Jam 3.15 sore, Aaron harus bergegas dan mengayuh sepedanya sekuat tenaga karena kelas dimulai pada jam 3.30. Biasanya dibutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk Aaron agar dapat sampai ke kampusnya tepat waktu, tapi karena terlalu lama ditoko, ia pun jadi terlambat beberapa menit untuk berangkat sesuai jadwalnya.
Sesampainya di area kampus, Aaron memarkir sepedanya disebelah gedung fakultas Teknik dan Sains, lalu setelah ia mengunci sepedanya, ia langsung berlari kedalam gedung untuk menghadiri kelas sirkuit dasar yang berada di lantai dua gedung tersebut. Ditengah jalan menuju kelas, Aaron menabrak seorang gadis yang datang dari arah yang sama dengannya. “Aduuh” Aaron dan gadis itu berteriak kata yang sama dan terjatuh secara bersamaan, menyebabkan tiga buku yang dibawa gadis itu terpental.
“Hey, hati-hati ya kalau berjalan” bentak gadis berambut coklat kemerahan sebahu dan sedikit bergelombang itu kepada Aaron sambil berusaha berdiri dari posisi jatuhnya,
“Kau sendiri tidak hati-hati berlari seenaknya di koridor kampus” balas Aaron yang sudah berdiri terlebih dahulu,
“Enak saja, memangnya kau tidak sadar kalau kau juga berlari?” bantah gadis yang memakai tank top putih bergaris hitam dengan luaran jaket denim pendek berwarna hijau muda dan celana legging berwarna hitam dan sepatu flat-shoes berwarna hijau muda tersebut.
“Jadi aku pikir kita berdua yang salah” Aaron mengaku sambil berusaha untuk mengambilkan buku dan kertas gadis itu yang berserakkan tadi dan memberikannya pada gadis itu.
“Maaf, aku juga berlari tidak melihat-lihat sekeliling” bilang gadis itu setelah menerima buku dari Aaron.
“Oh, sial!” Tiba-tiba Aaron menyadari bahwa ia sedang terburu-buru dan segera berlari lagi meninggalkan gadis itu.
“Hey, tunggu!!!...” teriak gadis itu mencoba memanggil Aaron kembali tapi sepertinya ia tidak mendengarnya, lalu ia melihat sebuah dompet berwarna coklat tergeletak di tempat ia terjatuh tadi dan mengambilnya, gadis itu pun berkata “apa ini milik orang tadi?” belum sempat membuka dompetnya, gadis itu sadar bahwa ia juga sedang terburu-buru “gawat, aku juga telat” gadis itu pun ikut berlari kearah yang sama dengan Aaron.
Jam pelajaran telah dimulai di kelas sistem sirkuit, Aaron membuka pintu kelas dengan tergesa-gesa dan nafas yang sedikit berat tanpa menyadari bahwa dosennya, Dr. Edward Albertson, seorang ilmuwan di bidang elektro yang belum lama mengajar di UCLA dan kelihatan berusia sekitar 50 tahunan itu sudah mulai menyampaikan materi di depan kelas hingga saat Aaron membuka pintu kelas, Dr. Edward pun berhenti berbicara dan seketika seluruh isi kelas melihat kearah pintu masuk kelas dimana Aaron baru saja masuk.
“Inilah salah satu alasan kenapa manusia sangat rapuh” sindir Dr. Edward sambil berjalan kearah Aaron. “Mereka tidak bisa mengikuti sistem yang rapi seperti sebuah sirkuit elektro yang melakukan tugasnya dengan sangat teratur” Doktor itu menepuk bahu Aaron dan berbisik padanya “Jika tidak teratur maka kehancuran yang akan terjadi”.
Pemuda yang memakai kemeja hijau tentara yang tidak dikancingi dengan dalaman kaos hitam polos dan celana jeans biru tua dipadu dengan sepatu vans old skool berwarna hijau tua dan coklat itu hanya bisa terdiam dengan muka kebingungan saat dituntun oleh dosennya menuju bangku paling depan.
“Aku tidak ada masalah jika ada murid yang telat, tapi konsekuensinya mereka harus duduk dibarisan paling depan” tegas Dr. Edward kepada seluruh murid didalam kelas.
Barisan paling depan kelas hanya diduduki oleh orang-orang yang bisa dibilang kutu buku, aneh, atau memang kelewat pintar, dan Aaron bukanlah salah satu dari mereka hingga membuat ia tidak nyaman duduk disebelah teman sekelasnya yaitu seorang laki-laki dengan rambut keriting dan berwarna oranye serta kacamata bulat tebal yang mirip dengan yang dipakai oleh Harry Potter.
Aaron pun juga lupa nama laki-laki yang duduk disebelahnya itu karena memang tidak pernah berbicara dengannya.
“Halo Aaron” sapa laki-laki itu dengan nada kaku dengan senyum yang aneh.
“Ehhh. . . hai. .” balas Aaron sambil berusaha meningat nama orang itu,
“Kau jangan telat lagi, nanti nilaimu jelek” bisik orang itu dengan cara bicara yang kaku dan aneh. Aaron secara tidak sengaja melihat sebuah tanda pengenal yang tertempel di saku kemeja bermotif kotak-kotak putih dan marun yang dikancing sampai leher dengan dasi kupu-kupu berwarna merah yang bertuliskan “Sheldon”.
“Ehehe. . . iya benar, terima kasih Sheldon” jawab Aaron berasumsi kalau nama orang itu adalah Sheldon,
“ya, itu adalah namaku, tapi kau boleh memanggilku Ginger”
“tunggu sebentar” potong Aaron “kau suka dipanggil Ginger?” heran Aaron dengan nama panggilan itu
“Tentu saja, orang-orang dikampus ini senang memanggilku dengan nama itu, menurutku orang yang punya julukan itu keren, seperti nama superhero” jawab Sheldon dengan penuh percaya diri.
“Entah kenapa aku merasa kasihan dengannya” ucap Aaron dalam hatinya entah orang ini sadar atau tidak tentang nama julukan yang bermaksud mengejek rambutnya yang berwarna jingga itu.
Suasana di dalam ruangan kelas itu lumayan penuh dan sangat fokus, yang terdengar hanya sedikit bisikan-bisikan dari murid yang sedang mengobrol dan suara lantang Dr. Edward. Kelas ini berbentuk seperti sebuah amphitheater dimana ada sepuluh tingkat kursi yang mengelilingi satu panggung dengan meja dosen dan papan tulisnya.
Disaat kelas terus berlangsung, Aaron hanya membuka buku pelajarannya sebagai kamuflase untuk menutupi dirinya yang sedang memainkan ponsel touchscreen miliknya untuk mencari-cari informasi tentang batu Atlantis yang membuatnya penasaran itu, ia menjelajahi jaringan internet dari satu website ke yang lainnya hingga membuka artikel-artikel mengenai Atlantis untuk mencari simbol yang terasa familiar baginya itu.
Setelah membuka beberapa halaman, Aaron pun menemukan simbol yang ia cari, simbol yang menyerupai huruf “T” dengan mahkota di atas dan garis-garis di sampingnya. Artikel yang ia buka merupakan sebuah halaman milik Natural History Museum of Los Angeles County yang memperlihatkan sebuah kalung kuno yang terbuat dari rantai logam dengan liontin yang berbentuk kristal lonjong berwarna biru menyala dengan hiasan ornamen-ornamen kecil dibagian atas liontin itu.
Dibagian dalam liontin itulah Aaron menemukan dan melihat dengan jelas simbol berbentuk “T” tersebut, namun ada yang janggal dari gambar itu, ia merasakan bahwa simbol itu bercahaya lebih terang dari seharusnya daripada digambar, dan ia juga merasa ada kekuatan aneh yang menarik dirinya kedalam dunia pikiran yang dalam untuk lebih mencari informasi tentang kalung itu.
“Aaron!” tiba-tiba saja Dr. Edward memanggil Aaron dengan suara lantangnya namun tidak dengan berteriak dan tetap menjaga kewibawaannya, Aaron pun terlepas dari fokusnya yang amat dalam dan dengan wajah kagetnya ia menoleh kearah atas dimana Dr. Edward sudah berdiri didepan mejanya dan menatapnya sambil memegang buku yang Aaron buka tadi.
“Apakah kita sedang membaca halaman 157 Aaron?” tanya dosen itu dengan nada menuduh melihat Aaron membuka halaman yang salah.
“Maaf pak, saya tidak bermaksud tidak memperhatikan” Aaron berusaha membela diri dan mengunci layar ponselnya dan seisi kelas pun kembali melihat kearah Aaron.
“Sepertinya ada hal yang lebih menarik dari apa yang sedang saya ajarkan padamu, boleh saya lihat?” dosen itu menutup buku Aaron dan menyodorkan tangan kanannya dengan maksud meminta ponsel Aaron yang memang sudah ketahuan.
“Ini benar-benar bukan sesuatu yang penting pak, saya tidak. . .”
“Boleh.Saya.Melihatnya?” potong dosen itu lagi dengan nada yang lebih memaksa dan jelas.
Aaron pun tidak dapat berkutik dan mengeluarkan ponselnya dari kantung celana dan memberikannya pada Dr. Edward.
Dr. Edward pun membuka ponsel Aaron yang masih dalam keadaan membuka artikel tentang kalung tadi dan melihat foto kalung Kristal tadi.
“Menarik, kau tidak kelihatan seperti seseorang yang suka menggeluti sejarah Aaron” tuduh si dosen sambil memegang janggut yang tipis di dagunya.
“Bukan begitu pak, saya cuma tertarik dengan Atlantis” Aaron mengaku dengan cepat dan dengan sekejap Dr. Edward mencondongkan wajahnya ke kuping kiri Aaron.
“Apa yang kau ketahui tentang Atlantis nak?” bisik si dosen. Kata-kata itu sangat bergema di kepala Aaron dan menyebabkan ia mengingat kalimat yang diucapkan oleh pria misterius di toko musik tadi siang dan membuat dirinya tertegun dan merasakan perasaan yang sama saat ia ditatap oleh pria bermantel hitam itu sebelumnya.
Keringat mulai mengalir dari kulit Aaron yang terasa tertekan hanya karena sepatah kalimat tadi.
“Yak, kelas telah usai, sampai berjumpa lagi lain kali” jam telah menunjukkan pukul 7 malam, Dr.Edward pun membubarkan kelasnya, mengembalikan ponsel Aaron dan langsung berjalan keluar dari dalam kelas.
Para murid juga berbondong-bondong berjalan menuruni tangga, tapi Aaron yang masih kelihatan shock terus diam dan duduk dikursinya hingga seluruh murid keluar.
“Kau tidak apa-apa?” Sheldon menepuk bahu Aaron yang masih kelihatan melamun itu
“Aku tahu rasanya dimarahi dosen, jangan kuatir, itu tidak akan mempengaruhi nilai mu” tambah Sheldon mencoba menenangkan Aaron, tapi saat ini bukanlah nilai yang ia takuti, tapi kejadian aneh yang sudah dua kali menimpanya hari ini yang membuat ia takut.
“Ya, aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikuatirkan” ucap Aaron dengan wajah yang masih agak pucat,
“memangnya apa yang dibisikkan Dr. Edward padamu sampai kau pucat seperti ini?”
“bukan apa-apa, dia hanya bilang lain kali jangan diulangi lagi” karang Aaron tentang apa yang sebenarnya ia dengar.
“Hem, itu bukan hal yang harus ditakuti kan?” Sheldon curiga dengan pengakuan Aaron.
“Me-memang, tapi cara dia membisikkannya itu yang membuatku takut” spontan Aaron mencari alasan untuk meyakinkan Sheldon.
“Benar juga, cara dia bicara memang sedikit menyeramkan dengan nada dan logatnya yang aneh itu, pantas kau takut” Sheldon pun setuju, dan Aaron juga merasa tenang temannya itu percaya dengan kebohongannya.
“Baiklah, kau setelah dari sini mau kemana?, kau tinggal sendiri kan di apartemen sekitar sini?” tanya Sheldon sambil berdiri untuk berjalan keluar kelas.
“Darimana kau tahu?, aku tidak pernah memberi tahu siapapun tentang apartemenku” heran Aaron.
“Jangan remehkan kemampuan superku dalam mengumpulkan informasi ya” memang Sheldon bukan orang yang mudah bergaul dan stylist, tapi ia punya kemampuan untuk mencari informasi tentang banyak hal menggunakan komputernya, meskipun data yang rahasia sekalipun. “Aku bahkan tahu nama belakangmu, alamat, nomor telepon, dan tempatmu bekerja, mungkin bukan cuma itu” tambah Sheldon.
“Apa?, bagaimana kau bisa tahu semua itu?”
“Mudah saja dengan adanya komputer superku dan koneksi yang tepat, aku bisa mencari berbagai macam informasi”.
Aaron berpikir mungkin suatu saat orang ini akan sangat berguna baginya, sehingga ia tidak keberatan untuk menjadi teman orang aneh ini. Mereka berjalan keluar gedung fakultas sambil terus mengobrol sampai ke tempat parkir sepeda milik Aaron.
“Kalau kau ingin melihat komputer superku, kau boleh datang kerumahku, aku tinggal disini” Sheldon mengirimkan sms ke ponsel Aaron berisi alamat dan kontak miliknya walaupun Aaron belum pernah memberikan nomor teleponnya pada siapapun dikampus ini.
“Wah, terima kasih, mungkin kapan-kapan aku akan kesana”
“Tentu saja, sampai jumpa, semoga kau hidup panjang dan makmur” Sheldon mengangkat tangannya dengan menempelkan jari kelingking ke jari manisnya dan jari tengah ke jari telunjuknya membentuk salam khas ras Vulcan dari film Star Trek sambil berlari kearah mobil yang menjemputnya dikampus,
“Bye” Aaron hanya melambaikan tangannya sekali dan melihat mobil temannya sudah berjalan.
Aaron segera menaiki sepedanya dan memakai helm serta mengencangkan tasnya seperti biasa sebelum mulai mengayuh, ia melihat sekeliling sudah mulai sepi karena memang sudah jam pulang kampus, dan angin pada malam itu berhembus dengan sejuk hingga membuat Aaron sedikit menggigil.
Setelah keluar dari area kampus, Aaron berbelok kearah kanan kearah apartemennya yang terletak diantara kampus dan tempat ia bekerja. Ditengah-tengah jalan, perut Aaron berbunyi, ia lupa kalau tadi siang ia hanya makan satu buah hotdog dan belum sempat makan lagi. Aaron segera memutar sepedanya kearah restoran cepat saji McDonald yang baru saja ia lewati untuk membeli makanan, mengingat dirumahnya tidak ada makanan.
Aaron memarkirkan sepedanya didepan Mcd dan langsung masuk kedalam restoran itu, “selamat malam ada yang bisa saya bantu?” sapa pegawai yang bekerja saat itu,
“tolong satu Double Cheeseburger dengan kentang dan sodanya ya” Aaron memesan menu favoritnya di restoran ini yang memang sejak kecil ia gemari.
“Ini saja?, total semuanya jadi 6 dollar 75 sen” Aaron pun memasukkan tangannya kesaku celana kiri belakang berusaha meraih dompetnya sampai ia sadar bahwa dompetnya tidak ada didalam sakunya.
“Oh tidak, dimana dompetku?” Aaron dengan panik berusaha mencari dompetnya di seluruh saku celana hingga kedalam tasnya.
“Mencari ini?” suara yang familiar menghampiri Aaron dari samping, ternyata itu adalah gadis yang ia tabrak tadi sore saat dikampus, ia memegang dompet Aaron dan menyodorkannya.
“Jadi kau menabrakku untuk mengambil dompetku?, percuma, aku tidak punya banyak uang” Aaron segera mengambil dompetnya dari tangan gadis itu dengan kesal,
“Hey, dasar tidak tahu terima kasih!, kau sendiri yang menjatuhkannya, aku cuma berniat baik mau mengembalikannya Aaron”
“A-HA!, kau tahu namaku, berarti kau sudah membuka dompetku” tuduh Aaron dengan nada yang mengesalkan sambil menunjuk gadis itu.
“Uuurgh…, aku menyesal berniat baik padamu, lebih baik kubuang saja tadi dompetmu yang kosong itu” gadis itu pergi berjalan keluar restoran.
“Tunggu, apa?, kosong?” Aaron melihat isi dompetnya yang memang cuma berisi 3 dollar dan sedikit koin recehan. “Hey. . ., hey. .” Aaron berlari mengejar gadis itu dan menarik bahunya.
“Apa lagi?” bentak gadis itu sambil melepaskan bahunya dari tangan Aaron.
“Aku minta maaf, seharusnya aku tidak marah padamu, aku hanya sedang kesal hari ini” Aaron meminta maaf meski sedikit tidak ikhlas.
“Ooh, setelah menuduhku sekarang kau mau minta maaf?, kau bahkan tidak mengenalku” memang benar, mereka belum sempat saling memperkenalkan diri secara formal.
“Iya aku minta maaf,terima kasih sudah mengembalikkan dompetku, aku Aaron Knightley, siapa namamu?, puas?” tegas Aaron.
“Begitu kan mudah, namaku Elena, Elena Kingsman, salam kenal” Elena mengeluarkan senyum yang lebar dan menjabat tangan Aaron. “Baiklah karena urusan kita sudah selesai, aku pergi dulu ya” Elena baru memutar badannya hingga Aaron kembali menarik tangannya.
“Tunggu” panggil Aaron, “anu. . .”
“Sekarang apa lagi?”
“boleh aku pinjam uang sedikit?” pinta Aaron dengan terpaksa karena memang tidak sedang memegang uang dan bunyi perutnya yang terdengar sampai kuping Elena.
“Pfft... kau baru kenal denganku, menuduhku pencuri, dan sekarang mau meminjam uang” sindir Elena sambil tertawa, dan Aaron hanya tersipu malu sambil memasang muka memelas.
“Baiklah, sepertinya aku tidak tega mendengar tangisan perutmu yang kosong itu, ayo kedalam, aku juga jadi ikut lapar”
“Ah, terima kasih” jawab Aaron.
Mereka berdua pun masuk kedalam restoran tadi dan memesan makanan, Aaron tetap memesan menu yang tadi ia pesan, dan Elena hanya memesan burger ikan dan teh hangat untuk makan malamnya.
“Jadi bagaimana kau bisa tahu kalau aku ada disini?, kau mengikutiku ya?” tuduh Aaron lagi-lagi pada Elena.
“Kau bercanda ya?, apa kau memang selalu suka mencari-cari masalah?, aku tadi ada kelas sampai jam 7, lalu aku melihatmu menaiki sepeda kearah yang sama dengan rumahku, dan saat melewati restoran ini aku melihat sepedamu yang biru itu, tentu saja aku mampir untuk mengembalikan dompetmu, apa itu termasuk mengintai?” Elena bercerita dengan jelas sambil memegangi burgernya tanpa menggigitnya sekalipun.
“Mungkin tidak mengintai, tapi mengikuti” Aaron menjawab dengan suara tidak jelas karena mulutnya dipenuhi oleh makanan.
“Oooh, demi tuhan, kau sungguh menyebalkan” Elena mengeluh dan bersiap untuk berdiri meninggalkan Aaron”
“Hei,hei, aku bercanda, kau bahkan belum makan pesananmu sedikitpun”cegah Aaron sambil tertawa.
Elena pun duduk kembali di meja dekat jendela restoran yang mereka tempati dan memakan makanannya itu, “jadi apa yang kau lakukan selain kuliah disini?” tanya Elena berusaha mengganti moodnya.
“Aku bekerja sebagai penjaga toko musik disekitar sini jika tidak sedang berkuliah” jawab Aaron sambil menyedot minuman sodanya, “bagaimana denganmu?” Aaron balik bertanya pada Elena.
“Aku tidak selalu bekerja, hanya sesekali bekerja di Natural History Museum sebagai pemandu tur”.
Aaron seketika berhenti mengunyah dan memandang Elena, ia ingin sekali menanyakan tentang kalung kristal yang ada di museum itu, tapi ia menahannya karena takut ada hal aneh lagi yang akan menimpanya, Aaron yang tadinya terus mengunyah itu meletakkan burgernya dan terdiam.
“Ada apa?, memangnya aneh kalau seorang mahasiswa bekerja di museum?” Elena heran dengan tatapan Aaron yang kosong itu.
“Ah, tidak, itu justru bagus, kau jadi tahu banyak sejarah menarik dari sana, mungkin sejarah tentang Atlantis” Aaron berusaha memancing apakah Elena mengetahui sesuatu tentang kalung itu.
“Atlantis?, memangnya hal seperti itu nyata?, yang kutahu cuma legenda dan mitos-mitos dari buku anak kecil” Elena tertawa karena perkataan Aaron tentang benua yang dikatakan telah musnah itu.
“Haha, benar juga” tawa Aaron dengan sedikit memaksa, ia kecewa bahwa Elena tidak mengetahui apa-apa tentang kalung itu sekaligus lega karena tidak ada lagi yang bertanya “apa yang kau ketahui tentang Atlantis?” lagi padanya.
“Aku harus segera pulang, sudah agak malam” Elena melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul 8.20 malam dan mengambil tas disebelahnya.
“Biar kuantar kau berjalan kerumahmu” Aaron juga membereskan tasnya dan berdiri.
“Tidak perlu, lagipula kau membawa sepeda, bagaimana caranya kau mengantarku?”
“Kan kubilang kuantar berjalan, jadi aku tidak menaiki sepedaku, lagipula aku tidak tega melihat perempuan berjalan sendiri malam-malam begini” mereka berdua berjalan keluar restoran.
“Hah, pria yang baik, aku bisa menjaga diriku kok, apa kau sedang mendekatiku ya?” tuduh Elena sambil mengibaskan rambutnya bagai seorang model.
“E-enak saja, siapa yang mendekatimu, percaya diri sekali kau” bantah Aaron dengan wajah yang memerah tapi juga sedikit geli dengan perkataan Elena.
“Sudahlah, aku sudah terbiasa berjalan sendiri, rumahku juga tidak jauh dari sini” Elena menunjuk satu bukit yang memiliki beberapa rumah di atasnya, memberitahu bahwa ia tinggal di daerah itu, bukit itu berada tepat dibelakang restoran McDonald dimana mereka makan tadi, hanya butuh beberapa menit untuk sampai kesana walau agak sedikit memutar.
“Baiklah kalau begitu, sampai jumpa” Elena berjalan kearah yang berlawanan dengan Aaron dan melambaikan tangannya dari belakang.
“Ya, sampai jumpa, nanti aku kembalikan uangmu”
“Tidak usah, anggap saja aku yang mentraktir” Elena menjawab tanpa menoleh dan hanya mengangkat tangannya lagi dengan maksud “tidak”.
Setelah Elena berjalan jauh dan tidak terlihat, Aaron segera menaiki sepedanya dan mengayuh dengan santai karena jalan masih agak ramai, sambil mengayuh ia sesekali memikirkan lagi tentang kalung kristal yang ada di museum itu tapi selalu berusaha untuk melupakannya, namun ada hal yang membuat dirinya selalu teringat akan simbol itu, entah hanya perasaannya saja atau bagaimana.
Aaron tiba di sebuah gedung berlantai lima dengan tembok yang terbuat dari batu bata dan atap genteng yang berwarna abu-abu, didepan gedung ini terdapat sebaris parkiran mobil untuk penghuni apartemen itu dimana ada dua buah mobil, satu mobil sedan berwarna biru tua dan satu lagi mobil amerika klasik berwarna coklat.
Aaron memarkirkan sepedanya disebelah tangga masuk menuju gedung itu, ia hanya mengunci sepedanya dengan gembok berbentuk seperti sabuk dan berbahan karet yang diikatkan ke sebuah pipa besi di tembok itu.
Saat masuk kedalam gedung itu, di lantai dasar hanya terdapat tiga buah kamar apartemen, dua kamar ini ditempati si pemilik apartemen dan satu lagi milik anaknya, tempat mencuci pakaian juga terdapat di lantai ini beserta kantor pemilik apartemen dan gudangnya.
“Selamat malam Aaron” sapa seseorang bapak-bapak berbaju kemeja merah bermotif kotak-kotak yang dimasukkan kedalam celana bahan berwarna coklat muda dan sabuk kulit coklat dengan kepala sabuk nyentrik berwarna emas, ia kelihatan sudah agak tua karena rambutnya yang sudah hampir semuanya memutih dan tipis. Ia menyapa Aaron dari dalam kantornya yang berada tepat setelah pintu masuk, jadi semua orang yang masuk ke gedung itu harus melewati kantor tersebut.
“Selamat malam Pak Neeson” sapa balik dari Aaron sambil berjalan melewati kantor itu, Jonah Neeson merupakan nama dari pemilik apartemen itu, ia tinggal bersama istrinya Hannah dan anak perempuannya yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA Sarah.
Kamar Aaron berada di lantai tiga gedung itu, ia pun menaiki tangga yang berada di depan kantor Neeson dengan cepat.
“Hai Kak Aaron” Aaron berpapasan dengan perempuan berambut pirang lurus dan memakai kaos putih dan celana trainer abu-abu.
“Oh, hai Sarah” Aaron menyapa balik perempuan yang merupakan anak dari Pak Neeson itu.
Di lantai tiga gedung itu lantainya terbuat dari kayu gelap yang masih bagus dan kokoh, di lantai ini terdapat empat kamar dan satu gudang, sebuah lorong panjang memisahkan gedung ini menjadi dua bagian membentuk seperti angka 1 romawi. Satu bagian di selatan memiliki dua kamar dan sebaliknya di utara, gudang terdapat langsung didepan tangga, namun Aaron tidak pernah membuka ruangan ini sekalipun.
Kamar Aaron berada di bagian selatan gedung ini dan berada di bagian kiri, pintu kamar Aaron terbuat dari kayu walnut berwarna coklat tua yang bertuliskan angka 6 dan dibawah pintu ini ada karpet kasar bertuliskan “welcome”.
Aaron mengambil kunci kamar dari dalam tasnya dan membuka pintu itu, didalam kamar yang lumayan kecil ini terdapat 3 bagian; kamar mandi beserta klosetnya, tempat tidur dan dapur. Kamar ini berbentuk persegi sederhana, dimana pintu masuk berada di bagian kanan ruangan. Didepan pintu ini terdapat dapur kecil dan meja makan bulat yang hanya memiliki dua kursi besi, lalu di seberang dapur ini ada ruangan yang merupakan kloset dan gudang Aaron yang didampingi oleh sebuah kamar mandi, dan di sebelah ruangan koset ada tempat tidur tunggal yang di atasnya memilik sebuah rak berisi berbagai macam barang dan lampu tidur, barulah didepan kasur ini ada meja belajar yang menghadap ke jendela dan ada sebuah komputer diatasnya dan sebaris buku-buku dan alat tulis, disebelah meja belajar ini ada sebuah balkon yang dapat dibuka dan digunakan sebagai tempat menjemur pakaian .
“Aaah, rumahku istanaku” Aaron melepaskan tas dan sepatunya dan mengambil sebungkus s**u dari dalam kulkas dan meminumnya hingga habis. “Tidak ada yang lebih baik dari sebungkus s**u murni di malam hari” gumam Aaron seorang diri, ia pun membuang bungkus s**u itu ke tempat sampah disebelah kulkas.
Aaron lalu melepas kemejanya dan langsung menjatuhkan badannya ke atas kasur yang empuk, ia hanya berbaring dan berdiam diri sampai ia membuka lagi ponselnya yang masih dalam keadaan membuka halaman artikel mengenai kalung tadi.
Spontan Aaron pun berdiri dari kasurnya dan berjalan kearah meja belajarnya, ia duduk dan menyalakan komputernya, lagi-lagi ia mencari artikel tentang atlantis, namun kali ini ia mencari yang berhubungan dengan kalung itu.
“A-ha!” Aaron menemukan satu artikel mengenai kalung itu dan membacanya, disitu dikatakan bahwa kalung kristal ini ditemukan diwilayah Hawaii atau sekitar perairannya, tapi di artikel ini sama sekali tidak mengungkapkan apa-apa tentang Atlantis, melainkan bahwa kalung ini berasal dari manusia pra-sejarah atau para homo sapien.
Ketika terus menelusuri artikel itu, Aaron melihat foto dari kalung yang sama dengan yang di museum, dan lagi-lagi ia merasakan simbol yang tertera di kalung itu bersinar dan mengeluarkan aura biru yang terang, meskipun ia tahu itu hanya sebuah foto, iapun terbawa dalam alam pikirannya lagi. Aaron merasakan ada hembusan angin dikamarnya dan mendengar bisikkan “Apa yang kau ketahui tentang Atlantis” dari arah jendela kamar yang secara aneh sudah dalam keadaan terbuka, padahal sebelumnya jendela sedang tertutup dan terkunci.
Dengan panik Aaron langsung menutup dan mengunci jendela kamarnya itu, ia bahkan langsung menutup tirai jendela dan balkon kamarnya seketika. Dalam keadaan panik dan keringat dingin, Aaron berlari kearah kamar mandi dan menyalakan keran wastafel, ia mencuci mukanya dengan harapan bahwa hal-hal tadi terjadi karena ia hanya mengantuk.
“Apa-apaan yang barusan tadi?” ia menggumam sendiri dan mengaca di kamar mandinya. Aaron pun segera melepas bajunya dan kembali ke kasurnya karena ia merasa sangat lelah meskipun ia tidak melakukan apa-apa yang membuat dirinya berkeringat, dia hanya berharap bahwa besok semua akan baik-baik saja dan setelah beberapa menit, ia langsung tertidur dengan pulas.