“Oke,” jawab Irgi. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
April mengerutkan kening. ‘Oke? Gue ga salah dengar?’
Irgi bernapas dalam, kemudian terbitlah cengiran sumringahnya, disusul kedipan genit. “See you later, my boo!”
'Ada manfaatnya juga sobatan sama anak old money. Panggilan sayang gue jadi kreatif. Begitu bukan?'
“Hah?”
“Gue belum ngerjain pe-er, boo. Jam istirahat gue ke kelas lo. Bye!” tandas Irgi. Ia melepas cengkeramannya, lalu mulai melangkah.
“Aduh ketek gue.”
“Sakit!”
“Ketek gue!”
April yang sudah sebegitu murkanya ujung-ujungnya terkekeh juga melihat tingkah absurd Irgi.
“WOY MAT!” pekik Irgi pada sang ketua kelas di langkah kelimanya. Tak lagi tahan dengan nyeri di ketiaknya.
Rahmat hanya mendelik malas-malasan.
“GEMBLOK GUE, BURUAN.”
“RI, IRGI MINTA GEMBLOK!”
Ari tak menyahut, hanya mengangkat sapu di tangan kanannya.
“ARI LAGI NYAPU,” seru Rahmat kemudian, kembali pada Irgi.
“GUE MINTA LO, NYET!” balas Irgi. “Aduuuh,” rintihnya kemudian.
“Berisik!” omel April, pelaku pencubitan.
“Eh My Boo, udah kangen lagi aja!”
“Irgi ….”
“Apa Sayang?”
“Irgi ih!”
“Gitu aja ngambek!”
“Diam bentar.”
“Dibilangin gue belum ngerjain pe-er, Pril.”
“Bentar.”
April memasang busa lapis beberapa gulungan di bagian atas kedua tongkat Irgi.
“Itu apaan, boo?”
April mendengkus. Sepertinya percuma melarang-larang Irgi.
“Busa lapis.”
Jeda, Irgi memerhatikan apa yang dilakukan April pada tongkatnya.
“Dapat busa dari mana?”
“Ruang OSIS. Nih coba, better ga?”
Irgi menerima tongkat itu, memakainya, mencoba melangkah.
“Hmm. Better. Thanks, boo.”
“Sama-sama. Gih sana kerjain pe-er lo, jangan kayak Tarzan lagi, berisik!”
Irgi hanya terkekeh, lalu mengangguk. Tak lagi banyak bicara ia lanjut berjalan, menuju kelasnya.
“Sawan lo?” tanya Ari yang pusing sendiri melihat Irgi mengerjakan pe-er sambil senyam-senyum ga jelas.
“Entar!”
Ari diam saja. Ia duduk di kursinya, di samping kiri Irgi. Kalau teman-temannya yang lain sibuk ngerubutin buku pe-ernya Ari alias nyontek, Irgi mah kalem aja ngerjain sendiri. Lima menit sebelum bel berbunyi Irgi berhasil menyelesaikan tugasnya.
“Ri?”
“Apaan?”
“Ketek sakit membawa berkah.”
“Hah?”
“Tongkat gue dimodif sama My Boo.”
“My Boo?”
“Yongkru!”
“Diterima lo?”
“Diterima ga diterima pokoknya dia My Boo.”
Ari geleng-geleng.
“Dia aja tau nama panjang gue, Ri,” lanjut Irgi.
“Terus?”
“Ya berarti kan dia perhatian sama gue.”
“Pastiin dulu, Gi. Jangan-jangan dia udah punya cowok.”
“Tinggal gue tikung!”
“Yakin lo?”
“Yakinlah. Selama bendera kuning belum berkibar ga masalah.”
“Si bego! Janur kuning!”
“Bendera kuning kalau gue! Coba aja dia sama cowok lain, gue ganggu!”
“Ngeri lo Gi!”
“Yongkru! Ngejarnya berdarah-darah masa mau gue lepas?”
“Good luck, brother.”
“Thank you, dude!”
Semua siswa berbaris rapih saat bel berbunyi, kecuali Irgi. Irgi sebenarnya tak pernah paham mengapa di usia mereka, baris-berbaris seperti itu masih juga dilakukan. Ujung-ujungnya pun bukan barisan terapih yang diijinkan masuk ke kelas lebih dulu. Namun, siswa atau siswi yang penampilannya paling apik. Siapa gerangan, tentu saja selalu Ari.
“BERSIAP!” pekik Rahmat begitu semua siswa dan siswi duduk di kursi masing-masing.
“SIAP!” sambut yang lain.
“BERDOA DIMULAI!”
Untuk beberapa saat, kelas itu terasa hening.
“BERI SALAM!” pekik Rahmat lagi.
“SELAMAT PAGI, BU!”
“Pagi,” ujar Arum, guru mata pelajaran Biologi mereka. “Irgi, sudah sembuh?”
“Belum, Bu.”
“Kenapa masuk?”
“Bosan, Bu,” jawabnya asal. Teman-temannya hanya tekekeh atau menggeleng.
“Lain kali hati-hati, Nak.”
Irgi mencengir lebar. “Makasih, Bu.”
Arum membagi setumpuk kertas kosong di setiap baris. Suara keluhan para penghuni kelas itupun terdengar memelas.
“Apaan lagi ini Bu?”
“Yah Ibu. Baru juga seminggu masuk, Bu.”
“Bener feeling ogut, harusnya ogut cabut hari ini!”
“Beno …” tegur Arum saat kata cabut menyapa telinganya.
“Ibu sih, senang banget ngasih ujian. Tuhan aja ga gitu-gitu amat, Bu,” keluh Beno lagi.
Seantero kelas tergelak kompak.
Namun, selama dua jam pelajaran Biologi hari itu, tak ada yang bisa mengelak dari quiz dadakan tersebut. Semua pasrah, mau tak mau mengikuti permainan Arum.
Tiga jam pelajaran usai sudah, bel tanda istirahat pun berbunyi. Irgi mengeluarkan bekalnya, tentu saja dua porsi, satu untuk Ari.
Ari bernama lengkap Muhammad Ari Radhiansyah. Ia asli Bandung, kedua orang tuanya mengelola rumah sakit yang sudah turun temurun. Berhubung Ari mengincar Fakultas Kedokteran di Salemba, jadilah dia merantau ke Jakarta sejak kelas satu SMA, ngekos. Irgi pun tak habis pikir, bisa-bisanya Ari yang nama lengkapnya tertera di kartu keluarga salah satu old money negeri ini memilih ngekos daripada beli rumah sendiri. Padahal kan beli rumah ga akan bikin rugi. Makanya Irgi suka bercandain Ari, “lo bukan dibuang sama bonyok lo kan? Soalnya, Papa ga mungkin ngadopsi lo, Ri. Anaknya udah banyak!” Gendeng banget emang.
Begitu bekal mereka habis, Ari dan Irgi sama-sama keluar kelas. Ari jadi penyimak pergosipan cewek-cewek yang pasti happy kalau Ari gabung di kerumunan mereka, sementara Irgi pelan-pelan melangkah ke kelas sebelah. Salah satu bedanya Ari dan Irgi lagi. Irgi itu memang tengil, tapi dia ga suka kumpul sama cewek. Bukan anti, ga nyaman aja bawaan dia. Kalau Ari, cenderung ke mana aja bisa, ngumpul sama cowok asik, ngumpul sama cewek dia jadi pendengar yang terbaik, tipe-tipe kesayangannya para cewek. Kalau Irgi mah udah pasti dilepeh, bawelan dia dari ratu gosip.
Begitu masuk ke kelas 2 A2-2, Irgi celingak-celinguk, mencari keberadaan April. Sayangnya, April tak ada di sana.
“Ngapain, Gi?” tanya Lele, yang duduk di bangku samping pintu.
“Le, kenapa nama lo Lele? Lo suka matil orang?”
“Ini orang dateng-dateng ngajak ribut!”
“Dih, gue nanya sih.”
“Lo ngapain ke sini?” ulang Lele.
“Nyari April.”
“Jalan sama Kak Adit.”
“Adit? Ketua OSIS?”
Lele mengangguk.
“Ada urusan apa?” tanya Irgi lagi.
“Mana gue tau. Emang gue emaknya nanya-nanya?”
“Gue juga tau lo bukan emaknya April, Le! Maksud gue ….”
“Ga tau gue, Gi. Lo tanya aja sama April ada hubungan apa dia sama Adit. Dari dia masuk sini, tiap pulang sekolah, gue lihat dia sama Adit.”
Irgi terdiam. Wajahnya menoleh ke sisi kanan, berharap April segera muncul. Apapun yang Lele katakan selanjutnya tak lagi menyapa pendengaran Irgi. ‘Gue kenapa ya? Kenapa ini cewek bikin penasaran banget?’ Sayangnya, tepat saat bel usai istirahat berbunyi, April baru muncul, seorang diri.
April berusaha bersikap tak acuh, berpura-pura jika antara dirinya dan Irgi tak ada urusan apapun. April melewati Irgi begitu saja. Irgi yang kesal melepaskan kedua tongkatnya, melompat-lompat dengan satu kaki lalu meraih tangan April. Sontak kelas itu menjadi sunyi, tak ada yang berani berkomentar. Seorang teman mereka yang dikenal selalu cerita, usil, dan konyol, tiba-tiba berwajah berang.
“Gue bilang gue ke sini pas istirahat,” ujar Irgi, pelan sekali. Hanya dirinya sendiri dan April yang mendengar.
April diam saja, membuang muka.
“Kalau lo ga mau ketemu gue, lo punya mulut kan? Tinggal bilang ga bisa. Lo bisu?”
“Irgi!”
“Lo ga lihat kondisi gue? Lo pikir gue bercanda? Apa perlu juga gue kasih tau kalau gue maksain masuk sekolah cuma karena gue kangen sama lo?” Irgi terkekeh sinis. “Kayaknya juga lo ga peduli. Kalau lo peduli pasti lo nanya nomer telpon rumah gue. Ada 40 anak di kelas 2 A2-1 yang bisa lo tanya. Yang lo pikirin cuma rasa malu lo sendiri kan?”
April pias. Entah kenapa kata-kata Irgi terasa meremukkannya.
“Irgi? Ngapain di sini?”
Irgi menoleh, mendapati Syaiful, guru Bahasa Indonesia mereka yang baru saja melangkah masuk ke kelas itu. Pria itu memungut tongkat Irgi, menyerahkannya pada sang siswa.
“Terima kasih, Pak.”
“Kembali ke kelasmu!” ujar Syaiful. “April, duduk!”
Irgi mengangguk sopan, dengan tertatih ia kembali ke kelasnya. Bahkan teman-teman satu kelasnya pun turut merasakan ada yang tak beres dengan kawan mereka itu.
“Irgi?” tegur Musa, guru Bahasa Inggris mereka. “Dari mana?”
“Maaf saya terlambat, Pak. Agak susah jalannya. Dari kelas sebelah.”
“Perlu ke UKS?”
“Ngga, Pak.”
“Duduklah.”
“Terima kasih, Pak.”
Sepanjang satu jam pelajaran Irgi nampak tak fokus. Meski ia tak melakukan hal aneh, auranya yang tak biasa tetap saja membuat Ari terpengaruh. Saat peralihan ke jam pelajaran berikutnya, Ari tak tahan lagi.
“Gi?”
Irgi yang tau jika ia akan ditanyai, merebahkan kepalanya di atas meja dengan dikungkungi lengan-lengannya sendiri. Ari mendengkus, namun tak melanjutkan introgasinya. Ia paham jika Irgi butuh space untuk mengelola emosinya, apapun penyebabnya.
Tepat pukul dua-belas siang bel panjang berbunyi, menandakan berakhirnya jam sekolah hari itu.
“Ri?”
“Apa?”
“Pinjam catatan lo,” pinta Irgi.
Irgi memang sudah bilang jika ia perlu menyalin catatan Ari berhubung sejak hari Sabtu lalu ia beristirahat di rumah.
“Yuk,” ujar Ari.
“Yuk apa?”
“Gue nginep di rumah lo,” jawab Ari.
“Lah, tumben?”
“Ga boleh?”
“Bolehlah. Balik dulu ke kosan lo?”
“Ga usah kali ya? Lo ada seragam lebih kan?”
“Ada. Sempack lebih aja gue ada.”
“Oh iya gue lupa soal itu.”
“Tenang, yang belum gue sentuh pun ada. Ayoklah, keburu makanan di rumah dihabisin Dirga.”
“Kok bisa?”
“Bisalah! Dia kalau makan perutnya empat!”
Ari tergelak. “Yok!”
“Gemblok, Ri.”
Ari mendengkus, namun ia tetap memindahkan ransel ke dadanya, kemudian merendahkan posisinya di hadapan Irgi. Irgi naik ke punggung Ari, Ari menegakkan punggung kembali dan menyerahkan kedua tongkat untuk Irgi genggam. Begitu siap, barulah keduanya meninggalkan kelas.
Di depan kelas 2 A2-2, April berdiri di samping pintu. Ia sendiri bingung kenapa ia justru menunggu Irgi lewat. Bukankah di antara mereka tak ada urusan apapun? Bukankah ia tak perlu terbawa perasaan soal ucapan Irgi pagi tadi? Bukankah seharusnya ia tak perlu pusing akan kesinisan Irgi saat usai istirahat tadi? Irgi yang melihat April pun melengos, membuang muka ke arah berlawanan, enggan bertegur sapa.
Saat keduanya berada tepat di depan April, Ari melempar selembar kertas yang sudah dilintingnya ke kaki April. April meraih kertas itu, membukanya.
Irgi: 8454XXX
Telponnya di atas jam 8.