6. Enam

978 Kata
Di acara pernikahan sepupunya Andre terlihat tidak tenang. Sejak pertemuan singkatnya dengan Ana dan bocah kecil itu membuat pikirannya terpecah. Sejak kejadian hari itu Andre tidak pernah lagi melihat Ana. Keadaannya sendiri belum dikatakan baik setelah di tinggal menikah oleh Liyan. Ketika ia bangun pagi itu dia merasakan pusing luar biasa. Dia terlihat syok dengan keadaan dirinya yang tidak memakai sehelai benang pun, di tambah lagi dia menemukan bercak darah diatas sprei. Terakhir kali yang dia ingat ia berada di club bersama Wisnu dan Zidan. Samar-samar dia mengingat tangis dan permohonan Ana tapi ia sendiri tidak yakin apa itu Ana? Semakin ia mencoba mengingatnya semakin kepalanya sakit. Saat Andre berkumpul dengan teman-temannya yang lain, dia tidak lagi melihat Ana. Padahal jika mereka janjian untuk berkumpul gadis itu akan datang paling dulu. Teman-temannya yang lain juga membicarakannya. Bertanya-tanya kemana gadis pendiam itu pergi. Dia seperti hilang di telan bumi, tidak ada yang tahu. Nomer ponselnya sudah tidak aktif, di datangi ke rumah pun, rumahnya kosong. Lintang yang paling dekat dengan Ana pun tidak tahu apa-apa. "Kok nglemun sih, kak?" Tanya Diva yang duduk di sebelah kakaknya. Mereka sedang menghadiri pernikahan sepupunya yang diadakan di salah satu ballroom hotel di surabaya. "Nggak ada apa-apa, " Jawab Andre. "Kakak nggak bisa bohongin aku. Kalau ada masalah kak Andre bisa cerita sama aku." Sikap Diva yang seperti itu malah membuat Andre teringat pada Ana. Gadis itu adalah pendengar yang baik. Andre menggelengkan kepala. "Apa ini ada hubungannya sama kak Liyan? Sebentar lagi kalian akan menikah." Andre tidak ingin memberi tahu adiknya kalau tadi pagi ia bertemu dengan Ana. Pandangan Andre beralih ke arah pelaminan. Disana ia melihat pasangan pengantin yang terlihat bahagia. Sepupunya yang bernama Zenita dan suaminya yang bernama Brian. Dalam hati ia berharap dirinya dan Liyan akan seperti itu. Bergeser sedikit, Andre melihat seseorang yang ia kenal. Lintang, sahabatnya. Berjalan turun dari atas pelaminan bersama seorang lelaki yang ia kenal sebagai suaminya. Penampilan Lintang sedikit berbeda, terlihat dari perut buncitnya. Dan di belakangnya ada Ana yang berjalan sambil menuntun bocah laki-laki. Sesaat Andre menatap Alif, wajah bocah itu.... Tapi tidak mungkin. Terdengar ponsel Andre berbunyi. Nama Liyan tertera disana. Tidak tahu kenapa Andre merasa tidak senang mendapat telfon dari kekasihnya. Seperti tidak tepat waktu. Biasanya senyumnya selalu tersungging setiap kali calon istrinya itu menelepon. Diva sedari tadi memperhatikan kakak kandungnya. Terlihat seperti ragu untuk menerima panggilan telfon itu atau tidak. Andre meninggalkan Diva untuk menerima telepon dari Liyan. Hampir sepuluh menit menerima panggilan telepon dari kekasihnya Andre merasa ada yang aneh pada dirinya. Sepanjang obrolan mereka dia hanya menanggapi beberapa ocehan calon istrinya. Berbeda sekali dengan hari biasanya yang selalu antusias menanggapi apapun yang di bicarakan Liyan. Di toilet Andre membasuh wajahnya. Melihat pantulan dirinya di cermin. Sejak bertemu Ana dirinya menjadi aneh. Pikirannya kacau. Ketika Andre keluar dari toilet pria, pandangannya tertuju pada wanita yang juga baru keluar dari toilet wanita bersama anaknya. Mereka sama-sama membatu karena terkejut. "Ana. " Gumam Andre. Enam tahun tidak melihat Ana tapi wanita itu masih terlihat seperti terakhir kali mereka bertemu. Cantik. Ana terkejut bercampur takut. Bergegas dia mengendong Alif dan melangkah pergi. Tapi niatnya terhenti saat lelaki itu berdiri dihadapannya. "Ana." Panggilnya. Ana semakin mengeratkan gendongannya pada Alif. Tubuhnya ketara menegang. Yang ingin ia lakukan hanya segera pergi dari sana. "Maaf anda salah orang, " Kata Ana setenang mungkin. Tapi tidak berani memandang lawan bicaranya. "Kamu Ana, kan? Aku nggak mungkin salah orang. " "Ana... " Panggil sebuah suara. "Kenapa kamu la- " Lintang tidak meneruskan perkataannya karena terkejut melihat Andre ada disana. Ana berjalan menghampiri Lintang. Berharap bisa keluar dari lorong toilet itu. Bertemu dengan Andre sangat mengobrak abrik perasaanya. Tangan Lintang menahan lengan Ana. Tidak mengijinkan sahabatnya untuk pergi. Dengan mata yang memerah Ana memandang sahabatnya. Lima detik kemudian Lintang mengangguk tapi Ana menggeleng. Ana mengerti maksud anggukan itu. Menghadapi Andre dan mengatakan semuanya. Tapi Ana tidak ingin. Lebih baik seperti ini, pergi dari kehidupan lelaki itu. "Sampai kapan kamu begini terus? " Tanya Lintang. "Dia juga harus tau yang sebenarnya." Ana menggelengkan kepala. "Enggak." Matanya memerah menahan tangis. "Sudah cukup Ana. Sudah cukup enam tahun kamu menutupi semua kebenaran. Andre juga harus tau. " Andre memandang dua wanita yang ada di hadapannya. Keningnya berkerut dengan yang terjadi diantara mereka. "Cukup Lintang!" Pinta Ana. "Enggak." Tolak Lintang tegas. "Aku nggak perduli kamu nggak menganggap aku sahabat kamu lagi. Aku nggak mau melihat kamu menderita terus. Andre harus tau kalau dia punya anak. Anak kalian. " Bersamaan dengan ucapan Lintang. Air mata Ana meluruh. Tubuh Andre kaku mendengar ucapan Lintang. Terkejut sudah pasti. Dia mempunyai anak? Anaknya dengan Ana? Ingatannya langsung kembali ke enam tahun yang lalu. Astaga... ! Jadi ingatan samar-samarnya pagi itu tentang permohonan dan tangis Ana bukan mimpi tapi kenyataan. "Cukup!" Bentak Ana. "Kamu yang cukup dengan keegoisan kamu. Alif juga berhak tau siapa ayahnya. " Alif yang berada di gendongan Ana tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Tapi yang ia tahu ibunya sedang marah. Andre masih berdiri di tempatnya. Masih dungu dengan hal besar yang baru ia tahu. Dia mempunyai anak tanpa ia ketahui. Anaknya bersama Ana. Ana melangkah pergi tapi Lintang mengejarnya. Masih berusaha meyakinkan sahabatnya. "Kak Ana, kak Lintang. " Sapa adik Andre. "Ini benar kalian, kan? Nggak nyangka, ya, kita ketemu disini. Kalian apa kabar? " Diva masih bisa mengenali wajah teman-teman kakaknya. Walaupun mereka sudah lama tidak bertemu. Diva merasa bingung dengan Ana yang menangis. Pandangannya beralih pada bocah yang berada di gendongan Ana. Wajah itu... Mirip sekali dengan gen dari keluarganya. Walaupun tidak terlalu dekat dengan teman-teman kakaknya tapi ia tahu kalau Ana tiba-tiba menghilang. Pergi tanpa ada yang tahu keberadaanya. "Permisi," Ucap Ana seraya pergi dari tempat itu. "Ana... Jangan pergi! Kita harus bicara. Andre harus tau semuanya. " Ana terus berjalan. Tidak menghiraukan teriakan sahabatnya. Baru ingin mengejar tapi tangan Diva mencekal tangan Lintang. "Ini ada apa, kak Lintang? "
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN