BAB 6

890 Kata
BAB 6Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan. Mobil itu berhenti di depan garasi yang masih tertutup. Ibu mertua dan dan para kakak iparnya turun. Mereka tampak saling melirik. Ines sudah bersiap untuk menyerang jika sumpah serapah serta makian dia dapatkan. Namun salah dugaan Ines, Retno menghampiri dan memeluknya. “Maafin Ibu, Nes! Maafin Ibu! Tadi itu, Ibu hanya tak punya pilihan,” bisiknya. Mirna dan Erna pun turut menepuk lembut bahunya yang sedang dalam pelukan Retno. Sementara itu, Gugun dan Erda---suami Mirna dan Erna langsung membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Ines mematung, padahal dia sudah bersiap membela diri ketika ibu mertua dan para kakak iparnya menyerang. Namun semua dugaannya salah. Mereka malah begitu lembut dan baik memperlakukannya. “Ayo ke dalam, Bu, Nes! Kita istirahat!” seru Erna seraya melangkah lebih dulu. “Iya, Nes! Nanti kita bicarakan kalau semua sudah tenang!” tambah Mirna seraya mengikuti langkah Erna menjauh dari Ines yang masih berpelukan dengan Retno---sang ibu. “Ayo, Ines! Sudah malam gak baik kita berlama-lama di luar! Maafin tadi ibu, ya! Ibu bener-bener gak punya pilihan! Nanti Ibu jelaskan siapa perempuan tadi! Kami berhutang pada keluarga Aniska, Nes!” tukas Ibu seraya menarik lengan Ines. “Baik, Bu! Aku tunggu penjelasannya! Tapi aku gak mau besok, aku mau … ibu menjelaskannya sekarang!” tukas Ines seraya membuang napas kasar. Dirinya mencoba meredam emosi yang sejak tadi sudah meletup-letup. Namun melihat tatap lembut dari Ibu mertuanya, Ines mencoba menunggu semuanya terbuka. Setelah itu, dia bisa menimbang seperti apa langkah seterusnya yang harus dia lakukan. “Baik, Ibu akan ceritakan semuanya padamu! Kita masuk dulu, yuk!” tuturnya lembut. Dia menggiring Ines untuk segera masuk. Ines pun mengikuti langkah Ibu mertuanya hingga tiba di ruang tengah, Retno menoleh padanya. “Kamu tunggu ibu saja di sini, ya! Ibu mau bersih-bersih dan ganti baju dulu, ya!” tukasnya seraya tersenyum lembut. Mau tak mau, Ines mengangguk. Lalu dia memilih duduk di sofa seraya menyandarkan tubuhnya. Kedua kakak iparnya sudah menaiki tangga sejak tadi dan masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Kini Retno pun menuju ke kamarnya yang ada di lantai atas. Ines duduk di ruang tengah seraya tepekur. Menunggu Retno---ibu mertuanya yang tadi berjanji akan menceritakan semuanya datang kembali. Namun dua puluh menit sudah berlalu, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Ines menjadi geram, dia berjalan mengikuti uliran tangga dan mendekati kamar ibu mertuanya.Tak sopan sebetulnya, tetapi rasa penasaran dan kesal kembali berlarian. Ketukan bertalu pada daun pintu, tak lekas membuat pintu itu terbuka. Tak ada lagi sahutan, hingga akhirnya Ines harus mengakhiri malam ini dengan kecewa. Akhirnya dia menuju kamarnya yang terletak di dekat tangga. Hanya dia yang tidur di kamar bawah, sedangkan ibu dan kakak mertuanya semua berada di lantai dua. Ines membersihkan diri, meskipun kamarnya di bawah tetapi tetap memiliki kamar mandi didalam. Mengguyur tubuhnya dengan air shower yang hangat. Pikirannya yang terlampau fokus sehingga membuatnya tak sadar, ketika dia membuka pintu kamar mandi dengan lilitan handuk di dadanya, Ines terlonjak keget karena Arlan sudah membaringkan tubuh di atas ranjang. “Astaghfirulloh, Mas!” pekik Ines seraya menutup bagian tubuh atasnya yang terbuka dengan kedua tangannya. Arlan yang kagetpun menoleh. Seminggu menikah dengan Ines bahkan baru kali ini melihatnya setengah telanjang. Sontak dia menelan saliva ketika melihat tetesan air yang berjatuhan dari rambut basah istrinya masuk ke sela-sela handuk yang membalut tubuhnya. “Kamu ngapain mandi malam-malam, sih?” Arlan membuang muka, tetapi tetap saja bayangan tubuh seksi Ines yang kini menarik selimut untuk menutup tubuh bagian atasnya berlarian. “Kamu pulang, Mas? Bukannya nginep di rumah perempuan simpanan kamu?” Ines menatap sinis pada Arlan. Dia bergegas meraih pakaiannya dari dalam lemari dan hendak melarikan diri kembali ke kamar mandi. Namun tanpa disangka, Arlan menarik selimut yang menutup bagian atas tubuhnya hingga langkahnya terhenti. “Jaga bicaramu, Nes! Kamu gak tahu siapa dia? Jangan berani-beraninya merendahkan dia?!” Arlan menatap Ines. Kilat matanya bercampur baur antara nafsu dan amarah yang berbaur. “Mana aku tahu, Mas?! Apa kamu pernah ngasih tahu aku siapa dia?! Enggak ‘kan?!” Ines menepis tangan Arlan yang kini menyampir pada pundaknya dan mundur beberapa langkah. “Kamu gak perlu tahu apapun tentang dia, tapi sekali lagi kamu bicara merendahkan dia, aku tak akan segan-segan untuk,-” “Untuk apa, Mas? Bilang? Untuk apa? Kamu mau ceraikan aku? Ayo ceraikan, aku gak takut! Lebih baik aku menjadi janda, dari pada harus berbagi dengan perempuan rendahan seperti dia!” pekik Ines yang sudah menahan kesal sejak tadi. Bicaranya semakin tak terkendali membuat Arlan semakin murka. “Ines!” Arlan merangsek maju dan mengayunkan telapak tangan hendak menampar Ines, tetapi Ines menepisnya. Rasa kesal dan marahnya sudah berbaur. Sakit hatinya sudah menghujam hingga ke dalam. Namun sial, handuk yang dipakainya hampir terlepas. Ines terkejut lalu membetulkannya, memaksa sepasang mata Arlan mengikuti gerakan tubuhnya. Berulang kali dia menelan saliva hingga akhirnya dia merangsek dan mengkungkung tubuh sang istri yang sudah hampir tersandar pada tembok. “Apa kamu marah-marah seperti ini karena kita belum melakukan malam pertama? Apa kamu ingin melakukannya sekarang, Sayang?!” Arlan menyeringai. Otaknya sudah berlarian dengan fantasi liar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN