Sepertinya belum begitu jauh Suzuki Crystal – yang dinamai Biru sama sang pemilik – melaju meninggalkan lingkungan sekolah. Atau perasaan Irgi saja? Itu lebih mungkin sih, soalnya tau-tau Ari memberhentikan motornya di depan sebuah toko. Toko itu tak hanya menjual sembako, tapi juga beraneka ragam jajanan.
Irgi diam saja saat Ari turun dari motor, tak berkomentar apapun, hatinya masih tak nyaman akibat berseteru dengan April tadi. Beberapa menit kemudian Ari kembali, menenteng kresek di tangan kanannya.
“Lo belanja?”
Ari membuka plastik itu, membiarkan Irgi melongok ke dalamnya. Sudah dapat dipastikan, jatah preman untuk ketiga adik Irgi.
“Anak Mas yang rasa keju ga ada?” tanya Irgi.
“Belepotanlah, oren-oren semua!”
“Oh. Padahal Nisa doyannya yang keju. Ya su ….”
Itu kresek digeletakin begitu saja sama Ari di atas jok motor. Ia berbalik tiba-tiba, masuk lagi ke toko. Irgi menahan tawa, mau ngecengin tapi takut sobatnya itu ngambek, lebih parah lagi kalau sampai ga boleh ikutan ngemil.
“Abis Gi, tinggal tiga ini,” ujar Ari seraya memasukkan tiga bungkus camilan mie kering berbumbu ke dalam kresek. Irgi ngangguk aja, ga niat berkomentar.
Si Biru melaju lagi. Asli deh ... belum lama, baru juga sekali belok, Ari udah ngerem lagi.
“BANG!” pekiknya.
Abang-abang tukang es kue sontak menoleh. Ari melambaikan tangannya, meminta sang penjual mundur beberapa langkah.
“Masih ada kan?”
“Banyak,” ujar si Abang seraya mengangkat tutup termos kotaknya. “Mau berapa?”
“Mmm … lima belas deh.”
“Hah?”
“Lima belas, Bang!” ujar Irgi. “Kasih aja, ada kok duitnya. Tenang!”
Si abang es kue malah ngelirik ke motornya Ari, habis itu mencengir dan menyiapkan orderan anak orang kaya yang sedang kepingin ngebekuin diri. Setelah transaksi selesai, termos ditutup, Ari pun menjalankan si Biru lagi.
“Bakso, Gi. Mau lo?”
“Jangan bakso. Nanti aja di rumahnya Mak Endut. Ada kerupuk mie pakai bumbu kacang.”
“Masih ada emang jam segini?”
“Adalah kalau buat gue.”
Dan betul sekali, asalkan buat Irgi dan keluarga Anggara, pedagang sarapan yang sudah berusia senja itu pasti dengan senang hati menyiapkan pesanan mereka. Pakai tambahan asinan buah gratis pulak.
Semua orang di wilayah itu tau betul rumahnya Pak Dokter alias kediaman Anggara sekeluarga. Bangunan tinggal itu memang cukup mudah dikenali. Bisa dibilang, terunik di lingkungan tersebut. Dibangun di atas tanah seluas 200-meter persegi, rumah itu dilindungi pagar kayu setinggi satu setengah meter di bagian depan. Fasadnya bergaya bohemian atau bisa dibilang campuran gaya klasik, rustic dan vintage. Yang pasti, rumah itu memiliki banyak ventilasi dan sejuk.
Begitu pagar terbuka, halaman muka yang dialasi batu-batu alam langsung menyapa. Irgi menutup pagar kembali, sementara Ari memarkir motornya. Di samping carport terdapat sebuah taman mungil, wall garden, juga barisan hanging flower yang memberi kesan hijau dan asri.
Ari pun mengucapkan salam, lalu mendorong pintu utama bergaya tradisional di hadapannya.
“MashaaAllah. Kamu ngeborong di mana, Nak?” tanya Anggita, ibu Irgi, saat melihat ketengan yang dibawa Ari. Ari tak berkomentar, hanya memberi cengiran. “Nisa, ada A’ Ari nih. Bawa jajanan banyak banget, beresin dulu, Nak.”
“Kalap A?” ledek Nisa seraya terkekeh, lesung pipinya nyaris membuat jantung Ari berhenti berdetak. Apalagi pas Nisa mengambil alih semua bawaan Ari itu, pakai acara ga sengaja nyentuh tangannya Ari, wah kalau ga ada orang udah koprol si Ari. “Kebiasaan ih diajak ngomong diam mulu!” omel Nisa kemudian.
“Hai Nis,” sapa Ari akhirnya. Segitu doang.
“Hay Nyyys,” ledek Irgi, bibirnya sampai manyun-manyun.
“Apa lo?” sulut Nisa. Irgi hanya merespon dengan berdecak. “Makasih ya A,” ujarnya kemudian pada Ari.
Irgi ngedeprok aja di atas lantai. Mau lanjut ke sofa, rasanya sudah ga kuat. Sedangkan Ari, sudah diarahkan pemilik rumah ke dapur untuk makan siang. Tentu saja didampingi sang gebetan.
“Nis, ambilin gue minum!”
“Abang ….” Peringatan sang Ibu pun terdengar.
“Deeek … tolong ambilin Abang minum,” ulang Irgi.
Beberapa saat kemudian, yang datang bukan Nisa, tapi Hana. Si bungsu yang masih berumur tujuh tahun. Bocah itu berjalan sambil nempelin gelas Irgi di bibirnya, diminum sedikit demi sedikit.
Irgi hanya berdecak melihat kondisi air minumnya yang tak lagi jernih, kini keruh dengan sisa kunyahan nasi yang mengambang.
“Ada ikannya tuh,” ujar Irgi.
“Itu nasi, Abang.”
“Masa Abang minum ada nasinya?”
“Ga apa-apa.”
Irgi menghempaskan napas keras, namun tak tega juga mau menyuruh sang adik mengambil air yang baru. Akhirnya, air itu Irgi tenggak juga, diiringi kekehan Anggita yang masih sibuk dengan setrikaannya.
“Lagi minumnya?” tanya Hana begitu Irgi menyerahkan gelas kosong itu. Irgi mengangguk, Hana pun kembali ke dapur. Tak lama, segelas air kendi kembali disodorkan lagi oleh Hana, kali ini tanpa ‘ikan’.
“Terima kasih.”
“Sama-sama. Kaki Abang masih sakit?”
“Masih.”
“Mau bobo?”
“Ngga. Abang lapar.”
“Adek ambilin?”
“Bisa ga?”
“Bisa.”
“Oke. Tolong ambilin makan buat Abang ya?”
Gadis kecil itu hanya mengangguk, kembali ke dapur. Ujung-ujungnya meminta Nisa mengambilkan makan siang untuk Irgi.
Kericuhan itu tak hanya sampai di situ. Ternyata, hari itu pun jatahnya Dirga yang membawa tiga orang sahabatnya untuk makan siang di rumahnya. Keempat bocah itu berbaris, menyalam Irgi satu persatu. Dirga lebih dulu, disambung Eric yang paling putih, lanjut Borne yang paling keling, dan Ian yang paling bule.
‘Berasa tua banget gue?’
“Itu yang lo maksud Dirga kalau makan perutnya empat?” tanya Ari seraya duduk di samping Irgi yang kini sudah berpindah ke sofa.
“Yongkru!”
“Abis itu mereka main layangan lagi?”
“Ngga. Palingan bergelimpangan di lantai sampai ashar. Kaosnya diangkat, perut ditempel di lantai.”
“Pasti lo yang ngajarin?”
“Yongkru!”
“Nanti ashar pada bubar, pulang ke rumah masing-masing, mandi. Abis mandi pada ke sini lagi, udah pada bedakan.”
Ari sampai nyemburin air yang lagi diminumnya. Terbatuk-batuk sambil ngekek.
“Kalau itu bukan gue yang ngajarin. Mama noh, si Dirga dibedakin mulu, kan jadi ditiru. Mana cemong lagi, mending kalau rapih.”
Ari dan Anggita kesulitan sendiri berhenti ketawa, sementara Irgi kayak ga ada dosa, asik aja makan dengan lahapnya.
Begitu Irgi selesai makan, kedua remaja menjelang tujuh belas tahun itu masuk ke kamar. Mereka shalat berjamaah, membuka baju, mengganti celana sekolah dengan celana pendek, lalu merebahkan diri di atas tikar bambu, tertidur lelap hingga Anggita membangunkan keduanya saat adzan ashar berkumandang.
Meski mereka hidup berkecukupan, Anggara dan Anggita mendidik anak-anaknya dengan sangat baik. Rumah sebesar itu tak membuat Anggita memerlukan asisten rumah tangga. Anak-anaknya paham tugas mereka masing-masing. Bahkan Dirga saja bisa mengecat begitu rapi jikalau aksi vandalisme terjadi di pagar rumah mereka. Hana pun tak pernah lupa kewajibannya menyirami seluruh tanaman setiap sore hari.
Tak hanya soal tanggung jawab di rumah, aturan lainnya pun tak lagi menjadi beban keempat anak itu. Mereka tidak bisa berangkat sekolah sebelum menyelesaikan sepuluh soal latihan yang dibuat Anggita atau Anggara. Jika pergi bermain harus bilang pada orang tua dan pulang paling lama sebelum magrib. Bagi laki-laki, wajib shalat magrib di masjid, lalu lanjut mengaji dan pulang selepas shalat isya, sementara bagi anak perempuan juga berlaku hal yang sama namun dilaksanakan di rumah. Pukul delapan malam mereka harus mulai belajar. Dan jam sembilan malam, lampu kamar mereka harus sudah padam.
Irgi baru saja selesai menyalin catatan Ari saat Anggara mengetuk lalu membuka pintu kamarnya.
“Masih belajar Bang?” tanya sang ayah.
“Udah, Pa. Habis nyalin catatan Ari. Kenapa?”
“Nih,” ujar Anggara kemudian seraya menyodorkan gagang telpon.
“Buat Abang?”
“Iya.”
“Siapa Pa?”
“Tanya aja langsung.”
Irgi mengerutkan kening, sementara Anggara mengajak Ari berbincang di ruang tengah.
“Halo?”
“Irgi ….”
“April?”
“Iya.”
“Oh. Ada apa?”
“Mmm … ga apa-apa sih. Mama nyuruh beli gula sama telur, mampir sebentar nelpon lo.”
“Lo di telpon umum?”
“Iya.”
“Pulang gih! Udah malam, Pril.”
“Iya.”
“Ya udah, gue tutup ya?”
“Tunggu!”
“Kenapa?”
“Mmm … sorry soal yang tadi.”
“Soal apa?”
“Gue ga ngambil hati omongan lo soal mau ke kelas pas istirahat.”
“Oh.”
“Lo marah banget ya pasti?”
“Udah ngga kok. Santai aja, Pril.”
“Ga manggil gue beau lagi?”
“Lo ga masalah kalau gue adu bogem sama Adit?”
“Hah?”
“Udahlah, lo pulang sana.”
“Lo ga lagi cembokur kan?”
“Apa peduli lo?”
“Irgi ….”
“Gula sama telur lo ga ditungguin nyokap?”
“Lo bisa bahasa Prancis?” April mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ngga. Bahasa Inggris doang bisanya. Kenapa?”
“Lo tau dari mana panggilan beau?”
“Oh. Terinspirasi dari nyokapnya Ari. Beliau manggil bokapnya Ari: boo. Mungkin karena bokappnya suka gentayangan di pikiran nyokapnya Ari.”
Meledaklah tawa April.
“Kok lo ketawa?”
“Gue udah ngira pasti pengertian lo ke sana.”
“Lah emang apa? Boo itu kan buat nakut-nakutin orang kan? Kinda menghantui. Ya anggap aja gentayangan.”
April makin sakit perut.
“Kok lo happy banget sih?”
“Irgi … bukan itu.”
“Apa yang bukan itu?”
“Bokap atau nyokapnya Ari ada yang bisa bahasa Prancis?”
“Oh, Bokapnya kan lulusan sana. Kenapa gitu?”
“Pantas.”
“Kok pantas?”
“Yang dimaksud nyokapnya Ari bukan boo dengan spelling b-o-o, Gi.”
“Terus?”
“Beau. B-e-a-u. Artinya: tampan.”
“Masa? Sok tau lo! Lagian pronunciation-nya sama aja. Tapi emang nyokapnya Ari cantik banget sih.”
April ngakak lagi.
“Dih cakep-cakep sok tau lo!”
“Serius, Gi.”
“Ah ga percaya gue.”
“Coba gih tanya Ari.”
“Beneran ya? Gue tanya sama Ari entar. Mumpung dia lagi nginap di sini. Tapi kok lo tau?”
“Gue pindahan dari sana.”
“Sana? Prancis?”
“Iya. Ayah kerja di kantor kedutaan.”
“Bokap lo duta besar?”
“Ngga. Staf pribadi. Berhubung dubesnya ganti, Ayah ikut pulang.”
“Oh gitu?”
“Iya. See, lo juga banyak ga taunya tentang gue. Ayah juga suka manggil Firhan: Beau. Gue pikir lo ngomongin kata yang sama, cuma agak bingung aja kok lo merujuk ke gue, emangnya gue tomboy banget?”
“My boo.”
“Gih tanya Ari kalau ga percaya,” kekeh April.
“Ga usah. Gue tetap manggil lo my boo.”
“Lo tuh ya, udah dibilang salah masih aja ngeyel!”
“Lagian lo emang suka nakut-nakutin gue.”
“Nakutin apa?”
“Takut lo ga suka sama gue.”
“Maksud lo … gue suka sama lo?”
“Lo ga akan nelpon gue kalau lo ga suka sama gue, Pril. Ngomongin hal-hal ga penting kayak gini.”
“Ya udah gue tutup.”
“Gitu aja ngambek!”
“Lo tuh ngeselin tau ngga!”
“Tau.”
“Bangga?”
“Bangga dong. Kan itu yang bikin lo ingat gue.”
“Udah ah. Malas, ngomongnya jadi kemana-mana.”
“Tunggu!”
“Koin gue udah abis, Gi.”
“Satu pertanyaan.”
“Apa?”
“Lo pacaran sama Adit?”
‘Tut tut tut!’
“Halo? Pril? Halo? Boo? Halo? Woy! Yah, putus! Argh! Ga bisa tidur dah gue! Ampun, bego banget sih gue bukannya nanya nomer dia balik!”