Jangan Salah Paham

2155 Kata
"Janganlah engkau mengungkapkan perkataan yang engkau sendiri tak suka mendengarnya jika orang lain mengucapkannya kepadamu." Ustman Bin Affan *** Karina berdiri di koridor meja kantin kantor sembari mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk. Perempuan itu langsung tersenyum saat melihat anak-anak satu divisi dengannya juga duduk di meja sudut. "Kalian kenapa gak bilang mau makan di kantin. Biar tadi sekalian," gerutunya sembari merapikan rambut panjangnya, mengibaskannya ke belakang. "Tadi kan kamu sudah kita ajak. Tapi, kamu bilang urusana sebentar, katanya mau menyusul kan?" Karina menipiskan sembari terkekeh begitu saja. "Sorry, aku lupa." Ringisnya merasa tidak enak. "Akhir-akhir ini kamu lagi banyak masalah ya? Kelihatan sering gak fokus." Kata Bella sembari menyendokan nasi ke dalam mulut. Tatapannya lurus pada Karina, mantan bos mereka. "Alfi terikat kontrak sama kakeknya. Dia harus segera menikah agar kontraknya diperpanjang." Cerita Karina jujur, mengaduk-ngaduk makanannya tidak berselera. "Alfi harus menikah sebelum akhir bulan ini. Kalau tidak, dia bisa saja turun jabatan atau dikeluarkan dari perusahaan." Sambungnya sembari melemaskan bahu. "Seserius itu? Emang ada ya, kontrak aneh seperti itu. Bikin merinding saja," sahur Tia jadi bergidik sendiri. "Ya, ada. Makanya sekarang aku kepikiran gimana caranya agar bisa bantu Alfi." Katanya dengan nada cemas, "kan kamu tinggal menjadi istrinya saja. Lagipula kamu sepertinya masih suka sama Alfi, kan? Kenapa kalian gak balikan saja dan mengambil kesempatan baik ini." Ela memberi saran, meletakan sendok makannya di atas piring. "Apa boleh begitu?" "Tentu saja. Kalian kan dulu pasangan yang serasi, sayang saja kalau harus berpisah seperti itu. Lagian kayaknya gak ada yang bisa menaklukan hati batunya Pak Alfi selain kamu, Karina." Kata Ela menambahi, menganggukan kepala meyakinkan Karina di depannya. "Pasti Alfi juga akan sangat berterima kasih, kalau kamu mengatakan itu duluan. Biasanya kan laki-laki itu gengsinya terlalu tinggi. Tidak apa-apa kalau perempuan yang memutuskan bertindak lebih dulu." Kata Ela lagi dengan tersenyum samar. "Pikirkan lagi, jangan patah semangat." Kata Bella menyemangati. Karina tersenyum tipis, "aku hanya takut kalau lagi-lagi dapat penolakan dari, Alfi." Lirih perempuan itu jadi ciut sendiri. "Kenapa kamu jadi menciut begini? Biasanya kan kamu selalu mengejar Alfi pantang mundur. Terus kenapa sekarang?" Karina menghela napas sembari menggelengkan kepala meragu. "Apa boleh aku terus berharap begini sama, Alfi. Apa ya ... dia benar-benar udah gak ngasih aku harapan. Jadi, pasti bakalan sulit kalau aku memaksanya untuk melakukan kontrak itu." Kata Karina lagi berusaha jujur. Bella mendengus samar, "terus kenapa, kalau Pak Alfi sudah gak ada perasaan sama kamu kenapa emangnya? Yang terpenting kan kamu masih suka sama dia, kan. Jangan sampai merelakan dia begitu saja, tanpa berjuang untuk dapatin dia kembali." Katanya dengan tersenyum masam. "Tapi, kalau terlalu agresif bukannya akan terlihat menyedihkan ya?" Ela menyahut dengan mengetuk-ngetuk telunjuknya pada dagu. "Gak. Alfi pasti akan senang nantinya, laki-laki itu egonya tinggi. Jadi, kamu hanya perlu terus-terus maju saja." Sambungnya dengan yakin membuat Ela di sampingnya melirik ke arahnya. "Karina, kamu itu cantik, pintar dan juga baik. Selama ini kan kamu selalu bersabar menghadapi sikap Pak Alfi yang dingin. Kalau terus bersabar sedikit lagi saja, mungkin ... Pak Alfi akan mengakui kesalahannya selama ini." Tutur Tia mengutarakan pendapatnya, "dan dia akan sadar kalau selama ini sudah menyia-nyiakan perempuan seperti kamu." Lanjutnya berusaha meyakinkan Karina. Karina terdiam beberapa saat sembari berusaha mencerna dengan baik apa yang teman kerjanya katakan. Selama ini pun Karina berusaha mengejar Alfi dengan berharap laki-laki itu mau jujur dengan perasaannya sendiri. Selama berpacaran tidak pernah sekali pun Alfi memegang tangannya. Bahkan, tidak pernah membiarkan Karina memegang tangannya. Apalagi pelukan seperti pasangan lain, itu sesuatu hal yang asing untuk mereka berdua. Apa ya ... seperti ada tembok tinggi yang Alfi bangun di antara hubungannya dengan Karina. Seperti Karina adalah salah satu hal yang terpaksa dia lakukan. Seperti melakukan sebuah skenario yang sudah diatur. Padahal Karina begitu menyukai Alfi sampai mengacuhkan laki-laki lain yang mendekatinya duluan. Alfi sudah menjadi prioritasnya dan menjadikan pekerjaan menjadi nomor dua. Tapi, meski begitu. Alfi masih saja tidai memberinya kesempatan untuk benar-benar melakukan hubungan nyata selayaknya pasangan. Hanya berat sebelah. Hanya Karina yang terus-terusan mengabari keadaannya. Itu pun, Alfi tidak pernah membaca atau pun membalas pesannya. Karina juga yang selalu menelepon duluan dan mengajak bertemu di akhir pekan. Tapi, Alfi selalu menolak dengan alasan sibuk. Sebenarnya selama ini Karina melakukan apa? Hanya ia yang mengejar-ngejar sampai bertindak memyedihkan begini. Lalu, kalau sekarang kembali mengejar Alfi. Title apa yang harus dipakai untuknya. Sebutan apa yang cocok untuk ia yang tidak tahu malu terus mengejar sang mantan. Tapi, sejujurnya ... Karina masih sangat menyukai Alfi. Jadi, tidak apa-apa kan ... kalau bersabar dan berusaha sekali lagi. Siapa tahu dengan begitu, Alfi akan benar-benar menghargai keberadaan Karina selama ini. Cinta mereka tidak berat sebelah lagi. *** Adit terkekeh pelan melihat ekspresi terkejut dua orang di depannya yang kini saling pandang lalu kompak membuang muka ke arah berlawanan. Pemuda itu sengaja memancing keduanya, seru juga kalau sampai dua orang di depannya punya hubungan spesial. "Kepalamu belum pernah dihantam piring restoran ya?" Geram Alfi dengan menatap Adit tajam membuat pemuda itu mengedikan bahu pelan. "Kan bagus, kalau kalian berdua nikah. Adem aja lihatnya, satu kalem, satu dingin. Satu masih malu-malu, satu omongannya pedas banget." Kata Adit sudah berimajinasi liar. "Nanti kalau kalian berdua menikah, saat masak di dapur saling lempar pisau. Sungguh romantis," ujarnya terkikik sendiri membuat Annita menggeleng saja. "Bapak gak boleh bercanda seperti itu, gak baik. Apalagi soal pernikahan, sekarang Pak Alfi lagi kesusahan karena masalahnya. Jangan ditambah lagi bebannya," kata Annita menatap Adit lurus. "Apalagi menyeret saja ke dalam masalah Pak Alfi." Lanjut Annita menggelengkan heran, tidak paham dengan cara berpikirnya bosnya yang bernama Aditya itu. "Loh? Emangnya kamu tidak suka kalau  menikah dengan Alfi." "Tidaklah." Jawab Annita tanpa ragu membuat Alfi melotot ke arahnya, Annita tersadar lalu tersenyum masam. "Anu ... maksud saya kan, semua orang kan punya tipe masing-masing." Ujarnya membela diri. "Oh, jadi Alfi bukan tipemu?" Kekeh Adit sudah menatap Alfi yang sudah menampakan ekspresi keruh. "Ah, itu ... maksud saya bukan begitu. Ah, bapak Adit jangan begitu." Kata Annita jadi merasa malu sendiri. Kenapa juga harus menjelaskan kalau Alfi tipenya atau pun bukan. Lagian inti permasalah yang sedang mereka bicarakan bukan itu. "Jangan bicara begitu, Pak Alfi juga tidak akan nyaman." Adit menaikan alisnya tinggi sembari melirik Alfi sekilas yang ekpresinya makin tidak bisa dikendalikan. "Yasudahlah, aku akan tutup mulut." Tutur Adit mengalah lalu melanjutkan makannya. Annita pun menghela napas lega lalu tidak sengaja melirik ke sebelahnya dimana ada Alfi di sana yang menatapnya tidak bersahabat. "E-enak ya, airnya." Kata Annita setelah meminum sedikit air mineralnya, mendadak salah tingkah sekaligus takut karena ditatap tajam begitu. "Apanya yang enak, air kok enak." Cibir Adit sudah tertawa geli sendiri, entah kenapa merasa terhibur dengan tingkah dua orang di depannya. "Setelah ini, bapak mau balik ke kantor atau bagaimana?" Tanya Annita segera mengalihkan pembicaraan, Alfi sudah mulai meraih sumpitnya dan mulai memakan makanan pesanannya. "Kan mau ketemu my baby." Balas Adit santai masih dengan mulut penuh. Annita menganggukan kepala mengerti, "saya ikut bapak atau balik ke kantor saja?" Adit mengernyitkan dahi sesaat lalu mengangguk pelan. "Ikut aja, kalau balik ke kantor emangnya mau ngapain di sana. Kan gak ada aku," Annita membenarkan sembari menatap ramen di depannya dengan sumpit di yang diletakan di atas tisu. "Biar nanti Alfi sendiri yang balik naik angkot." Kata Adit lagi dengan nada ringan. Alfi tak berkomentar banyak mengamati tingkah laku Annita yang memegang sumpit dengan canggung. Pertama menggenggamnya membentuk kepalan tangan lalu Annita menggeleng karena merasa aneh sendiri. Kemudian menyilangkannya lagi malah makin aneh. Annita berulang kali mencoba mengangkat ramen dengan sumpit di tangan. Tidak terangkat sama sekali. Ramen di dalam mangkok masih utuh dan mulai mengembang karena dibiarkan sedari tadi. Annita sudah frustasi sendiri, tidak sadar jadi mengerucutkan bibir bawahnya maju. Alfi yang merasa terganggi dengan kelakuannya sedari tadi yang menimbulkan suara benturan antara sumpit dan mangkok pun jadi mendecak. "Ck, pake garpu aja kalau emang gak bisa." Omelnya merampas sumpit di tangan Annita yang nampak kaget karena sentakannya. "Eh? Iya, pak." Annita merunduk samar dengan diam-diam mengangkat wajah menatap Adit yang mengulum bibir menahan tawa. Sengaja mengejeknya di depan sana. Annita memejamkan matanya sesaat berusaha bersabar lalu berterima kasih saat pelayan mengantarkannya garpu setelah dipanggil oleh Alfi. "Lain kali makan di warteg aja sana, kalau pegang sumpit aja gak bisa." Alfi sudah meletakan sumpitnya di atas meja lalu bangkit dari tempat duduknya setelah mengomeli Annita. Setelah itu pun, Alfi melangkah pergi meninggalkan Adit dan Annita di sana dengan suasana yang tidak enak. "Bagaimana dong, pak. Pak Alfi pasti marah gara-gara saya, ya?" Paniknya sudah meletakan garpu, jadi menatap Adit memelas. "Tenang aja, kalau pun dia marah kan gak ada hubungannya sama pekerjaan kamu." Jelas Adit santai kembali fokus makan. "Bukan itu maksud saya, pak. Kalau nanti saya makin dibenci, bagaimana? Pak Alfi kan sudah tidak suka sama saya." Katanya bergumam lirih jadi memandangi ramen di depannya dengan tatapan sendu. "Gak usah dipikirin, makan aja ramennya. Udah bengkak tuh," Annita menghela napas sesaat lalu menurut. Perempuan itu pun mulai memakan ramen yang Alfi pesankan itu. Ia menolehkan kepala ke samping kursi kosong di sebelahnya. Makanan di sana masih banyak, belum disentuh sebagian. Hanya pinggirannya saja. ** Alfi berdiri di samping pintu masuk restoran. Belum beranjak pergi setelah memutuskan untuk keluar sendirian tanpa menunggu dua orang tadi selesai makan. Ia hanya ingin membuat perempuan itu makan dengan nyaman. Karena setelah Alfi menjelaskan tentang pertemuan tidak sengaja mereka pertama kali di kamar Annita membuat suanasa terasa tidak nyaman. Annita juga sepertinya berulang kali menunduk dan menghindari kontak mata dengannya. Ia tidak tahu kalau omongannya akan berefek sejauh ini. Padahal ia menjelaskan itu agar bisa jujur pada Annita. Kesal juga harus menutup mulut dan terus-terusan bungkam. Lebih baik berkata jujur saja. Pintu di sampingnya terbuka lebar membuat ia menolehkan kepala ke samping. Ada Annita di sana yang jadi ragu untuk melangkah ke luar karena melihat keberadaannya. "Bapak belum balik ke kantor?" Tanya Annita mendekat dan mengambil tempat agak jauh di sebelahnya. "Saya datang dengan Adit, berarti pulang juga harus sama dengan dia kan?" Ujarnya merasa tersinggung, seakan perempuan berkerudung itu ingin mengusirnya dari sana. "Jangan salah paham, pak. Saya gak bermaksud mau ngusir bapak. Cuma kan tadi Pak Adit mau pergi menemui ibunya. Bukan balik ke kantor," jelas Annita hati-hati agak meremas jemarinya takut. Alfi memandangi itu dengan alis bertautan, ia merasa aneh dan penasaran akan satu hal. Kenapa setiap ia buka suara dan membalas omongan perempuan di sebelahnya itu, selalu saja ekspresi takut yang dia tampakan. Bahkan, reaksi tubuhnya pun begitu. Selalu menunduk dengan memainkan jemari. Emangnya Alfi semenakutkan itu sampai dia tidak berani menatap mata Alfi. Padahal adab berbicara dengan orang itu harus menatap lawan bicaranya. Tidak sopan. "Loh? Kamu belum pulang?" Tanya Adit yang baru saja keluar dari pintu restoran, sudah menyalakan rokoknya yang berada di antara jari telunjuk dan jari tengah. "Hm, belum." Balas Alfi seadanya. "Annita," "Iya, pak?" "Sepertinya kamu balik saja ke kantor. Bereskan ruangan saya dan setelah itu kamu boleh pulang." "Terus bapak bagaimana?" "Saya ada urusan penting. Jadi, tidak bisa mengantar kalian juga ke kantor. Bisa kan, balik naik taxi atau ojek?" "I-iya, pak." Adit pun tersenyum samar, menjatuhkan puntung rokoknya dan menginjaknya dengan sepatunya kasar. Kemudian melangkah pergi, pamitan pada dua orang yang semakn canggung itu. Alfi menoleh pada Annita di sebelahnya yang menunduk pelan, memungut putung rokok Adit dan memasukannya ke dalam tempat sampah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alfi mengeraskan rahangnya kasar, tidak suka melihat yang terjadi barusan. "Apa yang kamu lakukan?" Annita mengerjapkan matanya, seakan tidak paham apa yang Alfi katakan. "Harus banget kamu mungut putung rokok barusan?" Annita tersentak kecil mendengar tegurannya, "kan sampahnya, Pak Adit. Jadi, saya bantu buangkan." Balasnya tenang membuat Alfi makin mengernyitkan dahi tidak suka. "Kenapa kamu harus melakukan hal serendah itu? Ada banyak petugas kebersihan di sini, kenapa kamu harus sampai menundukan kepala sampai mengotori tanganmu seperti itu?" Jeda Alfi dengan mendecak, "kamu ... kenapa bisa sampai senaif ini?" Annita nampak kaget mendengar ucapan Alif. Perempuan itu mengalihkan pandangannya, tersenyum masam lalu melangkah maju mendekat pada Alfi di depannya. "Sepertinya bapak salah paham terhadap apa yang saya lakukan barusan. Dan mengartikannya terlalu berlebihan," Alfi makin mengeraskan rahangnya, "saya hanya melakukan tugas saya sebagai asistennya Pak Adit. Beliau barusan buru-buru jadi saya bantu buangkan putung rokoknya." Jelas Annita berusaha bersabar. "Emangnya Adit lihat apa yang kamu lakukan barusan? Jangan terlalu percaya sama Adit." Annita menghela samar, "kalaupun Pak Adit gak lihat, ya  gakpapa. Saya juga ikhlas ngelakuinnya. Cuma buang sampah pada tempatnya, apanya yang salah. Dan satu hal lagi pak, jangan terlalu suudzon sama orang. Bapak kalau tidak suka sama Pak Adit silahkan saja, tapi jangan menghasut saya untuk berada di pihak bapak." Kata Annita pedas membuat Alfi menggigit rahangnya kuat. "Saya permisi duluan pak, assalamu alaikum." Alfi mendecak samar, padahal ia tidak bermaksud lain. Hanya ingin Annita tidak terlalu dekat dengan Aditya. Tapi, perempuan itu malah mengartikan kebaikan Alfi dengan buruk. Alfi tersentak sendiri, baru sadar apa yang barusan ia lakukan. "Kenapa aku harus peduli kalau dia dekat dengan Adit?" Gumamnya bermonolog sendiri, "sadarkan dirimu, Alfi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN