayangkan pukulan-pukulan ke arah Digo agar pria itu melepaskannya. "Aduh! Aduh! Siera, stop!" "Lepasin saya nggak? Lepasin!" Siera tak henti memukuli pria itu. "Eh, Siera jangan berisik! Saski lagi tidur," ujar Digo sambil menangkis pukulan Siera. Kejadian pukul dan tangkis itu terjadi hanya sebentar saja. Karena Digo berhasil menghentikan pukulan Siera. Dia mendekap tubuh wanita itu dan membaringkannya di ranjang. Lalu memeluknya dari belakang. "Look!" Digo menunjukkan sosok mungil Saski yang melenguh kecil karena bunyi gemerisik di sebelahnya. "Kamu jangan berisik dong, nanti anakku kebangun," katanya. Gerakan Siera terhenti. Wanita itu ganti menatap sang putri yang kembali tertidur pulas di sebelahnya. Siera tersenyum kecil melihatnya. Dia sampai lupa bahagia atas kembalinya sang putri. Dan malah disibukkan oleh bos gilanya itu. "Hei, kamu cantik kalo senyum." Siera seketika mendongak. Dan dia terkejut melihat wajah Digo berada di hadapannya. Kenapa jadi begini posisinya sekarang? Jika dilihat oleh orang lain, sungguh tidak pantas yang sedang terjadi sekarang. Siera yang tadi berada di atas Digo, malah kini berbalik berada di bawahnya. Dan Digo yang tadi ditindih Siera malah sekarang menindih wanita itu. "Pak Digo!" seru Siera marah. "Kenapa kamu nggak pernah senyum kalo sama aku? Sehari-hari sedih mulu. Sekali-kali kek kamu senyumin aku," ujarnya. "Kan aku juga pengen jadi alasan kamu tersenyum." Siera menggeleng pelan sebagai jawaban. "Kenapa?" "Karena-" "Mas Andra lagi?" sela Digo yang membuat Siera terdiam. Digo mendesah pelan. "Kenapa nggak aku aja sih yang jadi Mas Andra?" keluhnya. Siera diam. Bibirnya tidak sanggup berkata apa-apa. Jadi dia hanya bisa diam sambil menatap pria itu. Air matanya lagi-lagi tak bisa dibendung saat mendapati wajah yang mengingatkannya pada almarhum Andra tersebut. Meskipun bibirnya bisa berbohong, hatinya tentu tidak. Sampai kapanpun Andra akan selalu ada di hatinya, menjadi penghuni abadi disana. "Tuh kan nangis lagi," celetuk Digo. "Nggak seru nih. Aku pulang aja deh." Pria itu bangkit dari ranjang dan merapikan bajunya yang sedikit berantakan akibat adegan berguling-guling di ranjang dengan Siera. "Aku pulang dulu ya, Honey. Jangan lupa kunci pintu. Takutnya nanti aku balik lagi." *** Digo bersiap untuk berangkat pagi ini ke kantor dengan penuh semangat. Senyuman lebar sudah menggantung di bibirnya sejak saat dia bangun dari tidurnya tadi pagi. Semalam, setelah dia pulang dari rumah Siera, dia bermimpi indah. Saking indahnya sampai-sampai dia malas untuk bangun. Ya, jika saja sang ratu dunia, Karla Zayden tidak mengguyurnya dengan air mineral untuk membangunkannya. Jadi dia terpaksa memotong mimpi indahnya dengan Siera untuk mandi lalu bergegas ke kantor. "Digo!" Si ratu kejam turun dari tangga dan menghampiri Digo di meja makan. "Nih, nanti kasih ke Saski ya!" ujarnya sambil menyerahkan sebuah kotak makan berbentuk karakter Hello Kitty pada Digo. Digo menerima benda tersebut dengan dahi berkerut. "Ini apa, Ma?" tanyanya. "Itu coklat bentuk Hello Kitty, Digo. Tadi pagi Mama buatin itu untuk Saski," jawab Karla dengan wajah semringah. "Mama buat sendiri?" ujar Digo tak percaya. "Emang Mama bisa masak?" Karla yang jengkel dengan ledekan putranya, memukulkan kotak makan tersebut ke kepala Digo sehingga membuat Digo mengaduh kesakitan. "Semalem Mama tuh nggak tidur tau! Mama browsing di internet resep buat coklat! Kamu hargain dong usaha Mama!" omelnya tak terima. Digo mendengus kecil. "Iya deh nanti Digo kasih Saski," balasnya. "Tapi ini aman nggak? Takutnya nanti Saski keracunan lagi." "Digo!" jerit Karla. Digo tertawa puas. Pria itu bergegas meminum kopinya sampai habis lalu pergi dengan barang-barangnya sambil berlarian menghindari amukan sang mama. Sampai di kantor, pria itu segera mencari Siera. Namun malang baginya. Alya bilang Siera tidak masuk kerja. Dengan wajah lesu Digo berjalan kembali menuju ke ruangannya. "Pak Digo!" Digo menghentikan langkahnya lalu berbalik badan, menghadap ke arah seorang gadis berkaca mata yang berlari-lari ke arahnya. "Kenapa?" tanyanya jutek. Gadis itu menyengir ke arahnya. "Itu, Pak. Saya mau nanya dikit." "Nanya apa?" ketus Digo. "Um... itu semalem kenapa Saski bisa ada sama Pak Digo?" "Kepo kamu!" sentak Digo. "Itu bukan urusan kamu, ngerti!" tekannya. Gadis itu tersenyum kecut. "Kan saya cuma pengen tau, Pak. Bapak nemuin Saski dimana? Bu Siera aja nggak bisa nemuin Saski. Eh... malah itu bocah ada sama Bapak. Kok bisa?" Digo mendesah pelan. Dicengkeramnya pundak gadis itu dengan kencang. "Alya, ini masih pagi. Jangan bikin saya kesal ya!" ucapnya. "Semalem kamu udah bikin saya kesal karena nggak mau pulang dari rumah Siera. Sekarang kamu bikin saya kesal lagi. Kamu mau saya pecat?" Alya menggeleng cepat. "Nggak sih, Pak. Kan saya cuma nanya," balasnya. Digo menggeram jengkel. "Ngejawab lagi!" gumamnya. "Kalo bukan staf kesukaan Siera, udah saya lempar kamu dari jendela!" geramnya. Digo melepaskan tangannya dari pundak gadis itu lalu merapikan jasnya. "Kamu tau sekolahnya Saski nggak?" Alya mengangguk. "Tau, Pak." "Dimana?" "Di daerah-" "Saya minta alamat lengkap sekolah Saski. Nanti kamu kasih tau ke sekretaris saya!" ujar Digo kemudian bergegas pergi dari hadapan Alya. Gadis itu menggeleng heran. "Pak Digo... Pak Digo... untung aja pacarnya Bu Siera. Coba kalo bukan, udah gue-" Dia berpura-pura mencekik lehernya sendiri. *** Digo turun dari mobil mercedes hitam miliknya sambil tersenyum. Dengan langkah cepat dan ceria pria itu memasuki gerbang sebuah sekolah. Saat itu banyak anak-anak sedang bermain di play ground. Rupanya saat itu sedang jam istirahat. Digo bersyukur karena sungguh beruntung dapat menemukan sosok Saski dengan mudah. Dihampirinya segera anak itu dengan berlari kecil. Saski sedang duduk di sebuah ayunan seorang diri dengan botol minum tergantung di lehernya. "Hai, Sweetheart!" sapa Digo pada anak itu. Saski langsung berdiri dari ayunan dengan wajah kaget. "Om Digo?" "Saski lagi istirahat ya?" Bocah itu mengangguk mendengar ucapan Digo. "Kok Om Digo kesini?" tanyanya. Digo mengerutkan keningnya tak suka mendengar panggilan baru Saski untuknya. "Wait..." ucapnya. "Kok Saski manggilnya Om? Kan kemarin udah bener manggil Papa?" Saski menggeleng pelan. Wajahnya sendu. "Kan Om bukan Papa Saski." "Kata siapa?" "Kata Bunda," jawab bocah itu lirih. Digo berdecak pelan. "Om ini Papa Saski, kok." Saski menggeleng cepat. "Kata Bunda, Papa Saski udah di surga. Dan orang yang udah ada di surga nggak bisa kesini lagi." Digo terdiam, memandangi wajah murung anak itu. Entah kenapa hatinya mendadak kesal karena ekspresi sedih yang ditampilkan Saski. Bukannya kenapa-kenapa, dia hanya tidak suka saja dengan wajah sendu itu. Setelah kemarin dia melihat binar-binar bahagia di wajah anak itu, sinar penuh suka cita dan senyum manisnya. Lalu sekarang harus melihat wajah mendung seperti hendak turun tangis deras itu? Digo mendesah panjang. Kotak makan yang dibawanya susah payah dari mobil itu diletakkannya di atas ayunan yang tadi diduduki oleh Saski. "Hei, jangan sedih." Diraihnya tangan Saski lalu digandengnya bocah itu. Sama seperti kemarin saat tangan kecil bocah itu menggandeng tangan besarnya. "Saski pengen sama Papa." "Nggak usah sama Papa. Sama Om aja deh. Papa kamu jelek. Lebih keren Om loh," bujuk Digo. "Om mobilnya bagus. Punya kantor gede lagi. Nanti Saski boleh main-main disana," hiburnya pada anak itu. "Papanya Keenan juga punya kantor gede," balas Saski. "Om punya kolam renang." "Papanya Abel juga punya kolam renang." "Lebih gede kolam renang punya Om di rumah. Kolam punya Papa Abel itu pasti cuma seukuran kolam ikan," canda Digo. Saski tersenyum kecil. Sehingga deretan gigi depannya yang tanggal satu terlihat oleh Digo. Kemudian tawa Saski menular padanya. "Saski nggak bisa berenang," ujar anak itu lugu. "Emangnya Bunda nggak pernah ngajarin Saski berenang?" tanya Digo dan dibalas gelengan oleh Saski. "Bunda kan nggak bisa berenang," jawabnya. Digo berdecak kecil. "Bisanya cuma nangis sih," ucapnya meremehkan. "Nanti kita berenang ya?" tawarnya pada bocah berkuncir dua yang terlihat manis tersebut. Saski mengangguk dengan bersemangat. "Saski boleh bawa bola?" "Boleh aja. Bawa kapal laut juga boleh," balas Digo asal. Saski tertawa. "Saski kan nggak punya kapal, Om." "Nanti Om beliin. Saski mau berapa? Satu, tiga, lima, sepuluh? Sama pelabuhannya sekalian nanti Om beliin deh." Saski mengangguk senang. Wajahnya yang tadi murung, sekarang sudah secerah kemarin. Dan itu karena seseorang yang sedang berjongkok di depannya tersebut. "Tapi Saski jangan panggil Om lagi," ujar Digo. "Terus Saski panggilnya apa?" "Panggil Ayah mau?" Saski terdiam sejenak kemudian mengangguk dan membuat Digo tersenyum puas. "Oke, Ayah." Digo langsung terkesima mendengar ucapan Saski. Ternyata panggilan sederhana dan sama sekali tidak cocok untuknya itu rupanya terdengar manis juga. Semanis panggilan 'Papa' kemarin. Digo menyeringai. Seandainya deretan pacar-pacar semalamnya mendengar ini, mereka pasti langsung tertawa girang. Digo sedang terkena karma.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN