"Gan!"
Argan yang sedari tadi sibuk menggulirkan menu aplikasi ponsel tanpa berniat membuka, kini dikejutkan oleh seruan tiba-tiba dari Nino.
"Ada apa?!" tanya Argan dengan nada kesal setelah terkejut oleh Nino. "Jangan buat gue jantungan, ya!"
Nino hanya menyengir. Kemudian ia turun dari kasurnya dan melangkah mendekati Argan. "Kita berdua gak usah berhenti kuliah."
Argan mengerut dahinya bingung. "Maksud lo?"
Ia bingung karena mendadak Nino mengatakan hal yang tak masuk akal.
Namun ketika ia lihat, Nino malah tersenyum misterius memandangnya.
"Gue barusan di-chat sama senior gue. Katanya dia butuh bantuan kita, dan kalau kita berhasil menuhin permintaan dia, kita bakal dapat bayaran." Nino berucap antusias. Pemuda itu bahkan menunjukkan isi chat dari seniornya itu.
"Kita diminta ngapain?" Argan masih belum mengerti.
Nino kini memudarkan senyumnya. "Agak susah, sih. Tapi mending deh, daripada kita gak ada duit sama sekali." Ia menjeda sebelum melanjutkan. "Kita disuruh jadi perwakilan senior gue untuk mutusin ceweknya."
Argan terkesiap mendengar permintaan konyol itu. "Hah?" Ia terkekeh. "Mutusin hubungan sama ceweknya?"
Nino mengangguk lebih antusias. "Iya. Gimana menurut lo? Gampang, 'kan?"
Argan tampak berpikir kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menunduk, mengusap dagunya memikirkan hal itu. "Iya, bener juga. Lumayan deh kalau gitu doang dibayar," ucapnya mantap. Ia menatap Nino sembari menyambung kalimatnya, "Emang kita bakal dibayar berapa?" tanyanya lagi.
"Menurut lo kita bakal dibayar berapa?" tanya Nino berbalik menanyai Argan.
Argan mengernyit. "Seratus ... atau dua ratus ribu?" tebaknya dengan ragu.
Nino menggeleng kuat. "Salah," ucapnya dengan cepat. "Senior gue anaknya orang kaya baju-bajunya aja selalu yang branded."
Argan mengerut dahi dalam. "Terus?"
Nino menyeringai lebar sebelum menjawab pertanyaan Argan, dan langsung membuat pemuda itu sangat terkejut.
"Satu juta."
"Hah? Satu juta?! Cuma untuk mutusin hubungan doang?!"
***
Argan dan Nino sampai ke alamat tempat yang telah ditentukan oleh seniornya itu. Sebuah kafe di bilangan Bintaro. Kafe mewah bernuansa cozy. Mereka berdua bergegas mencari meja yang sebelumnya sudah direservasi oleh seniornya yang bernama Sandy itu.
"Ceweknya belum datang?" tanya Argan pada Nino dengan cara berbisik. Ia tidak ingin tampak mencurigakan.
Nino hanya mengedik bahunya tak tahu.
Mereka terus mencari sosok cewek yang sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Sandy. Berbaju biru muda, mengenakan rok jeans selutut, berambut hitam panjang bergelombang, mereka terus mencari sosok dengan ciri-ciri itu. Hingga akhirnya mereka menemukannya ketika berada di lantai dua. Cewek itu persis seperti yang disebutkan oleh Sandy.
Argan mengintruksikan Nino agar pemuda itu segera menemui cewek berbaju biru itu. Sedangkan ia menunggu di meja lain untuk mengawasi keadaan. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak ia duga. Jadi ia memutuskan untuk menduduki kursi yang hanya berjarak dua meter dari tempat Nino berada.
Nino segera tersenyum melihat cewek berbaju biru itu. Kemudian setelah mencoba merilekskan dirinya dan mengembuskan napas berulang kali, ia segera mendekati cewek itu.
Dengan langkah berat Nino melangkah hingga sampai di meja cewek itu.
"Hai," sapanya.
Cewek itu tampak mengerut bingung menatapnya. Namun tetap membalas sapaan Nino. "Iya? Siapa?" tanyanya.
Nino tanpa menunggu basa-basi lain, segera duduk di kursi di depan cewek itu. "Qonita, ya?" tanyanya memastikan agar tidak salah orang.
Cewek itu, Qonita, mengangguk. "Iya. Mas gak salah tempat duduk?" tanyanya bingung. Ia bingung melihat orang asing tiba-tiba duduk di kursi yang sengaja dipesan oleh pacarnya itu.
Nino menyeringai dalam sekejap. "Bisa kita bicara sebentar?"
Qonita mengerut dahinya lebar. "Mau bicara tentang apa?"
Nino melihat reaksi cewek di depannya itu dengan sangsi. Ia menunggu reaksi selanjutnya yang akan diberikan Qonita ketika Nino mulai menjelaskan maksud kedatangannya di sini.
"Gue ngewakilin Sandy di sini. Karena Sandy gak bisa dateng." Nino tersenyum sembari menjelaskan. Kemudian melihat bahwa Qonita tampak tak percaya dengan ucapannya.
Cewek itu tengah mencoba menghubungi Sandy, pacarnya itu. Namun setelah beberapa detik, Qonita sepertinya menyerah karena ponselnya tidak bisa dihubungi.
"Percuma lo hubungi Sandy, karena Sandy gak mau terima telepon dari lo lagi. Jadi daripada buang-buang waktu untuk menelepon pacar lo itu, lebih baik lo dengerin perkataan gue," jelas Nino dengan cepat.
Qonita kini mulai kesal dengan perkataan Nino. "Maksudnya apa? Sandy gak mau terima telepon dari gue?"
Nino menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Ketika ia mengalihkan tatapannya ke arah lain, tatapannya bertemu dengan Argan di meja sebelahnya. Argan menyuruhnya untuk segera menjelaskan maksud sebenarnya, lewat perkataan tanpa suara. Hal itu membuat Nino mengangguk dalam diam.
Ia kini mulai menatap Qonita kembali yang malah menatapnya dengan jengah. Pemuda itu menarik napasnya sebelum akhirnya membuka suaranya.
"Sandy pengen putus dari lo," ucapnya cepat.
Qonita yang mendengar hal itu hanya menatapnya bingung. "Hah?"
"Sandy nyuruh gue datang ke sini, sebagai perwakilannya untuk mutusin lo." Nino mengulangi kalimatnya dengan lebih lengkap.
Qonita kini mengerjap. "Sandy ... mutusin gue?" Ia bertanya dengan nada kesal. "Terus ... dia nyuruh lo buat gantiin dia mutusin gue? Apa itu masuk akal?"
Qonita hendak bangkit setelah tidak mempercayai perkataan Nino. Namun dengan cepat ia segera mencegah cewek itu.
"Tunggu!" serunya membuat Qonita menghentikan gerakannya tadi. Nino dengan cepat menyambung kalimatnya. "Lo harus tahu kalau Sandy memang mutusin lo. Gue cuma mau bilang gitu doang, dan urusan lo percaya atau enggak ... itu gue gak peduli."
Setelah mengucap itu, Nino hendak bangkit bergantian dengan tingkah yang tadi Qonita lakukan.
Qonita membelalak lebar. Ia gantian menarik tangan Nino. "Tunggu- tunggu!" serunya. Cewek itu mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia memejamkan matanya. Kemudian kali ini dengan pelan kembali bertanya pertanyaan yang sama pada Nino.
"Sandy ... mau mutusin gue?"
Nino kembali duduk dan dengan cepat mengangguk. "Iya. Dia nyuruh gue buat bilang gitu."
"Tapi kenapa? Dia kemarin masih baik-baik aja." Qonita tidak terima. Ia kesal, meskipun ia dan Sandy harus putus, seharusnya pemuda itu sendiri yang datang menemuinya untuk memutuskannya langsung. Atau setidaknya mereka dapat membicarakan semuanya baik-baik. Bukannya malah menyuruh orang lain untuk menggantikan dirinya, dan bahkan tidak berperasaan memutuskan hubungan mereka secara sepihak.
Nino kini mulai kebingungan mencari alasan. Ia melihat Qonita mulai berkaca-kaca, rasa iba mulai menghinggapinya. Tidak mungkin ia mengatakan alasan yang sebenarnya. Yaitu Sandy yang sudah memiliki pacar baru.
"Em ... dia bilang kalau dia mau lanjut kuliah di luar negeri," sahutnya asal. Setelah itu tersenyum canggung. Nino mengalihkan tatapannya untuk meminta bantuan pada Argan.
Namun bukannya membantunya, Argan malah ikut bingung di tempatnya.
Qonita tiba-tiba tertawa mendengar alasan yang diberikan Nino. "Kuliah di luar negeri? Sandy?" kekehnya. Kemudian ia makin keras tertawa. "Dia gak mungkin kuliah di luar negeri, dia bahkan gak pandai bahasa inggris atau bahasa asing lain."
Nino mengerjap. "Eh?"
Qonita kini marah. "Cepet lebih baik lo kasih tahu alasan yang sebenarnya!"
Nino kelabakan di tempatnya, bingung mengatakan alasan sebenarnya. Kemudian ia melihat ponselnya mengedip menandakan ada pesan masuk. Pesan dari Argan muncul di atas.
Argan : Bilang aja alasan yang sebenarnya! Jangan kelamaan!
Nino menatap Qonita dengan gugup. Ia belum pernah pacaran, jadi ia tidak tahu cara memutuskan hubungan itu yang seperti apa. Pada akhirnya ia terpaksa untuk mengatakan alasan sebenarnya yang dikatakan Sandy.
"Sandy bilang, kalau dia udah punya pacar baru." Nino berujar cepat sembari menutup matanya. Ia takut melihat ekspresi Qonita.
Namun beberapa detik ia memejam mata, Qonita belum mengatakan kalimat apapun, yang membuatnya penasaran. Nino kini membuka kelopak matanya.
"Dasar Sandy!"
Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Qonita. Setelah itu, cewek itu tersenyum dan menatap Nino di depannya dengan misterius.
"Oke kalau begitu."
Nino mengerut dahi bingung. "Eh?"
"Tapi lo bilang tadi kalau lo itu perwakilannya Sandy, 'kan?" Qonita masih tersenyum mengatakan kalimat itu.
Nino mengangguk dengan bingung dalam diam. Hal itu membuat Qonita makin melebarkan senyum. "Kalau begitu lo harus sampaikan ini ke dia."
Nino mengangguk lagi. "Boleh."
Sebelum pemuda itu sadar akan apa yang selanjutnya terjadi, Qonita sudah memajukan tubuhnya dan dalam sekali ayun, tangannya sudah melayang menuju wajah Nino. Cewek itu meninju pipi Nino dengan keras setelah itu menamparnya.
Hal itu membuat seisi kafe itu terkejut dengan apa yang terjadi pada Nino. Termasuk Argan. Ia sudah bangkit hendak menyelamatkan Nino, namun sekarang Qonita malah menyiram baju Argan dengan jus tomat.
Air jus tomat mengalir membasahi wajah dan seluruh bajunya. Argan tadinya ingin melindungi Nino, malah ia jadi ikut kena sasaran. Argan dengan cepat mengibaskan bajunya yang basah itu. Kemudian segera memberi tatapan protesnya.
Qonita terkejut menatap Argan. Kemudian ia tersenyum kesal saat tahu bahwa Argan datang bersama Nino.
"Jadi Sandy juga nyuruh lo?" Ia menunjuk Argan. "Dia berani bayar kalian berapa, sih?!"
"Mbak, santai dulu!" Nino yang merasakan pipinya masih berdenyut mencoba menenangkan Qonita.
"Kalau gitu lo juga harus sampaikan ini ke Sandy." Qonita tidak mendengar perkataan dari Nino dan kini malah melayangkan tinjunya yang lain ke pipi Argan. Pemuda itu langsung jatuh tersungkur ke lantai.
Nino membelalakkan matanya. "Argan!"
Bukan hanya Nino yang terkaget, Argan, bahkan seluruh pengunjung kafe itu ikut tercengang. Mereka memberi reaksi berbeda, ada yang menangkup mulutnya terkejut, ada yang sampai menggeleng prihatin, atau acuh begitu saja.
Nino segera membungkuk untuk menolong Argan yang berada di lantai.
Setelah berhasil meluapkan amarahnya, Qonita dengan santai melenggang pergi meninggalkan kedua pemuda yang kesakitan karena mendapatkan tinjunya itu.
Argan dan Nino saling melongo di tempatnya. Nasib mereka mengapa harus seperti ini demi uang?
***