BAB 7Wajah Ines memucat ketika Arlan mendekat. Bahkan wajah mereka nyaris tak berjarak. Hembusan napas Arlan yang mulai memburu dipenuhi birahi menghembus menyapu wajahnya. Ines sekuat tenaga mendorongnya agar suaminya itu menjauh.
“Mas, aku masih halangan! Jangan sentuh aku!” Ines berkilah. Padahal baru saja dia bersuci.
“Oh, gitu! Biar aku periksa sendiri!” bisik Arlan seraya menyentuh hujung handuknya yang menjuntai. Namun Ines menepis tangan itu kasar. Sudah tak peduli lagi tentang dosa, tentang laknat malaikat ketika menolak keinginan sang suami. Otak Ines sudah dipenuhi kebencian pada sosok yang kini mengkungkungnya itu.
“Kamu itu harus nurut. Aku ini suamimu, Sayang!” tekan Arlan.
“Iya aku akan nurut tapi pada suami yang seperti apa dulu? Bahkan kamu tak menghargaiku sebagai istrimu!” pekik Ines. Kedua tangannya sekuat tenaga mendorong d**a Arlan. Namun lelaki itu malah menangkapnya. Lalu tanpa Ines sangka, Arlan membopong tubuhnya dan membawanya ke atas tempat tidur.
“Lepasin, Mas! Lepasin!” teriak Ines seraya meronta. Namun sayang, gerakannya semakin memacu adrenalin Arlan. Kelelakiannya semakin merasa tertantang.
Teriakan Ines berhenti, berubah menjadi gumaman tak jelas ketika jarak bibir mereka terpangkas. Air mata Ines mengalir ketika satu tangan Arlan mulai hendak melepas ikatan handuknya. Dia memejamkan seraya meminta kekuatan pada Allah yang bahkan memang mewajibkannya untuk memberikan pelayanan pada suaminya.
“Aku tak peduli lagi tentang dosa! Aku tak mau dia menyentuhku, Ya Rabb! Tolong aku! Tolong beri aku kekuatan untuk melawannya!” Ines menangis ketika bibir dan tangan Arlan mulai bergerilya pada tempat lainnya. Kegiatan itu embuat posisi Arlan sedikit berubah dan memberikan Ines celah untuk melawan.
Sekuat tenaga Ines menghentakkan lututnya dan tepat mengenai alat vital suaminya.
“Awwww!” Arlan menjerit kencang. Ines mendorong tubuh suaminya sehingga terguling ke samping. Dia membetulkan handuk lalu berlari mengambil pakaian gantinya yang terserak di lantai lalu berlari ke luar.
Ines tak peduli ada yang melihatnya. Dia masuk ke kamar tamu yang bersebelahan dengan yang ditempatinya bersama Arlan, lalu menguncinya dari dalam. Kebetulan kamar itu memang kuncinya selalu tergantung di sana.
Seminggu di rumah itu, membuat Ines paham tata letak semuanya, karena dia yang membersihkan semuanya sendiri.
Ines duduk di tepi ranjang dengan gemetar. Napasnya memburu antara takut, rasa jijik dan takut dosa. Dalam hati kecilnya mengakui jika ini salah. Namun, dia tak mau menyerahkan begitu saja sesuatu yang sudah lama dia jaga pada lelaki yang tak jelas seperti Arlan. Sikap baik dan lembutnya rupanya hanya kamuflase. Dia menyimpan berbagai misteri termasuk perempuan yang belum diketahui statusnya itu.
Setelah sedikit tenang, Ines begegas mengganti pakaian. Setelah itu, dia merebahkan tubuh dan bergelung dibalik selimut. Kedua tangannya masih gemetar. Ines berdzikir meredam rasa takut yang menjalar. Berharap lelap menjemputnya. Dia belum bisa berpikir jernih sekarang. Kini yang dia bisa, hanya menunggu esok dan meminta Ibu mertuanya untuk menjelaskan tentang tabir yang mereka simpan. Setelah itu, Ines baru akan mengambil keputusan.
“Ya Allah ampuni aku. Benarkah malam ini aku jadi perempuan yang dilaknat karena menolak ajakan suami?” air mata Ines meleleh. Rasa takut berdosa dalam hatinya tetap ada. Namun logika dan perasaannya menolak.
“Ampuni aku Ya Allah karena menolak untuk melayani suamiku. Aku sudah bedosa untuk malam ini! Aku menolaknya, aku melalaikan kewajibanku. Maafkan aku ... aku hanya butuh kejelasan statusku sehingga bisa mengambil sikap untuk ke depannya!”
Ines bermonolog sendirian. Tiba-tiba memorinya berlarian pada Ibu yang kini sendirian di kampung halaman. Ibu yang mengharapkannya hidup bahagia dan ada yang menjaga sebelum nanti dia berpulang. Ibu yang menaruh harapan begitu besar pada Arlan. Ibu yang sudah salah menilai jika arti persahabatan bagi Retno---teman masalalunya sudah berubah.
“Aku tak boleh membiarkan Ibu tahu apa yang kualami di sini! Ibu cukup tahu jika aku sudah menikah, aku sudah bahagia dan aku baik-baik saja!”
Pikiran Ines terus berputar hingga akhirnya kantuk perlahan-lahan menyerang. Meski sulit tidur, akhirnya dia terlelap juga bersama sisa isak. Berharap esok matahari memberikan sinar harapan baru untuknya meniti hidup dan membawa ke mana langkah kaki akan berjalan.
Adzan shubuh berkumandang. Ines mengerjap. Kedua matanya sembab karena semalam menangis. Bergegas menuju kamar mandi yang ada di dapur. Membersihkan diri lalu kembali ke kamar tamu dan menunaikan dua rakaat kewajiban. Ines memohon ampunan, meminta ditunjukkan jalan dan apa yang harus dia ambil untuk pilihan masa depan.
Selesai mengerjakan salat. Ines kembali berbaring di atas tempat tidur. Membiarkan saja matahari meninggi tanpa mengerjakan apapun. Biasanya setelah salat dia akan mulai memegang pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci piring, mengepel semua lantai, membersihkan kaca, menyiapkan sarapan dan lainnya. Ibu mertuanya yang minta, katanya agar Ines tak bosan. Seminggu pertama kemarin, dia melakukannya dengan semangat. Namun tidak untuk hari ini, hati kecilnya menolak hingga semuanya menjadi jelas.
Menjelang pukul setengah tujuh pagi, pintu kamarnya diketuk. Ines yang kini tengah duduk memandang ke luar jendela, berdiri lalu menuju arah pintu dan membukanya. Tampak Mirna berdiri di sana.
“Pagi, Mbak!” Ines menyapa kakak iparnya itu dengan senyuman yang dipaksakan.
“Pagi, Nes! Kamu kesiangan, ya? Kok Mbak lihat dapur masih berantakan, terus sarapan juga belum ada! Mas Gugun mau kerja soalnya!” Mirna menatap adik iparnya itu yang tak menggunakan kerudung. Dia pun menebak adiknya dan Ines tengah bertengkar karena kejadian semalam. Karena itu ketika dia mencari Ines di kamar Arlan tak ada, sedangkan Arlan sendiri sudah pergi lagi tadi malam ke rumah Aniska.
“Maaf, Mbak! Aku ini menantu di sini, bukan pembantu. Aku masih menunggu penjelasan kalian tentang perempuan semalam! Aku memang miskin, Mbak! Namun aku gak mau kalau hanya dijadikan kesed di rumah ini. Aku hanya ingin tahu, statusku sekarang di sini apa?”
Ines menatap Mirna dengan tajam. Jiwanya yang dulu seringkali diam, terpuruk, sendirian kian hari bertumbuh menjadi pribadi yang tak terstruktur. Kadang emosinya meluap-luap tak stabil, kadang dia minder dan penyendiri, tetapi bisa juga melewati batas ketika sesak sudah tak tertahan, atau kadang bahagia yang dia pun tak mengerti apa penyebabnya. Namun itulah yang Ines alami. Karena itu Ibu sangat ingin dia segera menikah sehingga ada seseorang yang bisa membimbingnya.
“Ines, Sayang! Maafin Mama semalam ketiduran! Kamu di sini pastinya menantu, dong!” Tanpa Ines sadari Retno---Ibu Mertuanya datang melenggang dengan wajah segar. Tidur nyenyak tanpa merasa bersalah atas perlakuannya pada Ines yang terduduk menunggunya untuk meminta penjelasan.
“Kalau aku menantu, lalu siapa perempuan itu, Ma?” Ines seolah mendapatkan angin segar. Dia langsung menembak pada inti permasalahan.
Retno melirik Mirna dan mengisyaratkan agar Mirna menggiring Ines ke ruang keluarga. Ines mengikuti ajakan Mirna karena sudah menunggu sejak malam semua penjelasan itu.
“Mama minta maaf, belum menceritakan tentang Aniska padamu, Nes! Aniska itu istrinya Arlan!” Sontak Ines yang tengah menunduk mendongakkan kepala. Kedua matanya menatap manik hitam itu mencari kebenaran.
“Istrinya Mas Arlan? Kapan mereka menikah, Ma? Bukankah ketika Mas Arlan menikahiku status di KTP-nya masih lajang? Atau kalian memang membohongiku dari awal?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Rupanya perempuan itu istri dari suaminya.